Tema ini penting sekaligus menarik. Penting karena, daurah diadakan pada saat dunia pendidikan Islam Indonesia masih tertatih mencari idealisme disebabkan kehilangan ruh adabnya. Satu persatu fakta tentang masih minimnya pendidikan aqidah kita mulai terkuak. Pada enam Januari lalu hidayatullah.com menurunkan berita seorang dosen di STAIN Jember melecehkan asma Allah subhanahu wata’ala dengan cara menghapus lafadz Allah dengan sepatu. Tahun lalu, 21 Mei 2010 seorang yang dipanggil ‘ustadz’ mempraktikkan aksi yang tidak beradab, yaitu memfasilitasi pernikahan dua perempuan lesbianis (republikaonline.com).
Simak pula kasus pendangkalan akidah pada masyarakat. Insiden di Sampang yang berujung pengusiran penganut Syiah dipicu oleh penyebaran ajaran Syiah oleh seorang tokoh setempat. Ajaran-ajaran Syiah yang tidak beradab disebarkan kepada jama’ah awam, seperti ajaran nikah mut’ah (nikah kontrak).
Aksi tidak beradab pada malam valentine day tempo hari juga masih menjadi ritual tahunan sebagaian pelajar kita. Seperti ditulis oleh Anwar Djaelani di rubrik opini inpasonline.com, Polres Jombang pada malam Velentine Day merazia belasan pasangan yang di antaranya masih ABG di kamar hotel. Hari Valentine yang berasal dari budaya Romawi Kristen dijadikan ajang seks bebas.
Aksi-aksi tidak beradab pendidik dan peserta didik tersebut tentu menyisakan tanda tanya, ada apa dengan pendidikan kita? Kita masih terpuruk. Baik intelektualitas maupun moralitas.
Di sinilah kita bisa katakana bahwa mendiskusikan pendidikan dalam konteks kebangkitan sangat menarik. Selama ini tema-tema kebangkitan umat selalu diusung dalam ‘ruang diskusi politik’. Sesungguhnya tidak salah membawa isu kebangkitan umat ke dalam ‘ruang diskusi politik’. Namun, pertanyaannya adalah, dari mana kita memahami konsep politik (mafhum al-siyasah) jika tidak melalui pendidikan. Singkatnya, pemahaman tentang konsep politik lahir dari tradisi ilmu yang matang. Maka, pendidikan merupakan aktivitas elementer dalam membangun bangsa yang beradab.
Menurut Dr.Khalif Muammar, dosen Center for Advanced Islamic Studies on Islam Science and Civilization (CASIS) Malaysia, pendidikan akidah itu bukan sekedar belajar sifat-sifat Allah, af’al (perbuatan) Allah saja. Akan tetapi kita mempelajari konsep dasar Islam yang memberi efek terhadap fikiran, hati dan perilaku kita. Ia menyebut kenapa pendidikan kita gagal. Ada tiga faktor; pertama, kerusakan ilmu (error in knowledge), kehilangan adab (the loss of adab), dan kegagalan para pemimpin (the rise of false leaders).
Dari ketiga faktor tersebut, faktor pertama merupakan paling elementer. Kerusakan epistemologi (ilmu) menciptakan kerusakan spiritual, moral dan itelektual. Seseorang yang tidak meyakini otoritas teks-teks agama yang mengharamkan homoseksual misalnya, akan mendekonstruksi teks tersebut. Ditafsir sebebas-bebasnya, sehingga menghasilkan hukum homoseks halal. Akhirnya, ia menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Pendidikan akidah seharusnya mampu meluruskan ilmu. Pandangan alam Islam di sini menjadi ‘kaca’ penilai. Konsep tentang Allah, konsep wahyu, konsep kenabian, konsep manusia, konsep alam, konsep manusia, konsep kebenaran, konsep otoritas dan lain-lain semestinya diajarkan sebagai landasan utama belajar ilmu-ilmu yang lain. Di dalam perguruan tinggi Islam, kajian-kajian tersebut dapat menjadi Pengantar Studi Islam.
Unsur-unsur Islam seperti konsep tersebut dalam pandangan alam Islam bersifat tetap dan permanen, tidak berubah seperti dalam pandangan Barat. Sehingga, dalam pandangan Islam, agama Islam tidak tepat dipahami sebagai agama sejarah (historical religion). Islam bukanlah budaya, ia bersumber dari wahyu yang tetap.
Faktor utama kegagalan pendidikan akidah adalah belum diajakarkannya akidah itu secara aplikatif. Makanya, pendidikan Islam seharusnya mendasarkan kepada pandangan alam Islam. Motivasi belajar dalam Islam adalah ibadah. Mengkajinya adalah jihad dan ilmu selalu terkait dengan akhlak. Konsep yang demikialah yang mampu membangkitkan umat. Seperti yang telah dipraktikkan oleh Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
Dr. Majid Irsan Kailani menulis buku menarik berjujul Hakadza Dzahara Jil Shalahuddin wa Hakadza ‘Adat al-Quds, bercerita tentang fase-fase kebangkitan umat generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Sang penulis menggambarkan bagaimana sosok Imam al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jailani yang kreatif menyusun konsep pendidikan sehingga terlahir mujahid-mujahid kenamaan. Imam al-Ghazali di madrasahnya, Nidzamiyah, mendidik calon-calon ilmuan, dengan penanaman akidah. Begitu pula Syekh al-Jilani, mengadabkan umat Islam di Madrasah al-Qadiriyah melalui metode tasawwuf dan pendidikan akidah.
Artinya, konsep akidah itu menjadi titik terpenting dalam pendidikan. Dr. Nirwan Syafrin, yang tampil sebagai pemateri daurah nasional di PIMPIN Bandung, menulis dalam makalahnya bahwa hampir seluruh ulama Muslim saat ini sepakat bahwa krisis yang dialami umat bukan berpangkal pada ekonomi, politik, dan teknologi, akan tetapi pada nalar (ilmu) umat Islam. Dr. Nirwan mengutip Abdul Hamid Abu Sulaiman dalam bukunya A Crisis of Muslim Mind, bahwa umat Islam mengalami krisis pemikiran. Lebih tegas lagi Isma’il Raji al-Faruqi mengatakan bahwa krisis umat Islam saat ini ada pada pendidikan (al-Faruqi,Islamization of Knowledge:Problems, Principles and Perspectives, 22).
Sekali lagi, pendidikan Islam harus berasaskan akidah atau ruh keimanan. Prof. Dr. Sayyid Alawi al-Maliki pernah menulis; kebangkitan-kebangkitan besar tidak akan pernah berdiri kecuali dilandaskan pada risalah al-ruh (ajaran-ajaran yang mempunyai ruh/jiwa keimanan). Wallahu al’lam bisshowab. []