Metodologi Studi Al-Qur’an Mohammed Arkoun (Kajian Kritis)

Written by | Studi Al Qur'an & Al Hadits

Kaum Muslimin sejak awal kelahirannya sudah memperhatikan bagaimana penafsiran dan aturan-aturan, metodologi dan hal-hal yang berhubungan dengan penafsiran diterapkannya terhadap kitab Al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai literatur yang masih ada hingga sekarang. Di samping berbagai disiplin keilmuan yang berkembang dalam sejarah Islam dan kaum Muslim, disiplin Studi Al-Qur’an (Ulûm al-Qur’ân) merupakan salah satu disiplin ilmu yang harus dipelajari untuk diterapkan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tetapi setelah memasuki perkembangan terkini, Studi Al-Qur’an mengalami persentuhan dengan beberapa pemikiran yang berkembang di Barat. Beberapa orientalis yang concern terhadap studi Al-Qur’an mulai memasukkan beberapa metodologi Barat, termasuk hermeneutika. Pihak orientalis sedang mengalihkan perhatian begitu besar terhadap perubahan pemikiran Islam di Indonesia yang sudah bermula sejak awal tahun 1980-an. Karya-karya ilmuan muslim yang mengikuti jejak orientalis[4] seperti, Hassan Hanafi, Muhamed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Fazlurrahman, Farid Esack, Muhammad Syahrur, dan lainnya cukup mampu menarik minat dikalangan ilmuan muslim.[5]

Tulisan ini sengaja hanya fokus pada satu orang tokoh saja karena banyaknya pemikir dan tokoh muslim yang memberikan tawaran dalam metodologi penafsiran  Al-Qur’an. Teori-teori yang muncul dalam hal penafsiran Al-Qur’an pun juga sangat kaya. Sehingga, Muhammed Arkoun[6] yang terpilih dalam tulisan ini disebabkan karena pemikiran Arkoun menawarkan suatu kecenderungan baru dalam pemikiran Islam. Menempatkan pemikirannya, khususnya dalam mengadopsi ilmu-ilmu barat kontemporer dalam menafsirkan Al-Qur’an, baik itu ilmu linguistik, sejarah, antropologi dan yang lainnya, dari situ dia mengharapkan akan menghasilkan penafsiran baru yang belum pernah dilakukan oleh ilmuan muslim sebelumnya.

Muhammad Arkoun termasuk intelektual muslim yang telah mengangkat hermeneutika al-Qur’an dalam terma-terma kontemporer modern dan juga merupakan salah seorang pemikir muslim yang berpengaruh di Indonesia. Salah satu buku Arkoun yang menjadi buku pegangan wajib para mahasiswa atau rujukan primer kalangan akademisi IAIN/UIN program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dalam menginterpretasi Al-Qur’an, yaitu Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers.[7] Mohammad Arkoun, dalam buku ini menyayangkan jika sarjana Muslim tidak mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen.

Walaupun pernyataan Arkoun menunjukkan kekecewaannya terhadap sarjana muslim, tetapi anjuran dia diamini oleh beberapa kalangan akademisi Perguruan Tingggi Islam sehingga pengaruh hermeneutik ini cukup kuat dilingkungan IAIN/UIN, bahkan mampu mengubah seorang santri berani mengkritik al-Qur’an. Pada tahun 2003 kampus IAIN Walisongo dengan ijin terbit Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo menerbitkan sebuat Jurnal Justisia yang berjudul “Kritik Qur’an (Struktur, Analisa Historis dan Kritik Ideologi)”. Ditulis dalam jurnal tersebut sebuah judul yang sangat mengerikan yaitu “Pembukuan Qur’an oleh Utsman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah “ yang ditulis oleh Tedi Kholiluddin mahasiswa Fakultas Syariah yang dengan bangganya mencantumkan alumni dari salah satu pondok pesantren Semarang.[8]

Selain itu, akhir-akhir ini hermeneutika sebagai alat dan metode penafsiran bible semakin marak dikaji dan dicoba untuk diterapkan dalam kajian al-Qur’an[9]. Hal inilah yang menyebabkan penyalahtafsiran al-Qur’an karena sudah menggeser peran metode tafsir al-Qur’an bil ma’tsur dengan metode baru yang dipakai oleh para orientalis. Sebagaimana juga Arkoun dalam hal ini memakai metode para orientalis dalam menafsirkan al-Qur’an.

Kritik terhadap pemikiran Arkoun ini mencakup adanya ontologi tentang al-Quran dan metodologi kajian bible yang mempengaruhi pemikirannya yaitu historis, antropologis dan linguistik. Dalam makalah ini penulis menguraikan tentang pandangan Mohammad Arkoun terhadap Al-Qur’an, dan metodologinya dalam menginterpretasi al-Qur’an[10] dan disertai beberapa catatan ktritis.

 

B.   Konsep Wahyu Menurut Muhammad Arkoun

Mengenai wahyu, Arkoun membaginya dalam dua peringkat. Pertama adalah apa yang disebut al-Qur’an sebagai Umm al-Kitab (Induk Kitab) (QS, 13:39; 43:4).[11] Peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible, Gospel, dan al-Qur’an. Umm al-Kitab adalah Kitab Langit, wahyu yang sempurna, dari mana Bible dan al-Qur’an berasal. Pada peringkat pertama (umm al-Kitab), wahyu bersifat abadi, tidak terikat waktu, serta mengandung kebenaran tertinggi. Namun, menurut Arkoun, kebenaran absolut ini diluar jangkauan manusia, karena bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam Lawh Mahfuz (Preserved Tablet) dan tetap berada bersama dengan Tuhan sendiri. Wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui bentuk pada peringkat kedua. Peringkat kedua ini, dalam istilah Arkoun dinamakan “edisi dunia” (edition terrestres). Menurutnya, pada peringkat ini, wahyu telah mengalami modifikasi, revisi dan substitusi.[12]

 Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkat anggitan tentang wahyu. Pertama sebagai firman Allah yang transenden, tak terbatas, yang tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk  realitas wahyu semacam ini biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfuz atau Umm al-Kitab. Tingkat kedua menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan al-Qur’an, anggitan ini menunjukkan pada realitas Firman Allah sebagaimana diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Muhammad saw selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Tingkat ketiga menunjuk wahyu sebagaimana sudah tertulis dalam mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya.[13] Berkenaan dengan Qur’an, anggitan ini menunjukkan mushaf yang dikodifikasi pada zaman Usman bin Affan atau lebih dikenal dengan sebutan al-Mushaf al-usmani yang dipakai orang-orang muslim sampai hari ini. Kodifikasi ini dilakukan karena terjadi sebuah peristiwa yang tidak terpikirkan oleh seorang sahabatpun sebelumnya. Dalam perang Yamamah, sedikitnya 1000 pasukan muslim gugur, 450 diantaranya dari kalangan sahabat. Informasi ini sampai ke telinga Umar bin Khaththab, lalu ia memikirkan akan nasib al-Qur’an.[14] Sedangkan dalam analisisnya, Arkoun menyebut al-mushaf ini sebagai Closed Official Corpus (kanon resmi tertutup) atau mushaf standar yang sudah ditentukan secara resmi dan final.[15] Sebutan ini bukanlah tanpa mengandung resiko untuk disalah pahami. Dengan mengatakan “kanon resmi tertutup” Arkoun hendak  mempersoalkan kanon tersebut.

Mengenai sejarah al-Qur’an, Arkoun membaginya menjadi tiga periode: periode pertama berlangsung ketika pewahyuan (610-632 M); periode kedua, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf (12-324 H/632-936 M) dan periode ketiga berlangsung ketika masa ortodoks (324 H/936 M). Arkoun menamakan periode pertama sebagai Prophetic Discourse (Diskursus Kenabian) dan periode kedua sebagai Closed Official Corpus (Korpus Resmi Tertutup). Berdasar pada periode tersebut, arkoun mendefinisikan al-Qur’an sebagai “sebuah korpus yang selesai  dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa Arab, dimana kita tidak dapat mengakses kecuali melalui teks yang ditetapkan setelah abad ke 4 H/10 M.”[16] Menurut Arkoun dalam tradisi muslim pengumpulan al-Qur’an mulai pada saat Nabi meninggal pada tahun 632, tetapi ketika beliau hidup tampaknya ayat-ayat tertentu sudah ditulis. Kumpulan-kumpulan parsial dibuat dengan bahan-bahan yang agak tidak memuaskan, karena kertas belum dikenal dikalangan orang Arab dan tersedia bagi mereka baru di akhir abad ke-8. Meninggalnya para sahabat Nabi, yaitu orang-orang yang ikut berhijrah bersama beliau dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622, dan perdebatan tajam dikalangan umat Islam mendorong khalifah ketiga, Usman, untuk mengumpulkan totalitas wahyu ke dalam satu kompilasi yang disebut mushaf. Kumpulan ini dinyatakan sempurna, selesai dan tertutup dan kompilasi-kompilasi parsial pun dimusnahkan untuk menghindari perbedaan yang akan timbul tentang keotentikan wahyu-wahyu yang dipilih. Dia menegaskan bahwa proses pemilihan dan pemusnahan ini mengharuskan kita bertumpu pada Corpus Resmi yang Tertutup.[17]

Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode kedua. Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-Qur’an lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Sebabnya, al-Qur’an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Sedangkan ia menganggap status al-Qur’an dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan (al-Kitab al-Muhi) menjadi sebuah buku biasa (kitab ‘adi). Arkoun berpendapat bahwa mushaf itu tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status firman Tuhan.[18]

Pemikiran Mohammad Arkoun yang liberal telah membuat paradigma baru tentang hakekat teks al-Qur’an. Pendekatan historisitas Mohammad Arkoun justru menggiringnya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris, yaitu kebenaran wahyu hanya ada pada level diluar jangkauan manusia. Mohammad Arkoun mengakui kebenaran Umm al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan al-Qur’an, tetapi bentuk itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Jadi, pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun justru menggiringnya sepada sesuatu yang ahistoris. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum muslimin. Padahal, sepanjang zaman fakta historis menunjukkan, kaum muslimin sejak dulu, sekarang dan akan datang, meyakini kebenaran al-Qur’an Mushaf Uthmani.   

Arkoun merinci mekanisme wahyu berdasarkan surat 42 (Asy-Syura) ayat 51.[19] Menurutnya kosa kata wahyu yang digunakan oleh ayat sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa manusia yang tidak sakral, itulah sebabnya dia tidak menterjemahkan kata kunci wahyu. Ia hanya berpendapat bahwa wahyu atau al-Qur’an sebagai bacaan yang diartikulasikan (diucapkan) dalam bahasa manusia dan dikomunikasikan kepada para nabi secara langsung atau dengan melalui perantaraan seorang malaikat.[20] Padahal ayat ini menerangkan tentang turunnya wahyu dalam tiga cara. Pertama, informasi wahyu dengan jalan ilham yaitu menyampaikan makna tertentu ke hati Nabi sekaligus bersama ilmu yang yakin bahwa hal itu hanya datang dari Allah, baik lewat mimpi maupun saat terjaga (sadar). Kedua, pembicaraan lewat balik hijab dimana Nabi tidak melihat Allah saat berlangsungnya pembicaraan, seperti halnya Nabi Musa saat menerima wahyu pertama kali. Ketiga, penyampaian wahyu lewat malaikat.[21]

Untuk menunjukkan bahwa wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril sama dengan al-Qur’an yang ada sekarang (mushaf usmani) marilah kita kaji dua hadits dari Fatimah dan Ibnu Abbas. Dalam memelihara ingatan Nabi Muhammad terhadap al-Qur’an, malaikat Jibril berkunjung kepadanya setiap tahun. Hal ini dapat dilihat dalam hadits yang pertama dari Fatimah, ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad memberitahukan kepadanya secara rahasia, yaitu tentang malaikat jibril yang hadir membacakan Al-Qur’an pada Nabi dan beliau membacakannya sekali setahun. Hanya tahun dekat kematiannya saja membacakan seluruh isi kandungan Al-Qur’an selama dua kali.”[22] Sedangkan yang kedua, hadits dari Ibn ‘ Abbas, ia melaporkan bahwa Nabi Muhammad saw berjumpa dengan malaikat Jibril setiap malam selama bulan Ramadhan hingga akhir bulan, masing-masing membaca Al-Qur’an silih berganti.[23]

Dua hadits ini menunjukkan bahwa bacaan ayat al-Qur’an Nabi Muhammad sama dengan bacaan Jibril, artinya sama dengan yang telah Allah turunkan melalui malaikat Jibril dan tidak ada perbedaan sedikitpun. Karena malaikat jibril selalu bergantian dengan Rasulullah dalam membacakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana hadits di atas. Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnad secara mutawattir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian al-Qur’an sebagaimana diwahyukan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw dan diteruskan kepada para shahabat, demikian hingga hari ini.

 Bahkan Allah menantang kepada siapa saja yang meragukan al-Qur’an sebagai kalam Allah yg diwahyukan kepada Rasulullah saw. lafdhon wa ma’nan tetapi mereka tidak ada yang mampu membuat seperti al-Quran itu walaupun satu surah saja.[24] Tantangan itu tetap berlaku karena al-Quran adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat. Dan Nabi Muhammadpun diberi peringatan oleh Allah jika mengada-ngada suatu perkataan dalam al-Qur’an.[25]

Jadi sangat tidak mendasar tuduhan Muhammad Arkoun yang menyatakan bahwa al-Quran sekarang yang kita kenal ini bukanlah wahyu Allah atau al-Qur’an berbeda dengan apa yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw dahulu, semua itu adalah tuduhan orang-orang yang memusuhi Islam agar orang Islam ragu dengan agamanya sendiri dengan cara menggugat Kitab Sucinya melalui metode mereka.

 

C.   Muhammad Arkoun dan masalah penafsiran (interpretasi) Al-Qur’an

Studi Muhammad Arkoun atas teks al-Qur’an adalah untuk mencari makna lain yang tersembunyi di sana. Maka, untuk menuju rekonstruksi (konteks), harus ada dekonstruksi (teks). Arkoun termasuk intelektual muslim yang sangat berani dalam menafsirkan  al-Qur’an bukan dari tradisi Islam tapi dengan metodologi impor dari budaya barat.

1.     Historis-Antropologis

Dalam buku Mohammed Arkoun yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi Tarikhiyah al-Fikr al-Arabi al-Islami (Historisisme pemikiran Arab-Islam). Arkoun bermaksud hendak melihat seluruh fenomena sosial-budaya lewat perspektif historis, bahwa masa lalu harus dilihat menurut strata historikalnya. Mencari historis harus dibatasi menurut runtutan kronologis dan fakta-fakta nyata. Ini artinya, historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan relevansi antara teks dengan konteks. Jika metode ini diaplikasikan ke atas teks-teks agama, apa yang dibutuhkan, menurut Arkoun, adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut.[26]

Bagaimana Arkoun melihat tradisi atau turats? Secara umum, Arkoun membedakan antara dua bentuk tradisi. Dalam karya-karya yang ditulisnya dalam bahasa Perancis, ia secara bersamaan menggunakan dua kata “tradition” dan turats, dan membagi keduanya kepada dua jenis: pertama, Tradisi atau Turats dengan T besar, yaitu tradisi yang transenden yang selalu dipahami dan dipersepsikan sebagai tradisi ideal, yang datang dari Tuhan dan tidak dapat diubah-ubah oleh kejadian historis. Tradisi semacam ini adalah abadi dan absolut. Sedangkan tradisi Jenis kedua ditulis dengan T kecil (tradition/turats). Tradisi ini dibentuk oleh sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun temurun sepanjang sejarah kehidupan, atau penafsiran manusia atas wahyu Tuhan lewat teks-teks kitab suci.[27] Antara dua jenis tradisi ini, Arkoun mengesampingkan jenis yang pertama, karena menurutnya, tradisi tersebut berada di luar pengetahuan dan kapasitas akal manusia. Dengan begitu, target dan objek kajian yang akan dilakukannya adalah turats jenis yang kedua; turats yang dibentuk oleh kondisi sejarah (kondisi ruang-waktu).

Membaca turats adalah membaca teks, seluruh jenis teks. Karena turats tersebut dibentuk dan dibakukan dalam sejarah, ia pun harus dibaca lewat kerangka sejarah, inilah historisisme itu. Menurut Arkoun, salah satu tujuan membaca teks, teks suci khususnya, adalah untuk mengapresiasi teks tersebut di tengah-tengah perubahan yang terus terjadi. Dengan kata lain, ajaran-ajaran agama yang berasal dari teks suci tersebut harus selalu sesuai dan tidak bertentangan dengan segala keadaan, inilah salah satu inti pesan ajaran Islam itu; al-Islam yashluh li kulli zaman wa makan. Dari sini, apa yang sedang diusahakan Arkoun, sepertinya ingin memaksakan al-Qur’an untuk mengikuti perkembangan zaman bukan al-Qur’an dijadikan petunjuk sepanjang zaman.

2.     Penafsiran Linguistik – Semiotika

Mohamad Arkoun dalam teori semiotikanya terpengaruh atau lebih tepatnya mengadopsi teori Ferdinand de Daussure (1857-1913), seorang tokoh semiotika Prancis,[28] menurut De Daussure fenomena bahasa secara umum ditunjukkan dengan istilah langange. Dalam langange terdapat dikotomi antara parole dan langue. Parole adalah bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual.[29] Satu hal yang menjadi karakteristik dari parole adalah adanya keunikan bahasa dari tiap pribadi. Sedangkan langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut, dan seolah-olah kode-kode itu telah disepakati bersama di masa lalu di antara pemakai bahasa tersebut.[30] Langue merupakan suatu sistem sosial dan sekaligus sistem nilai. Sebagai sistem sosial langue tidak direncanakan sendiri. Itulah sisi sosial dari langange.[31] Secara implisit dapat ditangkap bahwa langue dan parole beroposisi, tetapi sekaligus juga saling tergantung. Di satu sisi, sistem yang berlaku dalam langue adalah hasil produksi dari kegiatan parole, sementara di sisi lain, pengungkapan parole serta pemahamannya hanya mungkin apabila didasarkan pada penelusuran langue sebagai sistem.[32]

Sebagaimana ahli-ahli linguistic yang menyelidiki bahasa dengan hanya membatasi diri pada wilayah langue saja,[33] Arkoun menganggap bahwa al-Qur’an yang bisa disentuh oleh manusia sebenarnya hanya sisi langue dari wahyu Tuhan. Karena sifatnya yang tak terbatas dan transenden, manusia tidak mungkin mampu menyentuh parole Tuhan. Di samping itu, parole Tuhan, sebab keunikannya, manusia tidak akan mampu menggapainya. Seperti juga keunikan bahasa individu manusia, siapapun yang lain (the other) dari diri tersebut tidak tahu makna sebenarnya.

Oleh karena itu, pengaruh semiotikanya Ferdinand de Daussure ini dibawa oleh Arkoun dengan mengklasifikasi tingkatan-tingkatan pemaknaan atas wahyu, untuk mengetahui posisi al-Qur’an yang kita pegang sekarang ini. Arkoun menyebutkan ada tiga tingkatan pemaknaan wahyu: pertama, wahyu sebagai parole (firman, sabda, kalam) Allah yang transenden, tak terbatas (infinite). Untuk menunjuk realitas semacam ini biasanya al-Qur’an menggunakan terma al-lauh al-mahfudz (the well preserved Table) atau umm al-Kitab (the Archetype Book). [34]

Tingkat kedua, wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan al-Qur’an, konsep wahyu tingkat kedua ini menunjuk pada realitas firman Allah sebagaimana diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Muhammad lebih dari dua puluh tahun. Jika pada tingkat pertama wahyu mengacu pada parole Tuhan maka pada tingkat kedua ini bisa kita katakan mengacu pada langue dari al-Qur’an. Tapi penting dicatat bahwa pada tingkat kedua ini al-Qur’an masih berbentuk oral, lisan.

Tingkat ketiga, menunjuk wahyu dalam bentuk korpus resmi tertutup atau wahyu yang sudah tertulis dalam mushhaf dengan huruf dan berbagai tanda baca yang ada di dalamnya.[35] Pengertian wahyu di sini menunjuk pada mushaf utsmani, yang pada tahun 1924 diterbitkan edisi standar al-Qur’an di Kairo, Mesir.[36] Wahyu pada tingkat ketiga ini merupakan rekaman dari la­ngue Tuhan yang menyejarah pada tingkat kedua, dan pada saat yang sama, dalam beberapa hal, telah mereduksi kekayaan sifat oral yang dimilikinya. Sementara itu, terma al-Qur’an sendiri, dalam bahasa Arab, mengacu secara bersamaan ke seluruh tingkatan di atas. Oleh karena itu, Suhadi dalam bukunya Kawin Lintas Agama, mengatakan bahwa tingkatan wahyu seperti ini pernah ada dalam tradisi Islam, yakni teori wahyu Mu’tazilah yang menyatakan bahwa “wahyu Tuhan diciptakan” (wahyu Tuhan itu jadid [baru, makhluk, yang diciptakan]), namun pernyataan ini ditolak oleh ortodoksi (Asy’ariyyah) dengan teori wahyu itu qadim (lampau, bukan makhluk, tidak diciptakan), yang memenangkan konsep pengertian mengenai wahyu sejak abad ke-11 M.[37] Jadi kalau kita umat Islam menerima teori linguistik-semiotika sebagai penafsiran al-Qur’an berarti kita telah mengadakan setback (mundur ke belakang). Walaupun mereka dengan memberikan embel-embel bahwa ini adalah ilmu kontemporter tetapi justru akan membawa umat islam mundur jauh kebelakang.

Dalam semiotika (ilmu tentang tanda (sign) atau ilmu yang mempelajari perkembangan sign dalam masyarakay),[38] Arkoun berusaha untuk menunjukkan fakta sejarah tentang bahasa al-Qur’an dan kandungannya. Dia menyarankan bahwa analisa semiotika al-Qur’an pada dasarnya mempunyai dua tujuan: yang pertama, untuk menampakkan fakta sejarah dari bahasa Al-Qur’an; yang kedua, untuk menunjukkan bagaimana arti baru dapat diperoleh dari teks al-Qur’an tanpa dibatasi oleh cara kajian tradisional.

Keperluan untuk mengkaji kembali al-Qur’an adalah sesuatu yang dihargai oleh setiap muslim. akan tetapi, ajakan Arkoun lebih baik dilihat dari sifat bahasa al-Qur’an, sebagaimana dia memahaminya. Ini karena bahasa al-Qur’an dilihat sebagai tanda-tanda dan simbol-simbol yang diuraikan oleh komunitas-komunitas muslim terdahulu melalui qiraat dan penjelasan yang dibuat oleh Arkoun menghendaki sebuah penguraian baru terhadap tanda-tanda dan simbol-simbol tersebut. Dari perspektif ini, dia mendeskripsikan Al-Qur’an sebagai sebuah komposisi sign dan simbol-simbol yang mampu memberi semua arti dan terbuka untuk siapa saja dan tidak ada penafsiran yang dapat melemahkan teks yang ditafsirkan.[39]

3.     Penafsiran Teologis – Religius

Menurut Arkoun, jika seseorang terus menganggap Al-Qur’an sebagai sebuah teks dari Tuhan secara transcendental, orang akan hanya berakhir pada masalah-masalah yang lebih bersifat teologis.[40] Kemudian, satu jenis theologi yang diperlukan disini, katanya, adalah ‘sebuah keyakinan yang rasional’ yang didasarkan kepada konfrontasi antara epistema yang ada pada titik tertentu dengan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh teks keagamaan, yakni, antara warisan dan sejarah.[41]

             Arkoun menolak keyakinan secara umum bahwa ‘Islam tidak memisahkan spiritual dengan duniawi’, dia meyakinkan para pembacanya bahwa sekularisme berakar dalam Islam. Sebagaimana Harvey cox telah membuat justifikasi sekularisasi dari bible,[42] Arkoun juga mengatakan, “sekularisme sudah ada dalam Al-Qur’an dan piagam Madinah.”[43] Ini bukan kesimpulan yang berdasarkan fakta sejarah, namun sebuah ide yang mengikuti ide sebelumnya. Arkoun benar-benar mendeklarasikan tujuan utamanya dalam sebuah essai “Islam and Secularism” dimana dia menyatakan, “kita perlu mendekonstruksi kaum ortodoks tertutup dari dalam. Ini tidak mungkin dilakukan kecuali mencari sebuah sejarah yang bebas yang dapat mengarahkan masuknya ide sekulerisasi dalam Islam.” Sekularisme kemudian merupakan sebuah dogma yang sudah terbentuk sebelumnya yang perlu dipromosikan dan diperkuat dengan segala usaha, bahkan jika perlu fakta-fakta sejarah dapat diputarbalikkan untuk kepentingan ini. Jika Arkoun berhasil menghindari sebuah tafsir yang berorientasi pada keyakinan untuk mengelakkan ‘dogma-dogma’ Sunni atau Shi’ah, nyatalah dia telah menjatuhkan mangsanya ke dalam sebuah teologi sekuler dengan dogma-dogmanya sendiri.[44]

             Salah satu ciri khas sekuler adalah tidak memberikan tempat kepada Tuhan dalam sejarah kehidupan manusia, begitu juga arkoun, dia berpendapat bahwa dalam sejarah manusia Tuhan tidak terlibat. Sebagaimana dia memahami al-Qur’an, dia mengatakan Mushaf usmani ini menunjukkan beberapa fakta sejarah yang tergantung keadaan sosial dan politik, bukan tergantung kepada Tuhan.[45]

 

D.    Analisa

 Seorang mufassir Fakhruddin al-Razi yang hidup di abad ke-13, sudah menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan berbagai lintas disiplin ilmu dan dalam penafsitrannya tidak terbatas kepada pendekatan bahasa dan riwayat saja, tetapi walaupun begitu tidak meninggalkan pendekatan al-tafsir bi al-ma’thur.[46]

Adnin Armas[47] mengatakan bahwa diantara pemikiran Arkoun yang liberal telah membuat paradigma baru tentang hakikat teks Al-Qur’an. Kebenaran wahyu hanya ada pada level diluar jangkauan manusia. Muhammed Arkoun mengakui kebenaran Umm al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui kebenaran dan kredebilitas bentuk lisan Al-Qur’an, tetapi bentuk itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Jadi, pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun justru menggiringnya kepada suatu yang ahistoris.[48] Dan mencari kebenaran di dalam Al-Qur’an dengan menggunakan hermeneutika Arkoun merupakan sebuah gagasan yang mengada-ada (utopis). Selanjutnya penggunaan yang berlebihan berbagai terminologi asing dan terminologi baru lainnya yang tidak semestinya, banyaknya pengulangan, kontradiksi dan ambiguitas.  Membuat tulisan Arkoun tidak ramah, khususnya untuk banyak intelektual muslim. Bagi pembaca yang tidak tahu apa itu semiotika, paparan Arkoun ini akan tampak seperti matematika, bukan analisa teks.[49]

Disamping itu Abdul Kabir Hussain Salihu[50] melihat Arkoun dianggap begitu memberikan perhatian pada pentingnya metodologi dalam kajian Al-Qur’an. Dia secara enerjik menyarankan penggunaan metodologi multidisipliner untuk Al-Qur’an termasuk ilmu sejarah, ilmu-ilmu sosial, psikologi, antropologi, linguistik dan semiotika. Hal ini dapat menjadi sebuah pengharapan positif terhadap Al-Qur’an, khususnya karena kaum muslim menganggap Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam semua segi kehidupan dan Islam sebagai pandangan hidupnya. Namun tujuan dari penelitian Arkoun tidaklah jelas, apakah penelitiannya tersebut adalah kajian Al-Qur’an atau kajian metodologi. Tidak sulit untuk melihat bahwa Arkoun tidak mengkaji metodologi untuk kepentingan Al-Qur’an, tetapi dia mengkaji Al-Qur’an untuk kepentingan metodologi.[51]

Gamal al-Banna menyatakan bahwa dia setuju atas usaha Arkoun melakukan pembongkaran atas kalangan ahli tafsir dan para orientalis. Hanya saja ketika dia mendekati Al-Qur’an sebagai sebuah legsi atau teks biasa,  maka dia sudah persis seperti kalangan orientalis yang tidak memberikan tempat bagi Tuhan. Dalam bukunya Tafsir al-Qur’an al-Karim Baina al-Qudama wa al-Muhadditsin, Gamal al-Banna menyatakan: bahwasanya keteledoran Arkoun dan kealpaan yang membuat dia menyebut Al-Qur’an memilki struktur mitologis yang tinggi (dzu bunyatin ushturiyyatin muta’aliyah). Inilah yang kemudian dia jadikan kunci pemikirannya tentang AL-Qur’an. Dia tiadak mawas diri – dengan keterlibatannya dia dalam pemikiran Eropa – bahwa dia telah meletakkan dirinya ke dalam satu parit dengan kaum Musyrik yang mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak lebih adalah mitos para pendahulu (ashathirul al-awwalin). Ketika dia sudah sadar akan hal itu, dia lantas berusaha untuk menyelamatkan dirinya dengan mengambinghitamkan kesalahan pada soal keterbatasan penerjemahan bahasa. Dia lantas membedakan antara kata myth/mitos (al-usthurah) dengan kata mytologi/mitologi (khurafat)[52]

 

E.    Kesimpulan

Arkoun menganggap Al-Qur’an bukanlah wahyu, tetapi kitab rekayasa para sahabat terutama Utsman dengan lebih suka mengatakan bahwa al-Qur’an Mushaf Resmi Tertutup, yang seakan-akan al-Qur’an diresmikan oleh Usman bin Affan. Dan sepanjang sejarah fakta historis menunjukkan, kaum muslimin dari sejak dulu, sekarang dan akan datang, meyakini kebenaran al-Qur’an Mushaf Uthmani. Dan Allah dalam al-Qur’an sangat jelas sekali menantang siapa saja yang masih meragukan al-Qur’an sebagai Firman-Nya, tatapi tantangan ini sampai sekarang bahkan sampai kiamatpun tidak akan pernah ada yang sanggup menyanggupinya membuat al-Qur’an tandingan kecuali hanya desas desus belaka yang dilontarkan oleh para orientalis.

Selanjutnya Arkoun tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, akan tetapi sebagai teks biasa yang dipaksa untuk mengikuti arus zaman. Dengan metode yang tawarkan olehnya yaitu metode histories-antropologis dan linguistik-semiotika, sedangkan metode teologis-religious, Arkoun tidak memberikan tempat kepada Tuhan dalam mengatur kehidupan manusia (ciri khas sekuler). Arkoun secara tidak sadar dengan memakai metode hermeneutika dalam mengkaji al-Qur’an telah menjadikan dirinya sebagai kepanjangan tangan orintalis.

 


[1]  Peserta Program Kader Ulama ISID Gontor Ponorogo Periode ke-II.

[2]  Lihat Dr H. M. Idris A. Shomad M.A, Al-Qur’an Sebagai Wahyu Ilahi   Dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan, Nomor I Vol. I, Januari 2005. hal: 52.

[3]  Tim Badan Litbang dan Diklat Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an Tematik: Al-Qur’an dan Pemberdayaan Kaum Duafa, diterbitkan oleh Departemen Agama RI, 2008. hal: xii

[4]   قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم « لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ » . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ »

Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga meskipun mereka berjalan masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian akan mengikutinya.” Lalu kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu adalah Yahudi dan Nasrani?” Beliau bersabda, “Siapa lagi?!” Lihat Shahih al-Bukhari, 3.456 hal:169

[5]  Al-Azami, Prof. Dr. Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, Penerj. Dr. Sohirin dkk. (Jakarta, Gema Insani, 2005) hal: xxiii

[6]  Mohammad Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Adapun Aljazair merupakan daerah bekas jajahan Perancis antara tahun 1830 dan 1962. lihat Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammed Arkoun, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. vii

[7]  Lihat lampiran kurikulum pada Program Studi Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Husaini, Adian, Hegemoni Kristen-Barat: Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani, 2006), hal 275-276

[8] Jurnal Justisia “Kritik Qur’an: Strukturalisme, Analisa Historis dan Kritik Ideologi ” edisi 23 Th. XI 2003 Hal 23

[9] Meuleman, Tradisi kemordenan dan Metamordernisme (Memperbincangkan Pemikiran Mohammad Arkoun) Hal: 23

[10] Arkoun Muhammad, Kajian Kontemporer Al-Qur’an ditejemah oleh Hidayatullah (GP.Paris) 1982 Hal: 48

[11]  يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ (39)

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (QS, Ar Ra’d: 39)

وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ (4)                                            

“Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah. (QS, Az Zukhruf: 4)

Berdasarkan ayat inilah, Arkoun merinci mekanisme wahyu. Lihat Arkoun, Rethingking Islam, Op.Cit. hal.47

[12] Lihat Abdul Kadir Hussain Salihu, Hermeneutika Al-Qur’an menurut Muhammad Arkoun: Sebuah Kritik, dalam ISLAMIA: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Thn I No 2, Juni-Agustus 2004, hlm: 21

[13]  Mohammad Arkoun, “exploration and responses: New Perspectives for a Jewish-Christian-Muslim Dialogue” journal of ecumenical studies, 26, 3 (Summer 1989) “, hal. 526; Mohammad Arkoun, “Gagasan tentang wahyu: dari Ahl al-Kitab samapai Masyarakat Kitab”, dalam nico J.G Kaptein dan Henri Chambert-Loir, studi islam di perancis. Gambaran Pertama (Jakarta: INIS, 1993).

[14]  Lihat al-Bukhori, Bab: Jam’u al-Qur’an, juz: 16, hal: 467

[15]  Status Corpus Resmi yang tertutup menurut prosedur-prosedur yang dikembangkan dan dibimbing oleh sarjana-sarjana: resmi karena teks-teks ini sebagai akibat dari  seperangkat keputusan yang diambil oleh “otoritas-otoritas” yang diakui oleh komunitas; tertutup karena tidak seorangpun diperkenankan untuk menambah atau mengurangi kata-kata, memodifikasi suatu bacaan dalam Corpus yang sekarang dinyatakan otentik. Lihat Arkoun, Mohammad, “Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) 1996, hal.50

[16] Arkoun, Muhammed, Kajian Kontemporer Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1998). hal. 13

[17] Ibid, hal.55-56

[18]  Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam Studi AL-Qur’an (edisi kritis), (Jakarta: Gema Insani Press, 2005). hlm. 68

[19]  وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ (51)

“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” QS. 42 (Asy-Syura) ayat 51.

[20]  Arkoun, Rethingking Islam, Op.Cit. hal.47

[21] Lihat Tafsir ath-Thabari. Hlm. 558

[22]  عَنْ فَاطِمَةَ – عَلَيْهَا السَّلاَمُ – أَسَرَّ إِلَىَّ النَّبِىُّ   صلى الله عليه وسلم – « أَنَّ جِبْرِيلَ كَانَ يُعَارِضُنِى بِالْقُرْآنِ كُلَّ سَنَةٍ ، وَإِنَّهُ عَارَضَنِى الْعَامَ مَرَّتَيْنِ ، وَلاَ أُرَاهُ إِلاَّ حَضَرَ أَجَلِى »

Lihat al-bukhori, sahih, fadha’il al-Qur’an, hlm. 481

[23]  أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِى رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ ، يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْقُرْآنَ ، فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

Lihat al-bukhori, sahih, Saum, hlm. 183

[24] وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة:23)

[25]  وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ (44) لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46)

Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (Al-Haaqqoh 44-46)

[26] M. Arkoun, Tarikhiyah al-Fikr al-Islami. Beirut, 1986. hal.14.

[27] M. Arkoun, Al-Fikr al-Islami: Qira’at al- ‘Ilmiyyah, terjemahan Hashim Shaleh. Beirut, 1987, hal. 17-24. pernyataan Arkoun ini mirip dengan pernyataan Nur Kholis Majid tentang memaknai syahadat, laa ilaaha illallah dia mengartikan bahwa tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar), pernyataan inilah yang menunjukkan salah satu ide sekularisasi Nur Kholis Majid di Indonesia.

[28]  Lihat: Meulemen (ed.), dalam Mohammad Arkoun, Nalar Islami, hlm. 12

[29]  Martin Krampen, “Ferdinand se saussure dan Perkembangan Semiologi”, dalam Panuti Sudjiman dan Aart van Coest (ed.), serba-serbi Semiotika, Cet. 2, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 57.

[30]  Martin Krampen, “Ferdinand se saussure, hlm. 57.

[31]  Roland Barthes, “Unsur-Unsur Semiologi, hlm. 57.

[32]  Martin Krampen, “Ferdinand se saussure, hlm. 57

[33]  K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Perancis, hlm. 182.

[34]  Mohammad Arkoun, “Exploration and Responses: New Perspectives for a Jewish-Cristians-Muslim Dialogue”, Journal of Ecuminical Studies, 26: 3, summer 1989, hlm. 526. Konsep Parole Tuhan sepadan dengan pengertian kalimatullah dalam QS. Luqman [31]: 27,

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الأرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Klarifikasi ini penting karena dalam tradisi linguistic Prancis, parole mempunyai makna khusus yang tidak dapat dipersamakan dengan kata word dalam bahasa Inggris.

[35]  Mohammad Arkoun, “Exploration and Responses”, hlm. 526.

[36]  Mohammad Arkoun, “Preface a la Deuxieme Edition”, hlm. 14.

[37]  Mohammad Arkoun, “Exploration and Responses”, hlm. 526-527.

[38]  Yishai Tobin, Semiotics and Linguistics (London: Longman, 1990), hal. 6.

[39]  Arkoun, Tarikhiyah al-Fikr al-Islami. Terj hashim salih, ed. 2 (Beirut: Markaz al-Inma’ al-qawmi, 1996).

[40]  Arkoun. Al-Islam wa al-tarikh wa al-hadathah. Hal 25

[41]  Ibid.

[42]  Dalam bab I, “Biblical Sources of Secularization, ‘ dalam bukunya The Secular City: Secularization and Urbanisation in Theological Perspective (New York: Colier Books, 1990), Harvey Cox menunjukkan bagaimana bible telah menjadi sumber mata air dari sekularisasi.

[43]  Arkoun, the consept of authority is Islamic thought, 71; Al-Al-manah wa al-din, 9,32,; 79-84

[44] Arkoun, tarikhiyat al-fikr al-‘arabi al-islami hal. 275-300

[45]  “This is extremely important: it (mushaf) refers to many historical facts depending on social and political agent, not on God. Lihat Mohammad Arkoun, “Exploration and Responses”, hlm. 526

[46]  ISLAMIA: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Thn II No 5, April-Juni 2004, hlm: 111

[47]  Kandidat PhD di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)-IIUM, Kuala Lumpur.

[48]  Adnin Armas, Op.Cit., hlm: 69. Abdul Kabir Hussain Salihu menambahkan bahwasanya Arkoun menerima kesakralan bentuk lisan dari Al-Qur’an, dia mengabaikan tuntutan untuk mendengar yang merupakan implikasi dari penerimaan tersebut. Sebagai gantinya, dia mempertanyakan Al-Qur’an tentang mengapa Al-Qur’an mensakralkan sejarah yang bersifat umum dan bagaimana Al-Qur’an menerapkan sebuah arti yang tidak pasti. (Kritik dekonstruksinya tidak dapat memberikan toleransi untuk membiarkan penulis). Meskipun demikian dia tidak membuat penelitian pada bagaimana Tuhan bertindak dan berfungsi secara keseluruhan di dalam sejarah, baik secara langsung atau melalui angan-angan tertentu. Dengan hal tersebut dia menafsirkan Al-Qur’an dari sudut pandangan (Worldview) yang berbeda. Namun ironisnya dia masih tetap menekanan kalau dia menafsirkan Al-Qur’an dari dalam. Lihat Abdul Kadir Hussain Salihu, Loc.Cit.

[49]  Abdul Kadir Hussain Salihu, Op.Cit., hlm: 27

[50]  Dosen pada Kulliyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, Universitas Antarbangsa, Malaysia.

[51]  Abdul Kadir Hussain Salihu, Op.Cit.,, hlm: 25

[52]  Gamal al-Banna, Op.Cit., hlm: 222

Last modified: 21/09/2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *