Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com – Imam al-Syafi’i merupakan penyusun ilmu ushul Fikih secara sistematis. Ilmu fikihnya terpadukan dengan hadis. Muhammad al-Hasan, salah seorang gurunya, mengatakan, jika para hali hadits bercakap-cakap maka percakapan mereka sesungghunya melalui lidah Imam al-Syafi’i. Ilmu fikihnya terpadukan dengan hadis. Beliau pernah mengatakan untuk para ulama mujtahid, jika ada hadits shahih, maka itu madzhabku.
Ucapan yang ditujukan kepada ulama mujtahid madzhab ini menunjukkan kepada para ulama bahwa Imam Syafi’i sangat memperhatikan posisi hadits. Kaidah-kaidah fikih tidak lepas dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Imam al-Syafi’i dilahirkan di bumi Palestina. Tepatnya di kota Gazza pada tahun 105 H. Ia seorang keturunan Bani Quraisy. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Rantai silsilahnya adalah, Abu Abdullah bin Idris bin al-Abbas Utsman bin Syafi’i bin al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muttalib bin Abdul Manaf.
Dikisahkan, bahwa Imam al-Syafi’i dilahirkan pada malam Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Seorang imam meninggal dunia dan saat itu pula lahir seorang imam yang lain.
Imam al-Syafi’i lahir dari keluarga tidak mampu di Palestina. Mereka hidup di dalam perkampungan yang mayoritas dihuni oleh orang-orang Yaman. Ayahnya meninggal duni ketia beliau masih kecil.
Sejak kecil sudah mendalami bahasa Arab dan gramatikanya. Karena itu, ia pernah tinggal bersama suku Huzail selama sepuluh tahun untuk mempelajari bahasa. Suku Huzail terkenal sebagai suku yang paling baik bahasa Arabnya. Imam al-Syafi’i banyak menghafal banyak syair dan kasidah dari bani Huzail ini.
Beliau mengembara ke berbagai negeri untuk mempelajari Islam. Pertama ke Makkah, Madinah, Irak dan Yaman. Salah satu guru besar utamanya adalah Imam Malik. Kepada Imam Malik beliau belajar langsung di Madinah hingga Imam Malik meninggal dunia.
Guru-gurunya yang lain adalah, dari Makkah: Muslim bin Khalid al-Zinji, Sufyan bin Uyainah, Said bin al-Kudah, Daud bin Abdurrahman, Al-Attar dan Abul Hamid bin Abdul Aziz. Di Madinah: Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad al-Dawardi, Ibrahim bin Yahya al-Usami, Muhammad Said bin Abi Fudaik dan Abdullah bin Nafi’ al-Saigh. Di Yaman: Matraf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf, Umar bin Abi Maslamah dan Abi Laith bin Sa’ad. Dari Irak: Muhammad bin al-Hasan, Waki’ bin al-Jarrah al-Kufi, Abu Usamah Hamad bin Usamah, Ismail bin Attiah al-Basri dan Abdul Wahhab bin Abdul Majid al-Basri.
Madzhab Syafi’i pertama kali berkembang di kota Makkah kemudian ke Baghdad dan Mesir. Pendapat-pendapatnya digali dari gurunya yang utama dari fikih orang Makkah dan orang Irak.
Hadits menjadi perhatian penting dalam penggalian hukum, setelah al-Qur’an. Jika beliau menemui permasalahan hukum, pertama kali beliau mencari hadits Nabawiy untuk panduan memberikan fatwa. Ia menghafal kitab hadits Muwattha’ yang ditulis oleh gurunya, Imam Malik.
Ia pernah berkata: “Di mana saja bumi membawaku dan di mana pun juga langit meneduhku, apabila diceritakan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan aku tidak mengatakannya: Ya, aku dengar dan patuh! Dan beliau berkata lagi: Walau bagaimana kukatakan atau bagaimana sekalipun aku asaskan, sedangkan di sana ada pendapat dari Rasulullah yang bertentangan dengan perkataanku maka perkataan atau pendapatku adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah”.
Para pengkaji ilmu hadits berpendapat bahwa para hali hadis itu tidur, sedangkan Imam al-Syafi’i menyadarkan mereka. Sehingga mereka pun sadar. Banyak murid-muridnya yang menjadi ahli Hadits, salah satu yang paling terkenal adalah Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga seorang di antara empat Imam Mujtahid.
Fakhruddin al-Razi menggambarkan tanggung jawab besar yang dipikul oleh Imam al-Syafi’i yaitu ketika ia beruusaha menyatukan antara pematuhan terhadap hadits dan menggunakan akal. Maka, beliau berhasil menggabungkan dua aliran tersebut dengan adab-adabnya. Tanpa mempertentangkannya secara dikotomis.
Imam Syafi’i sangat peduli dengan ilmu hadis. Ia menyelidiki dengan teliti perkara-perkara yang diriwayatkan oleh pembawa hadits Rasulullah. Dengan kapasitas ini, Imam al-Syafi’i berhasil membuka cakrawala ilmu bagi para pakar hadits dan kaum rasionalis.
Ia juga ahli mantiq. Karena itu, ilmu ushul fikihnya dikatakan oleh Fakhruddin al-Razi berhasil meletakkan peraturan umum dalam bidang hukum sebagai tempat rujukan untuk mengetahui derajat dalil-dalil. Disamping itu ia hali gramatika bahasa Arab, retorika bahasa dan dikenal pula sebagai penyair. Karya syairnya terkumpul dalam kitab Diwan al-Syafi’i.
Imam al-Syafi’i meninggal dunia di Mesir pada hari Kamis di malam terakhir bulan Rajab pada tahun 204 H, pada usia 54 tahun. Sebelum meninggal, beliau menderita penyakit wasir. Kerap ia mengajar murid-muridnya sambil menahan sakit wasir, sampai keluar darah.
Ketekunan ibadahnya luar biasa. Beliau membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian: satu pertiga untuk menulis dan mengajar, satu pertiga untuk shalat dan bertahajud dan satu pertiga lagi untuk tidur.
Seorang ulama bernama Hilal bin al-A’la memuji kehebatan dalam bidang hadis: Para ahli hadits bagaikan anak-anak Imam al-Syafi’i, beliau pembua kunci untuk mereka itu.