Penyakit Ghurur yang Menyerang Ilmuan

Written by | Opini

photo_01_bigOleh: Kholili Hasib

Inpasonline.com-Salah satu penyakit yang banyak menjangkiti para agamawan dan penuntut ilmu adalah ghurur (tertipu). Yaitu tertipu oleh agama dan amalnya. Jika diri seseorang merasa telah berilmu, memegang gelar akademik, dipanggil ustadz atau ulama, maka ia mulai merasa dirinya sebagai seorang yang besar tidak ada yang menyamainya. Pada posisi ini seseorang akan kehilangan adab.

Imam al-Ghazali pernah mengingatkan, orang yang tertipu di akhirat kelak adalah orang yang jika berbuat baik, dia berkata, “Akan diterima amal kebaikanku”. Jika berbuat maksiat, dia berkata:”Akan diampuni dosaku.” Inilah contoh orang yang tertipu (ghurur).

Dikatakan pula oleh imam al-Ghazali, bahwa jika kita terlena menghitung pahala tetapi dosa-dosa dilupakan, maka kita menjadi orang tertipu terhadap amal kita sendiri. Pada hari penghitungan amal, kita akan terkejut. Sebab ternyata timbangan amal lebih berat daripada pahala yang kita sangka-sangka telah menumpuk.

Seorang yang tertipu dengan ilmunya ada beberapa kelompok. Di antaranya adalah mereka yang menekuni ilmu-ilmu syariat dan ilmu rasional. Terhadap dua ilmu ini mereka sangat disiplin. Namun di sisi lain mereka mengabaikan anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat. Ilmu syariat dan rasional dikuasai, namun tidak diamalkannya.

Ketertipuannya terletak pada perasaan diri bahwa dengan eksisnya ilmu syariat dalam dirinya, ia merasa sudah aman dari murka Allah Swt. Prasangka yang berlebihan bahwa ilmu yang ia pelajari langsung menaikkan derajatnya di sisi Allah Swt. Padahal, untuk mendapatkan derajat tinggi, ilmunya harus diamalkan.

Mereka juga berperasangka bahwa ilmu yang dimiliki tidak mungkin menyebabkannya masuk neraka. Lebih dari itu, mereka berperasangka bahwa dirinya – yang telah meraih ilmu itu – bisa memberi syafaat kepada orang lain pada hari kiamat. Padahal, ilmunya saja belum menjamin ia masuk surga.

Mereka inilah yang tertipu dengan ilmu yang dimiliki. Padahal, ilmu yang bermanfaat adalah apabila diamalkan dan membawa kepada rasa khasyyah (takut) kepada Allah Swt.

Kelompok lain orang yang ghurur adalah golongan yang menguasai ilmu dan amalan-amalan lahir. Meninggalkan maksiat lahir, namun mereka lupa terhadap amalan hati. Seorang ahli ilmu syariat namun mengabaikan ilmu adab hati. Tidak sedikit orang yang mengetahui cara membersihkan hati, menulis buku-buku tentangnya dan mengajarkannya kepada orang lain namun lupa sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa yang semakin bertambah ilmu namun tidak bertambah petunjuknya, maka ia tidak akan mendekat pada Allah Swt kecuali malah semakih jauh”.

Di antarnya ada ilmuan yang hanya mencukupkan diri dengan ilmu fikih, tapi apatis terhadap ilmu-ilmu yang lain. Siang-malam dihabiskan untuk meneliti persoalan khilafiyah, namun lupa penyakit yang menempel dalam hatinya sendiri. Berprasangka bahwa tidak ada ilmu lain yang menarik perhatiannya, kecuali ilmu perdebatan (munadzarah), membela diri, mengalahkan lawan-lawannya demi eksistensinya sebagai ilmuan yang ‘ahli’ fikih.

Akibatnya, tipe orang seperti itu mengabaikan sifat-sifat yang tercela seperti sombong, riya, hasud, cinta kehormatan, pangkat dan mencari popularitas. Semua ini adalah bentuk ketertipuan terhadap ilmunya. Kesibukannya hanya bertumpu pada amaliah lahir saja.

Kelompok ghurur berikutnya adalah mereka yang mengetahui dan menyadari akhlak-akhlak tercela. Hanya mereka ujub (bangga diri), menyangka bahwa akhlak yang tercela tersebut telah lepas darinya. Mereka memang memiliki ilmu. Secara lahir terlihat beradab kepada lainnya, namun dalam batinnya menyimpan sifat sombong, gila hormat, jabatan dan gila popularitas. Perasaan batin ini tidak Nampak secara fisik, namun tersimpan rapat dalam hati. Inilah ghurur yang berbahaya.

Lebih berbahaya lagi ketika ghurur tersebut semakin samar. Di antaranya seperti prasangka hati bahwa perbuatan orang yang ujub tadi dianggapnya bukanlah kesombongan namun upaya untuk memulyakan agama. Bersikap sombong namun disangka itu memperjuangkan dan mensyiarkan agama. Mereka inilah agamawan yang mencari kemulyaan dan kebanggaan diri melalui agama dengan hartanya yang mewah.

Imam al-Ghazali telah mengingatkan, penyakit orang berilmu itu ada tiga: hasud, riya dan sombong. Kesombongan yang paling besar adalah menolak kebenaran dan otoritas. Tatkala seseorang merasa dirinya telah menjadi ulama besar, telah mencapai derajat mujtahid yang berhak memberi pandangan tertentu dalam hukum agama, maka ia akan merendahkan ulama lainnya yang bertentangan dengannya. Bahkna mengabaikan pandangan mayoritas ulama madzhab.

Seseorang yang telah memahami benar betapa luasnya ilmu agama, amaka ia tidak akan pernah merasa dirinya sudah cukup belajar. Justru akan mengkaji dan menggali lebih dalam lagi ilmu yang belum ia ketahui.

Seorang ilmuan yang benar mengedepankan adab. Jika ia belum mencapai derajat mujtahid misalnya, hendaknya tidak terburu-buru untuk berijtihad sendiri secara mutlak. Ilmuan beradab adalah yang mengetahui posisinya. Jika belum mampu ia kan bertanya kepada yang lebih ahli, bukan mencari-cari sendiri dengan keterbatasan ilmunya. Terburu-buru berijtihad dan menyalahkan mayoritas ulama madzhab merupakan lost of adab. Merekalah orang yang ghurur tertipu oleh ilmunya sendiri.

Itulah penyakit orang yang memiliki ilmu. Setan terus berusaha menipu dengan tipu daya yang cangggih. Mereka merasa ulama, namun sebenarnya merusak agamanya. Mereka berprasangka telah bertugas dengan baik memberi nasihat kepada orang lain namun hatinya karatan tak pernah mendapatkan siraman nasihat. Bisa jadi mereka juga berprasangkan ia akan masuk surga namun kelak oleh Allah Swt – karena sifatnya yang tercela – justru dijebloskan ke neraka.

Kata imam al-Ghazali, penyebab semua ini adalah hubbuu al-dunya (cinta dunia) dan takut kefakiran. Gila terhadap dunia dan kecintaan yang berlebihan terhadap diri merek sendiri.Wallahu a’lam bis shawab

Last modified: 18/02/2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *