Atau lebih sederhananya, pengertian hadits itu adalah apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah baik perkataan, perbuatan, sesuatu yang tidak diingkiri, maupun sifat beliau.(Minhatul Mughits, Syekh Hafizh Hasan Al-Mas’udi)
Fungsi hadits sendiri adalah sebagai penjelas (bayan) dan penjabaran (syarah) al-Qur’an. Sebab di dalam al-Qur’an terdapat banyak hal-hal yang masih global (mujmal) seperti keterangan tentang shalat, zakat, haji, puasa dan lain sebagainya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus menengok keterangan hadits. Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang tata cara shalat, haji dan puasa. Yang menjelaskan secara detil adalah hadits Rasulullah.
Selain menjelaskan ayat yang bersifat global, hadits juga menjelaskan ayat-ayat yang bersifat mubham (samar-samar), seperti surat at-Taubah ayat 101 yang berbunyi,”Nanti mereka akan Kami azab dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” Ayat ini dijelaskan oleh hadits Rasulullah bahwa yang dimaksud azab dua kali adalah azab dunia dan azab di alam barzah (kubur). Sedang azab yang besar adalah azab akhirat.
Kemudian Sunnah juga merupakan sumber pokok (ashl) dalam istimbath hukum yang berdiri sendiri. Ada beberapa alasan yang mendukung pemakaian hadits sebagai hujjah, antara lain surat An-Nisa 80, al-Ahzab:36, al-Maidah:67, an-Najm:3-4, an-Nisa:113, al-A’raf:158, an-Nur:62. Contoh dalam masalah ini adalah tentang saksi dalam sebuah perkara.
Dari uraian diatas, jelaslah bahwa kehujjahan hadits ditetapkan berdasarkan al-Qur’an. Ia berasal dari al-Qur’an, dan Nabi SAW hanyalah sebagai penyambung lidah dan penjelas hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, serta pelengkap terhadap syariat Islam.
Karena itulah setiap istinbath (pengambilan hukum) dalam syariat Islam harus berpijak pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kedua sumber hukum Islam ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam kaitannya dengan kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok yang satu, yaitu nash. Keduanya saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan syari’ah.
Dengan demikian hadits adalah mutlak kebenarannya dan harus diikuti oleh setiap muslim. Tidak ada tempat untuk meragukannya karena ia adalah bagian pokok dari agama ini.
Bantahan Terhadap Penolak Hadits
Meski kedudukan hadits dalam Islam sudah jelas, namun ada orang yang berusaha menolaknya, baik dengan sengaja atau karena ketidakmengertiannya. Mereka menganggap bahwa hadits tidak ada hubungannya dengan al-Qur’an, sebab Islam cukup dengan al-Qur’an. Karena itulah mereka kemudian membuat metodologi tersendiri dalam memahami al-Qur’an dengan menolak hadits-hadits tertentu. Ironisnya, metodologi itu hanya didasarkan pada logika-logika dangkal dan terlalu sederhana yang tidak dikenal dalam tradisi keilmuan Islam. Bahkan kalau ditelaah, metodologi itu pada dasarnya merusak al-Qur’an itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa kelengkapan al-Quran terletak pada kesempurnaanya dalam mengatur persoalan-persoalan pokok kehidupan manusia (ushul al hayat), bukan pada persoalan-persoalan cabang yang kecil (furu’ al masa’il). Yang mengatur persoalan cabang adalah hadits Rasulullah SAW.
Ada juga orang yang menolak hadits dengan cara membanding-bandingkankannya dengan al-Qur’an. Tentu saja cara ini salah dan keliru, sebab sama saja ia membanding-bandingkan Allah dengan Rasulullah. Padahal orang yang melakukan itu dalam al-Qur’an disebut sebagai orang kafir yang sebenar-benarnya (lihat surat An-Nisa 150-151).
Ada juga yang menuduh hadits itu buatan Ahli Kitab, seperti yang ditulis dalam buku RLQ (Revolution learning in way Qur’an). Tentu saja tuduhan ini tidak berdasar dan mengada-ada. Sebab sama saja ia menuduh bahwa ibadah yang dilakukan oleh kaum Muslimin seperti tata cara shalat, puasa, haji dan lainnya berasal dari Ahli Kitab bukan dari Rasulullah.
Kemudian ada yang meragukan otentisitas hadits karena menurutnya ia ditulis 200 tahun setelah meninggalnya Rasulullah. Orang yang berkata seperti ini berarti tidak memahami sejarah penulisan hadits. Tradisi menulis dan menghafal hadits itu sudah dimulai sejak jaman Rasulullah. Adapun yang dilakukan ulama hadits hanya mengumpulkan(tadwin) dan meneliti kebenaran hadits, apa betul-betul dari Rasulullah atau tidak. Dari Abdullah bin Amru, dia berkata: Sesungguhnya aku telah menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah, untuk kemudian aku hafal. Namun banyak dari kaum Quraisy yang melaporkan, mereka berkata: “Apakah kamu akan menuliskan segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah SAW, sedangkan beliau sendiri adalah manusia biasa yang bisa saja berbicara dalam keadaan senang dan marah?” Sehingga aku berhenti menulisnya. Lalu hal tersebut aku adukan kepada Rasulullah SAW, beliau kemudian memberikan isyarat dengan jarinya yang menunjuk ke mulut beliau, beliau berkata: “Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar darinya (mulutku ini) kecuali kebenaran.” (HR. Abu Dawud)
Ada juga orang yang selalu mengatakan bahwa Islam itu cukup dengan al-Qur’an, tapi ia sering mengutip perkataan Rasulullah. Ini menunjukkan bahwa ia tidak memahami definisi hadits. Kalau ia yakin Islam itu hanya al-Qur’an, seharusnya tidak perlu mengutip perkataan Rasulullah yang dalam ilmu musthalah al-hadits disebut hadits. Sebab sikap seperti itu akan menjadi pembenaran bagi orang yang dalam hatinya sudah tidak senang dengan hadits. Sungguh ironis jika sesorang mubaligh tidak memahami definisi hadits sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama. Dalam ilmu apapun, definisi itu penting untuk memberikan pengertian yang benar tentang sebuah masalah. Para ulama membikin definisi hadits itu dengan tujuan agar orang tidak seenaknya menisbahkan sebuah perkataaan dengan menyebutnya sebagai hadits. Karena itulah orang yang mengutip perkataan Rasul sebaiknya menyebutkan periwayatan haditsnya, bukan berdasar pengakuan bahwa yang disampaikannya itu adalah perkataan Rasulullah.
Berkaitan dengan hadits atau sunnah, ada baiknya kita mendengar nasehat sahabat Rasulullah, Umar bin Khaththab. Beliau berkata:”Sesungguhnya akan datang manusia yang akan membantah kamu dengan berbagai macam syubat (dari ayat-ayat) al-Qur’an, maka lawanlah mereka dengan sunnah, karena sesungguhnya Ahlu Sunnah lebih tahu tentang Kitabullah (al-Qur’an).(Riwayat Imam Daarimiy, sunnan:1/49)
Lebih tegas lagi Rasulullah bersabda,” “Barangsiapa yang membenci sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulannya, kita harus yakin bahwa hadits Nabi Muhammad adalah mutlak kebenarannya dan harus diikuti oleh setiap orang yang telah mengucapkan 2 kalimat syahadat. Bagi yang meragukan hadits, sebaiknya belajar dulu ilmu musthala al-hadits agar pikiran dan hatinya terbuka sehingga tidak mudah meremehkan hadits karena kejahilannya.