Epistemologi dan Ketundukan Kepada Tuhan

Written by | Opini

Oleh: Derajat Fitra*

Inpasonline.com-Sejarah pemikiran manusia, telah dikenal  banyak aliran dan metode untuk mendapatkan pengetahuan, cara untuk mencapai kesadaran, cara untuk mengetahui hakikat segala sesuatu dan cara untuk mengenal Tuhan. Dalam bukunya, Manhaj Islami, Muhammad Imarah menjelaskan bahwa di antara cara-cara tersebut, yang paling menonjol adalah cara yang digunakan oleh para pengikut aliran spiritualis murni dan para pengikut aliran materialis murni (Muhammad Imarah. Manhaj Islami… Hlm 49-50).

Akan tetapi, dua aliran ini sama-sama menceraikan agama atau wahyu Tuhan dalam metode berpikir mereka. Jika sumber kesadaran adalah manusia itu sendiri dan jika pemilik kesadaran terhenti hanya pada fenomena kehidupan dunia, maka apakah jalan yang mereka tempuh adalah jalan untuk kebebasan manusia dan dapat memenuhi jawaban untuk orang yang memiliki iman terhadap Allah SWT dan hari akhir? Di sinilah problem utamanya.

Berangkat dari pertanyaan ini, maka perlulah bagi kita sebagai muslim untuk kembali merenungkan dan memahami bagaimana cara untuk mencapai pengetahuan, hakikat sesuatu, kesadaran, kebebasan dan kebahagiaan dalam kerangka Islam.

Hakikat Pengetahuan

Muhammad Imarah menjelaskan, bahwa aliran spiritualis murni memandang bahwa cara untuk menghasilkan pengetahuan adalah dengan menggunakan tehnik klasik yang telah dikenal dalam sejarah pemikiran Timur klasik dengan nama gnoticism. Yaitu cara yang tidak mengakui dan tidak memfungsikan alat-alat indera, dan juga nalar sebagai potensi yang ditopang oleh alat-alat indera, sebagai jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Aliran ini juga tidak mengakui teks agama atau wahyu sebagai media atau jalan untuk mendapatkan pengetahuan.

Konsep aliran spiritulais terkait dengan cara mencapai pengetahuan dan kesadaran ini, sekalipun berhasil mengungkap sebagian rahasia-rahasia spiritual – menurut anggapan mereka – membuat penganutnya tenggelam dalam lautan khayalan dan tidak dapat mengungkapkan serta mengkonseptualisasikan pengetahuan dan kesadaran yang mereka peroleh itu, sehingga ia menjadi pengetahuan pribadi yang bersifat subyektif dan ekslusif. Padahal syari’at dan risalah-risalah langit datang untuk semua manusia dan bukan hanya untuk kalangan tertentu saja.

Adapun aliran kedua, yaitu materialis murni, berkebalikan dengan aliran spiritualis. Aliran ini hanya mengakui indera sebagai media atau alat untuk mendapatkan pengetahuan dan kesadaran. Segala sesuatu yang tidak dapat dipersepsi oleh indera menurut aliran ini dianggap tidak ada. Apa yang tidak dapat dijangkau oleh nalar, karena nalar adalah potensi yang diopang oleh indera, bagi mereka mustahil menjadi objek ilmu pengetahuan.

Pandangan aliran materialis ini terkait dengan cara mendapatkan pengetahuan dan kesadaran, dengan kelemahannya yang membatasi objek pengetahuan hanya pada apa yang mungkin dicerap oleh indera, dalam kenyataannya memang berhasil dalam mengungkap pengetahuan mengenai objek dalam dunia nyata. Namun, pada sisi lainnya ia tidak mampu dan tidak mengakui apa yang yang tidak dapat dipersepsi oleh nalar dan alat-alat indera.

Padahal dalam Islam, segala ilmu pengetahuan dan kesadaran datangnya dari Allah SWT. Menjelaskan hal ini Prof. al-Attas menegaskan bahwa oleh karena segala pengetahuan itu datangnya dari Allah SWT dan ia ditafsirkan oleh jiwa dengan perantaraan daya dan indera kerohanian dan jasmaninya, maka ini dengan sendirinya bermaksud bahwa pengetahuan itu apabila merujuk kepada Allah SWT selaku sumbernya, adalah “ketibaan ma’na sesuatu perkara atau sesuatu objek pengetahuan dalam diri” (husul ma’nal-shay’ fi’l-nafs) dan apabila merujuk kepada jiwa selaku penafsirnya, pengetahuan itu adalah “kesampaian jiwa pada ma’na sesuatu perkara atau suatu objek pengetahuan” (wusul al-nafs ila ma’nal-shay) (Syed Muhammad Naquib Al Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin…. hlm 48-58.)

Dalam epistemologi Islam, bukan saja hakikat kebenaran yang diakui tetapi juga kemampuan manusia untuk memperolehnya juga turut diakui. Digariskan bahwa tiga saluran utama manusia untuk memperoleh ilmu adalah pancaindera yang baik, akal sehat, dan khabar yang benar. Kitab suci Al-Quran sebagai sumber utama epistemologi Islam menyatakan dengan istilah-istilah yang tanpa keraguan bahwa seluruh alam semesta dengan apa yang ada padanya adalah sebuah ‘Buku’ yang agung, dan terbuka untuk dimengerti dan ditafsirkan. Kitab suci al-Quran juga mengatakan bahwa manusia yang memiliki kecerdasan, pengertian, kefahaman, ketajaman dan ilmu akan mengetahui makna dari ‘Buku’ itu. Gambaran Kitab Suci al-Quran mengenai alam tabii dan manusia-baik yang terjelma di luar maupun yang tersembunyi di dalamnya-sebagai ayat (kata-kata, kalimat-kalimat, tanda-tanda, lambang-lambang) akan memberikan pengetahuan dan menerangkan dengan sendirinya secara jelas kepada manusia tentang Tuhan yang Maha Menciptakan.( Wan Suhaimi Wan Abdullah, Beberapa Wajah dan Faham Dasar Tasawuf Menurut al-Attas…. hlm 222-224).

Tunduk

Istilah ‘Tuhan’ menunjuk pada Tuhan, yang Ada tertinggi, yang kita junjung dan kita jadikan pusat kehidupan. Jika Tuhan telah mati, seperti yang diucapkan Nietzsche, maka tak pelak lagi manusia akan mencari ‘pegangan’ dalam bentuk lain; sains, ideologi, kepercayaan, bahkan atheisme. Iya, manusia adalah makhluk pemuja, bila Tuhan pujaannya mati, jika menurutnya tidak ada ‘pegangan’ lain yang cukup mantap, boleh jadi ia mengimani ketiadaan Tuhan dengan sepenuh hati. “Tuhan tidak ada”, demikian credo imannya. Jika ada orang membantahnya, ia akan mati-matian mempertahankan kepercayaannya tersebut. Manusia butuh ‘sesuatu’ di luar dirinya untuk dijadikan sebagai ‘pegangan’. Manusia yang kehilangan pegangan adalah manusia yang limbung, resah, terperosok dalam kekosongan (A. Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan… hlm 7-9). Sungguh menyedihkan.

Fitzgerald Sitorus dalam papernya, Nietzsche, Heidegger, dan Kritik atas Metafisika Barat, mengungkapkan bahwa dari perspektif Heidegger, kehadiran nihilisme Nietzsche adalah konsekuensi dari idealisme Plato. Pemosisian nilai ideal sebagai tujuan dan paradigma tunggal memungkinkan terciptanya ketidakpercayaan manusia pada dirinya sebagai penangkap makna realita. Ketidakpercayaan ini dimulai ketika keanekaragaman dinamika kehidupan dunia ini ternyata tidak dapat ditundukkan di bawah nilai tunggal ideal menurut ukuran manusia (Fitzgerald k. Sitorus, Nietzsche, Heidegger, dan Kritik atas Metafisika Barat… hlm 41-48). Berdasarkan hal ini, maka baik aliran spiritualis murni ataupun materialis murni yang telah menceraikan wahyu Tuhan dari metode berpikir mereka, ketika mereka menyadari bahwa akal manusia ternyata tidak akan mampu menundukan ‘realita’ Tuhan dan kehidupan, sangat berpotensi terjerembab pada lubang nihilisme juga.

Menanggapi hal ini, perlu dipahami bahwa dalam Islam, dengan segala kemampuan yang dimiliki dan keterbatasan yang ada padanya, setiap manusia yang berakal sehat sesungguhnya dapat mengetahui dan mengenal hakikat realita (Syamsuddin Arif, Prinsip-prinsip Epistemologi Islam: Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Editor Adian Husaini… hlm 111-113.). Hakikat atau esensi segala sesuatu itu wujud dan tetap– yang berubah-ubah itu hanya sifat-sifat atau a’radh –nya saja – sehingga dapat diketahui dengan jelas, sehingga manusia dapat membedakan ayam dengan burung, roti dengan batu, akar dengan ular dan lain sebagainya. Jadi tidak seperti yang dialami oleh kaum nihilis dan sejenisnya hingga akhir zaman.

Berkenaan dengan hal ini, Syed Muhammad Naquib Al Attas menjelaskan, bahwa dalam Islam, ‘akal yang sehat’ tidak hanya dibatasi oleh unsur-unsur inderawi semata, atau oleh aspek mental yang secara logis mensistematisasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman inderawi saja. Sebagaimana halnya tidak membatasi akal pada unsur-unsur inderawi, Islam juga tidak membatasi spiritualitas atau intuisi hanya pada kemampuan terbatas manusia tanpa perantara, melainkan teguh tanpa keraguan menjadikan wahyu sebagai penuntun untuk mencapai ilmu dan kesadaran. Intuisi tidak datang pada sembarang orang, tetapi datang pada orang yang telah menjalani hidupnya dalam kebenaran agama melalui ketundukan hati dalam pengabdian kepada Tuhan dan dalam menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya (Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam dan Filsafat Sains… hlm 34-38).

Dalam sebuah kisah, Nabi Musa a.s pernah bertanya kepada Tuhan: “Wahai Rabb, di manakah aku dapat menemukan-Mu ? maka Allah SWT menjawab: “Saat hati mereka tunduk pada-Ku” (Khawatir Al-Fajr: 12).

Dari penggalan kisah tersebut, perlulah kita memuhasabahi diri, kapan terakhir kali hati kita tunduk di hadapan Allah SWT ? ketika sedang menderita sakit, lantas diri mengharapkan pertolongan dari-Nya.

Kapan terakhir kali hati kita tunduk ? ketika diuji dengan kekerasan hati, lalu diri mengharap kepada-Nya: “lembutkanlah hati hamba dengan kekuasaan-Mu, duhai Sang Maha Lembut”.

Kapan terakhir kali hati kita tunduk ? ketika disapa oleh kebahagiaan, bibir memuji melantukan syukur kepada-Nya (Syarif Muhammad Syahata, Kisah Cinta dengan Allah… hlm 22-23).

Mudah-mudahan kita dapat menjadi hamba yang senantiasa tunduk kepada Allah SWT. Ketika diri dianugerahi ilmu, kesadaran dan ketaatan, tangan menengadah dengan  penuh harap sembari berkata: “Duhai Allah yang Maha Mulia, kabulkanlah doa hamba”.Wallahu a’lam Bish-Shawab

Penulis adalah peserta program PKU XI Unida Gontor

Last modified: 28/11/2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *