oleh : Bana Fatahillah*
Inpasonline.com – Alih-alih mengkaji Islam, orientalis mencoba menyentuh sendi-sendi Islam dari berbagai aspeknya. Meski dari mereka ada yang bersikap obejktif sehingga membuat manfaat untuk umat. Namun tidak sedikit juga yang menutupi kebenaran, atau bahkan gagal paham dengan apa yang dikajinya, sehingga menyebarkan sesuatu yang salah. Inilah yang berbahaya.
Ignaz Goldziher, salah satu Orientalis ternama yang banyak dijadikan rujukan, merupakan korban ke-gagalpahaman ini. Dalam kitabnya berjudul Mazāhib fī Al-Tafsīr Al-Islāmiy ia menganggap bahwa penyebab timbulnya perbedaan dalam al-Quran adalah karakteristik bentuk tulisan Arab yang dipakai dalam Mushaf al-Quran yang tidak ada titik dan harakatnya. (lihat Goldziher Mazāhib Al-Tafsir Al-Islāmiy, hal. 7-9)
Jika ingin diringkas, sejatinya ada dua hal yang disampaikan oleh Goldziher: (i) penyebab perbedaan bacaan dalam al-Quran adalah karakteristik tulisan dalam mushaf yang tidak ada titik dan harakat (ii) Ulama Qiraat lah yang memilih dan menentukan bacaan al-Quran sesuai kemauannya.
Benarkah Sumber Al-Quran Tulisan?
Umat Muslim di seluruh penjuru dunia tentu meyakini bahwa Al-Quran dengan berbagai qiraatnya bersumber dari Nabi Saw, yakni para sahabat membaca dari Nabi lalu meriwayatkannya kepada sejumlah Imam hingga sampai kepada kita saat ini. Namun Goldziher tidak demikian. Menurutnya itu semua karena tulisan dalam mushaf.
Ia menguatkan pendapatnya dengan contoh. Lafadz فتثبتوا dan فتبينوا muncul disebabkan karena tidak adanya titik pada kata tersebut. Anda bisa membayangkan tulisan itu tanpa titik. Maka kedua bacaan tersebut bisa ditampung oleh tulisan tanpa titik itu. Nah, menurut Goldziher, tulisan itulah yang menyebabkan perbedaan dalam qiraat.
Abdul Fattah Al-Qadhiy (w. 1982 M), seorang ulama ahli Qiraat asal Mesir secara tegas membantah pendapat ini. Menurutnya, andai semua bacaan ini bersumber dari tulisan di Mushaf, kenapa —sekali lagi kenapa—terdapat sejumlah bacaan yang semua ulama sepakat untuk membacanya seperti itu padahal –sekali lagi padahal—jika dilihat dari tulisannya ia bisa dibaca dengan bacaan lainnya. Untuk memudahkan argumennya, Abdul Fattah memberikan sejumlah contoh, diantaranya:
Kalimat مَلِك (Malik) di Surat Al-Fatihah dan surat An-Nas. Para ulama Qiraat bersepakat bahwa dalam surat Al-Fatihah ada yang memanjangkan huruf mim dan ada yang memendekkannya. Namun di surat An-Naas tidak ada satupun Qari yang memanjangkan huruf mim tersebut padahal secara tulisan ia sama dengan yang ada di Al-Fatihah. Pertanyaannya, seandainya qiraat itu bersumber dari tulisan maka tentunya kata ملك di surat Al-Nas bisa juga dibaca panjang. Namun tidak demikian, dan tidak ada satu qari pun yang mengatakan itu. Dan masih ada 15 contoh lainnya yang diberikan Abdul Fattah yang pada intinya ingin mengatakan, kalau seandainya bacaan bersumber dari tulisan, maka sungguh harusnya bacaan yang “diandai-andaikan” dari tulisan mushaf itu sudah dibaca, namun nyatanya tidak. (lihat Abdul Fattah Al-Qadhi, Al-Qira’at fi Nazhr al-Mustasyriqiin, hal. 46-64)
Masih ingin membuktikan kesalahan Goldziher, Abdul Fattah menambahkan. Memang benar kalimat al-Quran yang tanpa titik dan harakat itu menjadikannya reserve untuk dibaca dengan berbagai macam bacaan. Namun uniknya, di al-Quran ada kalimat yang disepakati bacaannya seperti ini, padahal –sekali lagi padahal—menurut bahasa arab fasih, ia bisa dibaca dengan bacaan lainnya, sebab bahasa membolehkan menggantinya dengan harakat lain, misalnya. Seperti bacaan خَطِفَ-يَخْطَفُ yang bisa dibaca dengan kasrah huruf Tha (خَطِفَ) ataupun Fathah (خَطَفَ). Namun kendati bahasa mengafirmasinya, semua qari sepakat bahwa kata itu dibaca dengan menggunakan kasrah.
Masih menurut Abdul Fattah, klaim sumber al-Quran dari tulisan itu juga akan runtuh dengan sejumlah bacaan yang justru menyelisihi tulisannya. Misalnya saja kata (الصِرَاط)، (يَبْصُط)، (بَصْطَة)، (مُصَيْطِرُوْن) dan lain sebagainya. Semua Mushaf Utsmani menulis kata ini dengan huruf Shād. Kendati demikian sebagian Qari membacanya dengan Sīn. Sebagian lain membacanya dengan meng-isymam-kan Shād ke suara Zāy. Dan semua bacaan ini bersumber dari Nabi dan diriwayatkan secara mutawatir.
Dua argument ini pada intinya ingin mengatakan hal yang sama yaitu, kalau seandainya sumber bacaan al-Quran adalah tulisan, maka seharusnya kata خطف bisa dibaca dengan dua harakat, dan kata يبصط harus dibaca dengan shad bukan dengan zay atau sin. Namun nyatanya itu semua tidak demikian. Kenapa? Karena Al-Quran adalah periwayatan, bukan tulisan.
Pada intinya, Al-Quran bukanlah “tulisan” (rasm/writing) tetapi merupakan “bacaan” (qira’ah/recitation). Baik proses pewahyua-nya, penyampaian, pengajaran dan periwayatannya (transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Artinya yang menjadi patokan itu bukan tulisan, melainkan Riwayat dari Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan secara mutawatir. Dan Qiraat Sab’ah dan Asyrah yang ada saat ini merupakan bacaan yang sudah mutawatir—yang menurut Imam Al-Jazariy dan sejumlah ulama lainnya— merupakan sesuatu yang ma’lum min al-Dīn bi al-Dharūrah dan hanya orang bodoh lah yang mengingkari ke-mutawatiran-nya.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh Goldziher adalah fakta sejarah yang tidak bisa berbohong. Dimana tidak ada satupun sahabat mengambil/belajar al-Quran dari mushaf. Selain tidak ada mushaf saat itu, rujukan al-Quran memang apa yang keluar dari mulut Nabi. Selain itu, sejarah juga bercerita bahwa saat Khalifah Utsman bin Affan mengirimkan mushaf ke berbagai Negri, ia tidak membiarkan umat Islam belajar langsung dari mushaf itu, melainkan sejumlah sahabat yang akan mengajarkannya. Ringkasnya, tanpa mushaf itu pun seseorang mampu untuk membaca al-Quran lewat belajar langsung dari mulut gurunya.
Apakah Ulama Qiraat yang Menentukan Bacaan?
Pendapat Goldziher selanjutnya adalah bahwa Ulama lah yang memilih bacaan sesuai pendapatnya. Hal ini ia simpulkan dari sejumlah riwayat ulama. Salah satunya milik Qatadah yang saat membaca surat Al-Baqarah ayat 54 mengatakan bahwa kalimat فاقتلوا أنفسكم (=lalu bunuhlah diri kamu) terlalu keras dan kurang sesuai dengan kesalahan yang mereka perbuat. Lalu Qatadah pun –menurutnya—terpengaruh dengan ketiadaan titik dan harakat pada lafadz itu sehingga membacanya dengan فَاقْيَلُوْا أَنْفُسَكُمْ (=maka kembalilah kamu dari perbuatan tersebut dengan sungguh-sungguh penyesalan).
Dalil lain yang digunakan Goldziher untuk klaim ini adalah karena ulama merasa takut menghubungkan sesuatu yang dianggap tidak pantas bagi kemahasucian Allah Swt, kedudukan Rasul ataupun kemuliaan seseorang. Karenanya, untuk menghindari hal-hal tersebut, sebagian ahli qiraat merubah qiraat-nya.
Salah satu contohnya bacaan (وتُعَزِّرُوْهُ) di surat Al-Fath ayat 9. Menurutnya, sebagian Qari merubah bacaan itu dengan merubah huruf Ra menjadi Zay (وتُعَزِّزُوْهُ) yang artinya Meng-agungkan-Nya, sebab makna yang pertama, yaitu “Menguatkan-Nya” tidak layak disematkan kepada Allah Swt. Karenanya mereka mengubah makna itu. (Mazāhib Al-Tafsir Al-Islāmiy, hal. 10-12)
Argumen ini sejatinya menunjukan bahwa Goldziher adalah orang yang mahir “tentang” qiraat, bukan mahir “dalam” qiraat. Dalam arti ia hanya tau seputar ilmu qiraat alias kulitnya saja, tapi tidak mengetahui dalamnya. Kenapa? Sebab bacaan yang disebut olehnya, baik ayat al-Baqarah maupun Al-Fath sama sekali tidak diriwayatkan oleh Qiraah Asyrah yang mutawatir. Bacaan itu hanya spekulasi yang diperoleh dari tulisan mushaf yang gundul. Sekalipun ada, maka itu adalah riwayat lemah.
Ditambah, Qatadah sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Ibnu Jarir, meriwayatkan bahwa dirinya tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan Goldziher. Qatadah mengatakan ayat itu menunjukan bahwa mereka membunuh diri mereka sendiri sebagaimana zahir ayatnya.
Adapun ayat 9 dari surat Al-Fath, ulama memang berbeda pendapat soal marji’ al-Dhamir dalam tiga kata di ayat itu, yaitu (تُعَزِّرُوْهُ) (تُوَقِّرُوْهُ) (تُسَبِّحُوْهُ) apakah semuanya kembali kepada Allah atau ke Rasul-Nya? Sebagian menjawab dua pertama kembali kepada Rasul. Adapun terakhir –mensucikan-Nya (تُسَبِّحُوْهُ)—kembalinya kepada Allah, sebab Tasbih tidaklah disematkan kecuali pada Allah. Namun sebagian mengatakan semuanya kembali kepada Allah, adapun makna dari “Menguatkan Allah (تُعَزِّرُوْهُ) “ adalah menguatkan agama dan menolong syariat-Nya. Dan itu pantas saja.
Namun, sekali lagi, apapun penafsiran itu, Goldziher telah salah kaprah dengan mengatakan penyebab perubahan qiraat adalah kemauan ulama, sebab qiraat yang dikutipnya sama sekali tidak diriwayatkan oleh satu diantara imam qiraat.
Terakhir, Rasulullah Saw mengakui bahwa ia tidak punya otoritas apapun untuk mengganti al-Quran bahkan satu hurufnya. (lihat Qs: 10:15, 69: 44-46). Maka logikanya, jika sekelas rasulullah saja tidak punya hak dalam hal itu, maka yang dibawahnya pun seperti sahabat, tabiin, atau siapapun itu, lebih tidak mempunyai otoritas itu. Dan juga, kalau ulama mempunyai otoritas dalam merubah al-Quran, itu artinya sebagian al-Quran adalah buatan manusia, dan itu jelas mustahil dan bertentangan dengan apa yang sudah disepakati bahwa al-Quran lafadz dan maknanya dari Allah Swt. Wallahu a’lam bi Al-Shawaab
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Al-Quran dan Tafsir di Institute Ilmu Al-Quran (IIQ), Ciputat
Last modified: 24/11/2022