Oleh: Moh. Ishomuddin
Inpasonline.com-Dalam kaidah para ulama, menggali hukum Islam secara langsung dari al-Qur`an dan Hadits tidak diperbolehkan bagi yang tidak mempunyai kemampuan. Saat ini, memang banyak buku-buku hadits yang banyak diterjemahkan sehingga mudah bagi siapa saja mengaksesnya. Namun, bisakah memahami hukum hanya dari terjemahan. Imam Ahmad bin Hambal yang dikutip Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam ‘I`lam al-Muwaqqi`in’, menegaskan bahwa jika seseorang memiliki buku-buku hadits dan perbedaan pendapat antara para sahabat dan tabi`in, ia tidak diperbolehkan sembarangan untuk memilih dan menetapkan hukum sendiri. Melainkan harus mengembalikanya kepada ulama yang mempunyai otoritas agar apa yang dilakukanya adalah suatu kebenaran.
Mengembalikan pemahaman agama kepada yang memunyai otoritas sudah dicontohkan para Sahabat dan ulama salaf. Dahulu Rasulullah saw adalah pemegang otoritas utama dalam berbagai urusan keagamaan. Beliau langsung menunjukkan bagaimana beraqidah bersyari`at yang benar. Jika ada beberapa kesulitan maka mereka langsung bertanya kepada beliau. Sepeninggal beliau, tidak semua Sahabat berusaha memahami agama islam sendiri-sendiri. Imam as-Suyuthi dalam ‘Tadrib ar-Rawi’ sebagaimana yang dikutip Syaikh al-Harary mencatat kurang lebih ada sekitar sepuluh sahabat yang mempunyai otoritas berfatwa dan menjadi rujukan sahabat yang lain.
Di masa selanjutnya, umat Islam memiliki empat ulama dalam hukum-hukum Islam. Abu Hanifah Bin Nu`man, Malik Bin Anas, Muhammad Bin Idris as-Syafi`i, dan Ahmad Bin Hambal. Mereka biasa disebut ‘Mujtahid Mustaqil’. Merumuskan kaidah pengambilan hukum sekaligus mengeluarkan hukum-hukum dari dalil pokok.. Ulama lain pun masih menggunakan kaidah yang mereka rumuskan. Istilah yang dikenal adalah ‘Mujtahid Mutlaq Muntasib’. Begitulah seterusnya hingga orang awam yang mengikuti mereka dalam berbagai aktifitas karena tidak memiliki kemampuan dan kesempatan karena kesibukan diluar urusan hukum. Yang terakhir biasa disebut ‘Muttabi’ dan ‘Muqallid’.
Belakangan ini muncul pandangan baru dengan berafiliasi kepada ulama salaf dan ahi hadits. Apabila dikaji dengan seksama, sebutan ahli hadits menurut Imam Nawawi sebagaiman dikutip as-Sakhawi ditujukan kepada para pengikut (Ashab) Imam Syafi`i yang digandengkan dengan ahli logika (ra`yu) dari ‘ashab’ Imam Hanafi. Imam Syafi`i-lah pencetus dasar-dasar ‘Musthalah al-Hadits’ dan ‘Ushul Fiqh’. Pun, Jika diteliti dalam buku-buku biografi seperti ‘Tadzkirah al-Huffadz ad-Dzhaby’ atau ‘Thabaqat al-Hufadz as-Susyuthi, mayoritas para ulama Hadits masih memegang otoritas Imam syafi`i. Diantaranya adalah l-Bukhari, Muslim, an-Nasa`i, Ibn Khuzaimah, Ibn Shalah, an-Nawawi, dua Ibn Hajar dan lainya. Mereka hidup setelah Imam Madzhab.
Ada ungkapan ‘Jika ada hadits Shahih maka ia adalah madzhabku’ (Idza shahha al-hadits fa huwa madzhaby). Sepertinya, pernyataan Imam Syafi`i dan Imam-imam yang lain ini memperboleh setiap orang untuk mengamalkan hadits shahih di manapun berada karena itulah madzhab mereka baik dari buku langsung atau hanya terjemahan. Seolah-olah, tata cara ibadah para pengikutnya yang tidak sesuai dengan hadits shahih berarti tidak sesuai dengan Imam Syafi`i. Sehingga mudah menyalahkan saudara seiman.
Imam Nawawi dalam ‘Majmu`Syarh Muhaddzab’ menegaskan beberapa tujuan pernyataan ini. Pertama, ini adalah bentuk ‘ihtiyath’ (kehati-hatain) yang harus dimiliki oleh setiap orang. Padahal menurut Ibh Huzaimah, tidak ada hadits shahih yang terlewatkan oleh beliau. Kedua, pernyataan ini diperuntukkan bagi para ulama yang mencapai derajat ijtihad dalam bermadzhab. Inipun dengan persyaratan bahwa Imam benar-benar belum mengetahui hadits ini dan keshahihanya. Untuk mengetahuinya harus meneliti seluruh buku-buku beliau dan pengikutnya. Hal ini karena banyak beberapa hadits yang tidak beliau ambil karena alasan adanya kecacatan, sudah di nasakh, sudah di batasi (taqyid), atau ada makna lain yang lebih kuat (takwil).
Dengan nada yang hampir sama, Imam ad-Dzahaby dalam ‘Siyar’nya mengkritik fakta adanya kelompok yang mengatakan bahwa mengamalkan hadits lebih utama dari pada mengambil hasil ijtihad Imam Syafi`i dan Abu Hanifah. Menurutnya, pernyataan ini sangatlah indah, namun diperuntukkan bagi ulama selevel mereka seperti Imam malik, Sofyan Tsauri dan al-Auza`i. dan bukan untuk semua orang. Tentunya masih dengan perincian seperti yang disebutkan Imam Nawawi. Jika tidak, hasil yang diambil akan bencana (tanakkba)ditolak mereka.
Ilmu Hadits bukanlah cabang yang berdiri sendiri, melainkan salah satu perngkat bagi ilmu-ilmu lain seperi aqidah, akhlaq dan terutama dalam fiqh. Para mujtahid lahir para ulama hadits yang enam. Mereka melakukan pengambilan hukum juga merujuk kepada hadits. Ini berarti, keberadaan hadits yang terdapat dalam kitab hadits bukan berarti untuk menolak ijtihad para mujtahid yang diakui otoritasnya. Tetapi memperkokoh salah satu dalil yang dipergunakan. Sistematika penulisanya pun yang menggunakan bab-bab fiqh.
Sering sekali muncul pertanyaaan ‘mana dalilnya’. Maksudnya adalah apakah ada haditsnya. Pertanyaan ini seolah-olah mementahkan kembali Ijtihad para ulama dalam Ibadah. Padahal, Sumber pengambilan sangat beragam. Diantaranya adalah al-Qur’an perangkat memahaminya (ulum al-Qur`an), Hadits (riwayah dan dirayah), bahasa Arab (dzauq, fashahah dan balaghah), Qiyas (logika), Ijma`(konsensus), maslahah, waqi’ (situasi dan kondisi) dsb. Jadi bukan hanya hadits saja atau hadits shahih saja. Ahli hadits pun sering berbeda pendapat dalam menentukan keshahihan hadits. Bagaimana jika ada keshahihan hadits yang masih diperselisihkan para Imam seperti Imam Bukhari atau Imam Muslim.
Penulis adalah ketua MIUMI Cabang Lumajang Jawa Timur