Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Perkembangan kurikulum sekolah di Indonesia makin maju. Dalam kurikulum 2013 ada poin yang patut diapresiasi. Yakni, menempatkan pembangunan karakter sebagai hal yang penting dan ditekankan dalam setiap subjek. Dengan model pembelajaran tematik, internalisasi nilai-nilai religius dapat dilakukan ke dalam tiap mata pelajaran.
Kita semua berharap, perkembangan kurikulum ini sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasional Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Kita lihat, dalam rumusan UU Sisdiknas misalnya, telah disebutkan bahwa pendidikan bersifat integral antara aspek keimanan dan ketaqwaan, akhlak, pengetahuan kecakapan, kreatifitas, dan kemandirian. Kata kunci dalam rumusan ini adalah iman dan takwa. Semua insan pendidikan (khususnya pendidik Muslim) menaruh harapan kepada kurikulum 2013 dengan menempatkan agama sebagai hal yang penting dalam praktik pendidikan nasional.
Namun, setelah mencermati beberapa buku teks kurikulum 2013, baik yang diterbitkan Kemendikbud maupun yang diterbitkan pihak swasta, banyak hal yang perlu dievaluasi. Baru-baru ini kita dikagetkan dengan lolosnya ajaran mengajak berpacaran dalam buku Pendidikan Jasmani dan Olahraga untuk siswa SMA/MA/SMK kelas XI, semester 1 yang diterbitkan oleh Kemendikbud RI.
Tema tersebut ada di Bab X yang berjudul “Memahami Dampak Seks Bebas”. Disebutkan, gaya pacaran sehat terdiri dari beberapa macam unsur, yaitu sehat fisik, sehat emosional, sehat sosial dan sehat seksual.
Materi pada halaman 128-129 seakan mengajarkan siswa untuk pacaran. Sementara pada ruang yang sama dalam buku itu dengan jelas menayangkan gambar seorang gadis berbusana muslimah dengan pemuda berbaju koko. Buku tersebut sangat tidak sesuai dengan semangat yang ingin di hadirkan dalam Kurikulum 2013, yaitu pendidikan karakter. Gambar itu dianggap tidak memiliki korelasi yang tepat dengan gaya pacaran sehat yang dimaksud.
Yang dimaksud pacara sehat ternyata adalah melegalkan pacaran. Pacaran, hubungan hubungan pria-wanita sebelum nikah boleh dilakukan asalkan tidak hamil. Gambar yang menambilkan orang berjilbab dan berpeci, seolah-olah menunjukkan pacaran sehat itu adalah pacaran yang laki-lakinya berpeci baju koko dan wanita memakai jilbab. Padahal ajaran ini mendorong siswa-siswi tanpa beban melakukan maksiat. Dilarang saja masih banyak hamil di luar nikah apalagi dibolehkan. Banyak yang memperkirakan akan terjadi banyak kasus seks bebas jika pelajaran ini lolos.
Dengan adanya pembelajaran tersebut berarti secara tidak langsung pemerintah memperbolehkan atau melegalkan pacaran. Padahal secara spiritualitas pacaran sangat tidak sehat. Seharusnya kurikulum yang ada memberikan nilai-nilai baik. Termasuk bimbingan agar menjauhi pacaran dan menjalani hidup sehat agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Ditemukan pula beberapa buku ajar kurikulum 2013 bermuatan sekularisme. Dr. Adian Husaini, MA, menulis di hidayatullah.com (9 Juni 2014) dengan judul Infiltrasi “Sekularisme” dalam Kurikulum 2013.
Adian menulis: ‘Sebagai contoh, dalam buku ajar “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” untuk SMP-MTs Kelas VII, jilid 1 (2013), disebutkan, bahwa kompetensi inti pelajaran ini adalah: “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.” Sedangkan kompetensi dasarnya adalah: “Menghargai perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat.”
Anehnya, buku ini dibuka dengan bab “Sejarah Perumusan Pancasila” yang menyebutkan, bahwa nilai-nilai Pancasila sudah dirumuskan jauh sebelum dimulainya Zaman Sriwijaya/Majapahit, zaman Penjajahan Barat, zaman Jepang, hingga zaman Kemerdekaan. Sama sekali buku ini tidak menyebutkan adanya unsur Islam dalam perumusan Pancasila. Padahal, jelas sekali dalam Pembukaan UUD 1945, ada kata ‘Allah’ yang merupakan nama Tuhan resmi dalam Islam. Sejumlah istilah kunci Islam juga menjadi bagian dari Pancasila, seperti kata ‘adil’, ‘adab’, ‘hikmah’, dan ‘musyawarah’. Istilah-istilah itu tidak ditemukan di wilayah Nusantara sebelum masuknya Islam ke wilayah ini yang utamanya di bawa oleh para ulama dari kawasan Jazirah Arab.’
Beliau memaparkan data-data lainnya: Contoh lain dari buku ajar yang mendorong anak didik menjadi sekuler bisa dilihat dalam buku berjudul “Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas X”, yang juga berdasarkan Kurikulum 2013. Buku ini terbitan sebuah penerbitan terkenal. Pada Bab II, tentang Asal-usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia, disebutkan bahwa Karakter yang dikembangkan dalam pembahasan ini adalah: “Mensyukuri kebesaran Pencipta dan bertakwa kepada-Nya. Mempelajari secara ilmiah terjadinya alam semesta mengarahkan siswa untuk sadar bahwa di balik segala peristiwa sejarah, Tuhan memiliki maksud dan tujuan yang mulia untuk kita, dan karena itu mendorong kita untuk berserah hanya kepada-Nya.”
Jadi, karakter yang dituju dalam buku ini sangat baik. Akan tetapi, anehnya, dalam pembahasan tentang sejarah manusia Indonesia tersebut, tidak ada sama sekali rujukan wahyu Allah. Semua pembahasan hanya berlandaskan empirisisme dan rasionalisme. Jelas, di benak penulis buku ajar ini, ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang penciptaan alam semesta dan sejarah penciptaan manusia dan juga asal-usul manusia, tidak dianggap sebagai sumber ilmu, sehingga tidak dimasukkan ke dalam kategori “ilmiah”.
Pengajaran toleransi dalam buku teks PPKn juga telah mengajarkan hal-hal yang diharamkan. Misalnya ditemukan buku PPKn untuk SD/MI kelas 1 ditemukan dialog: “Meri, hari Minggu kita main boneka yuk!”. Dijawab oleh temannya:”Aku tidak bisa, aku harus ke Gereja”. Di dalam buku halaman 14 itu, siswa diberi dua opsi jawaban untuk memilih. Pertama, “Kamu tidak usah ke gereja!” dan Kedua, “Selamat beribadah Meri!”. Dari latihan tersebut siswa digiring untuk memilih jawaban kedua. Padahal jawaban kedua merupakan ucapan selamat ibadah kepada non-Muslim. Dimana kaum Muslimin diharamkan mengucapkannya.
Menurut Imam al-Ghazali anak sebelum baligh wajib diberi pelajaran pokok-pokok agama (ushul al-din) dengan metode sederhana. Agara mudah dicerna anak tanpa menimbulkan kebingungan. Misalnya imam al-Ghazali memperingatkan agar anak-anak jangan diajari ushul al-din dengan metode jidal, tapi diberikan secara doktrinal. Membiasakan mereka dengan ibadah-ibadah pokok, meminimalisir dari lingkungan yang tidak religious dikarenakan anak belum baligh sangat labil, bahkan teman harus dipilih bukan teman yang jahat dan yang bisa mempengaruhi agamanya (lihat Sayyid Ahmad Zaruq,Syarh Aqidah al-Imam al-Ghazali, hal. 170).
Karena itu, dalam konteks pengajaran, penulis menilai, anak usia SD/MI kelasa 1 yang diberi pelajaran pengenalan agama atau perbandingan agama sangat tidak tepat. Pengajaran perbandingan agama (comparative religion) harusnya diberikan kepada pelajar yang telah matang dasar-dasar ilmu keagamaannya. Itupun diberikan kepada pelajar yang telah dewasa.
Fikiran, akal dan ilmu telah memiliki dasar-dasarnya. Pelajar usia 7 tahun wajib diajarkan ilmu-ilmu dasar untuk memahami agama dengan baik. Hukumnya fardhu ‘ain.
Karakter minus agama adalah keliru. Sebab sumber pembentukan karakter yang baik adalah dari agama.Jika pendidikan karakter minus agama, maka pendidikan karakter hanya menilai perilakunya saja bukan pemahamannya. Konsepsi ini cukup mengkawatirkan. Karena bisa saja anak tidak percaya Tuhan, tapi memiliki prilaku ‘baik’ seperti yang ditargetkan. Menurut Dr. Adian Husaini, karakter saja tidak cukup, tapi harus beradab. Karena itu, penting pendidikan etika berwawasan akidah. Karena akidah lah yang mengontrol perilaku manusia. Pelajar menjadi amoral ketika praktik pendidikan dilaksanakan secara asl-asalan, minus konsep dan lemah penerapannya.
Dalam pandangan Islam, pendidikan karakter adalah pendidikan berakhlak dan beradab. Pendidikan karakter tanpa konsep adab dipastikan bermasalah. Selain bermasalah, pendidikan karakter yang minus agama tidak sesuai nilai Pancasila, terutama sila pertama – Ketuhanan Yang Maha Esa. Kurikulum 2013 harus dievaluasi total. Idealnya, pendidikan karakter harusnya berbasis nilai-nilai agama. Diutamakan mengenalkan prinsip-prinsip pokok dalam agama. Sebaliknya, jika kasus-kasus seperti di atas dibiarkan, kurikulum akan menjadi ‘racun’ pelajar kita. Pelajar bisa saja pintar, tapi jauh dari nilai-nilai agama.