Kawin Beda Agama, Bahaya!

Oleh: Anwar Djelani

pernikahan-beda-agamaInpasonline.com – Asmirandah bikin heboh beberapa saat lalu. Heboh bukan karena terkait dengan prestasi seni peran yang selama ini dijalaninya, tapi soal perkawinannya dengan pasangan beda agama. Rupanya, Asmirandah termasuk Muslimah yang tak menyadari bahaya kawin beda agama.

Terang dan Jelas

Situs www.okezone.com 28/01/2014 menyebutkan bahwa keluarga Asmirandah sangat kesal dengan Jonas Rivanno. Anton Zantman, ayah Asmirandah, meminta Jonas tidak pernah datang ke kediamannya. “Dia sudah bikin anak saya begini. Saya blacklist dia buat datang kemari,” ungkap Anton. Anton menilai Jonas telah “menculik” Asmirandah. Selain berbohong mempermainkan agama saat menjadi mualaf, Jonas juga telah membawa Asmirandah berpaling ke agamanya. “Dia telah menculik anak saya,” tutur Anton kesal.

Kasus di atas memperpanjang contoh ekses negatif kawin beda agama. Kita tahu, modus yang paling sering kita temui adalah seorang lelaki non-Islam bersedia masuk Islam di saat akan menikahi seorang Muslimah. Tetapi, setelah pernikahan terjadi si laki-laki kembali ke agama asalnya. Bahkan tak cukup hanya itu, si laki-laki juga mengajak si istri untuk mengikuti agamanya.

Terkait hukum kawin beda agama, Islam telah cukup terang dalam menjelaskan soal ini:  “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu. (Larangan itu karena) mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran (QS Al-Baqarah [2]: 221). “…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita diberi Al Kitab (Ahlul Kitab) sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS Al-Maaidah [5]: 5). “…Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” (QS Al-Mumtahanah [60]: 10).

Dalam problema perkawinan beda agama, hendaknya kita mengikuti fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yakni Fatwa tentang Perkawinan Campuran yang dikeluarkan pada 1 Juni 1980.

          Dalam fatwa tersebut, MUI (yang waktu itu diketuai Prof Dr HAMKA dengan Sekretaris Umum Drs H Kafrawi) merujuk pada QS Al-Baqarah [2]: 221, Al-Maaidah [5]: 5, Al-Mumtahanah [60]: 10, dan At-Tahrim [66]: 66. Fatwa itu juga merujuk sejumlah sabda Rasulullah SAW.

          Isi fatwa: Pertama, perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Memang, dalam hal perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut haram hukumnya.

    Rupanya, enam belas tahun setelah terbitnya fatwa itu, di masyarakat tetap muncul masalah karena terjadi cukup banyak pelanggaran. Buktinya, lalu terbit lagi fatwa soal Prosedur Perkawinan pada 19 April 1996. Fatwa ini lahir karena MUI telah “Menerima pengaduan, pertanyaan, dan permintaan fatwa yang disampaikan secara langsung, tertulis, maupun lewat telepon dari masyarakat di sekitar masalah tersebut”.

Umat Islam, memang pantas ekstrahati-hati berkaitan dengan masalah kawin beda agama ini. Sebab, banyak kasus pemurtadan terjadi, dengan modus: Si laki-laki nonMuslim ‘bersedia’ masuk Islam agar ia tak terhalang (oleh hukum) untuk mengawini wanita muslimah. Tetapi, setelah maksudnya tercapai, dia lalu kembali ke agama asalnya. Bahkan itu tak cukup, karena dia pun mengajak (paksa) istri dan anak-anaknya.

Kasus Asmirandah di awal tulisan ini bisa dijadikan ‘pelajaran mahal’. Kemungkinan jelek seperti pada kasus itu janganlah ditepis. Misalnya, si muslim(ah) merasa percaya dengan adanya janji-janji lisan dari (calon) pasangannya. Hendaknya, selalu diingat pepatah bahwa ‘lidah tak bertulang.’

Oleh karena itu, pikirkanlah dengan jernih seraya bersandar kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits sedemikian rupa kita dapat menetapkan keputusan yang benar. Hal yang demikian harus dilakukan, sebab –sekali lagi- berdasarkan pengalaman kita pantas tak segera yakin bahwa si calon mempelai (terutama yang laki-laki) masuk Islam secara tulus.

Si Lidah

Alhasil, perlu kiranya untuk selalu mengingatkan (terutama kepada mereka yang sedang ‘mencari’ jodoh), bahwa janji calon mempelai yang aslinya non-Islam untuk akan “Ber-Islam dengan sungguh-sungguh” seringkali tak terbukti. Mereka kerap hanya menjadikan status muallaf sebagai semacam ‘karcis masuk’ untuk bisa menikahi seorang muslimah. Setelah apa yang dimaui sudah tercapai, mereka lalu dengan mudah meninggalkan Islam lagi, karena memang ‘lidah tak bertulang’. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *