Worldview Islam sebagai Dasar Pendidikan Karakter

Oleh: Kholili Hasib

Cara pandang, sikap dan etika seorang Muslim dikendalikan oleh pemikirannya dalam memahami realitas di alam ini, baik realitas fisik maupun metafisik. Seorang Muslim yang memiliki visi keakhiratan memiliki perspektif berbeda dengan orang yang bervisi keduniawian semata dalam melihat setiap realitas dalam kehidupan. Alparslan Acikgenc, pakar filsafat Islam asal Turki mengatakan, pikiran itu menjadi motor perbuatan (Alparslan, Islamic Science Towards A Definition, hal.29).

Baik buruknya perilaku dikendalikan oleh pemikiran manusia. Lebih dari itu ia diatur oleh keyakinannya. Ninian Smart memberikan makna worldview terkait dengan etika. Menurutnya, worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Pembentukan cara pandang ini tidak lain melalui aktifitas keilmuan.

Pendidikan, merupakan basis pengembangan ilmu. Baik tidaknya masyarakat dikembalikan kepada benar tidaknya ilmu yang dipelajari. Manusia menjadi beradab karena mengamalkan ilmu dengan baik dan benar. Dan manusia biadab dikarenakan ilmunya salah atau kekurangan ilmu. Kekeliruan dalam ilmu menyebabkan pemikirannya tidak beradab. Adab adalah menempatkan sesuatu sesuai tempatnya. Sebuah pemikiran tidak beradab jika pemikiran tersebut tidak sesuai epistemologi Islam, anti-otoritas, meyakini kebenaran itu relatif dan lain sebagainya.

Problem-problem pemikiran, seperti maraknya ideologi pluralisme, feminisme, relativisme, sekularisme dan lain-lain tidak lain merupakan problem keyakinan (iman). Keyakinannya yang rusak tidak mampu mengontrol pemikirannya.

Karena ilmu dan karakter manusia tergantung dengan pandangan hidupnya, maka yang perlu diperhatikan oleh lembaga pendidikan Islam adalah penanaman elemen-elemen pandangan hidup Islam ke dalam kurikulum pendidikan.

Antara perilaku, jiwa, ilmu dan iman sesungguhnya saling terkait. Ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sarat nilai. Kekeliruan yang terjadi dalam sekelompok umat Islam disebabkan oleh kerusakan ilmu, dimana itu bersumber dari kekeliruan iman. Kegentingan umat Islam oleh al-Attas dikatakan karena problem ilmu. Masalah-masalah yang terjadi dalam diri kaum muslimin dan kerusakan jiwa sesungguhnya diakibatkan oleh kekurangan ilmu dan kekurangan iman (Risalah untuk Kaum Muslimin,hal. 5).

Seorang ‘ilmuan’  atau mahasiswa yang melegalkan perkawinan sejenis, satu misal, disebabkan ilmunya keliru. Ia meyakini bahwa nas (teks) agama yang mengharamkan itu telah usang, konteksnya masa dahulu. Sedangkan sekarang berbeda zaman. Sesungguhnya ini bukan sekedar pemikiran, tapi keyakinan. Ia berkeyakinan bahwa teks adalah teks. Di balik teks tidak ada apa-apa. Yang ada hanyalah makna yang berevolusi.  Tidak sakral, meski itu teks-teks agama. Teks agama bukan sumber ilmu yang mutlak. Sebab sifatnya temporal. Inilah corak pemikiran sekuler. Terhegemoni pemikiran bahwa teks itu mati (text is dead). Akidahnya sekularisme, ilmu menjadi tersekulerkan, perilaku dan pemikirannya menjadi tidak beradab.

Kerusakan pemikiran yang seperti itu disebabkan aktifitas keilmuannya tidak didasarkan oleh worldview Islam. Pendidikan yang tidak berdasar pandangan hidup melahirkan karakter-karakter manusia yang tidak Islami. Karakter Islami adalah karakter yang beradab berdasar pandangan pokok-pokok ajaran Islam.

Tantangan pendidikan Islam saat ini adalah hilangnya adab (loss of adab) dan telah diabaikannya Islamic Worldview sebagai basis praktik pendidikan, penyusunan kurikulum dan metode studi keislaman. Terjadinya loss of adab dalam pendidikan karena gencarnya sekularisasi dalam pendidikan Islam. Padahal, falsafah pendidikan Islam berbeda dengan falsafah pendidikan sekular.

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, pandangan Islam memiliki perbedaan yang cukup mendasar dengan pandangan peradaban Barat. Dalam Islam, pandangan alam bukan semata-mata fikiran mengenai alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya. Pandangan hidup Islam bukan juga bersumber dari spekulasi filosofis yang dirumuskan dari pengamatan dan pengalaman inderawi an sich.

Pandangan hidup Islam mencakup dunia akhirat. Aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, yang memiliki signifikansi yang terakhir dan final. Pandangan hidup Islam juga tidak dibentuk secara bertahap melalui sejarah dan proses spekulasi filosofis yang berubah-ubah paradigmanya. Memahami dan mendalami worldview Islam sangat penting sebagai solusi terhadap pandangan hidup Barat sekular yang telah menghasilkan peradaban liberal dan ilmu yang sekular.

Seorang pelajar yang memiliki pandangan hidup Islam, akan memiliki pemikiran berkarakter Islam dan tidak sekular. Ia memandang prilaku, hidup dan realitas alam ini sebagai tempat untuk menjalankan amanah Allah. Semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Maka etika, prilaku dan pemikirannya ditimbang segalanya dengan petunjuk Allah dan kaidah-kaidah keislaman.

Untuk membentuk penuntut ilmu berkarakter dan beradab, maka pendidikan Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami tentang kedudukannya, baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri.

Untuk itu, pendidikan karakter juga tidak mengabaikan pendidikan akidah. Pendidikan akidah seharusnya mampu meluruskan ilmu. Pandangan alam Islam di sini menjadi ‘kaca penilai’. Konsep tentang Allah, konsep wahyu, konsep kenabian, konsep manusia, konsep alam, konsep kebenaran, konsep otoritas dan lain-lain semestinya diajarkan sebagai landasan utama belajar ilmu-ilmu yang lain. Di dalam perguruan tinggi Islam, kajian-kajian tersebut dapat menjadi Pengantar Studi Islam. Artinya, konsep akidah itu dikaji dalam perspektif wordview Islam yang menjadi titik terpenting dalam pendidikan.

Terkait dengan hal tersebut, maka klasifikasi ilmu menjadi fardlu ‘ain dan fardlu kifayah  masih relevan diterapkan dalam proses pendidikan karakater. Ilmu fardhu ain adalah ilmu pengetahuan yang menekankan kepada dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia-Tuhan. Ilmu fardhu kifayah menekankan pada hubungan manusia-manusia, dan nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang terhadap kehidupan dan alam semesta. Konsep hirarki ilmu pengetahuan ilmu fardu ain dan fardu kifayah yang mulanya dicanangkan al-Ghazali itu belum banyak dikenal di kalangan lembaga pendidikan Islam.

Ilmu fardhu ain yang berupa ilmu yang berhubungan dengan keimanan dan kewajiban-kewajiban individu diajarkan sehingga dapat menjadi fondasi bagi pengkajian disiplin ilmu lain atau ilmu fardu kifayah. Di sini sumber pengetahuan inderawi, aqli dan intuisi disatukan dalam suatu cara berfikir yang integral.

Model pendidikan, tidak saja dimodifikasi untuk mengikuti perkembangan zaman, akan tetapi yang lebih penting lagi, adab dan esensi konsep Islam harus menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan Islam.

Seiring dengan semakin mengguritanya pemikiran, konsep dan praktik pendidikan sekular, maka worldview Islam  dalam pendidikan Islam harus diajarkan. Untuk kebutuhan yang mendesak ini perlu diawali dengan para guru yang harus belajar worldview Islam. []

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *