Oleh: A. Kholili Hasib
Inpasonline.com-Suatu saat, seorang murid senior Imam al-Ghazali berkirim surat berkeluh-kesah atas keadaan dirinya. Sang murid itu telah bertahun-tahun belajar kepada sang Hujjatul Islam. Hingga berhasil menguasai beberapa disiplin ilmu sampai pada tingkat detil dan rumit. Akan tetapi, dengan modal ilmu-ilmu itu, ia merasa ada yang kurang. Sebab, ia kebingungan mana yang bermanfaat untuk masa depannya.
“Telah aku baca berbagai macam dan jenis disiplin ilmu. Aku habiskan rentang usiaku hanya untuk mempelajari dan menguasainya. Sekarang, aku harus memilah dan memilih jenis disiplin ilmu apa yang bermanfaat untukku di masa depan serta mampu menjadi teman yang menghiburku di dalam sempit nan gelap di liang kubur, mana juga yang tidak bermanfaat hingga aku langsung menyisihkannya”, demikian kata sang murid dalam hatinya (Imam al-Ghazali, Ayyuhal Walad,).
Renungan murid imam al-Ghazali tersebut patut kita cerna baik-baik. Mungkin saja kita sedang dalam keadaan menggeluti sesuatu yang belum memberi manfaat untuk masa depan hidup kita. Karena, kita berada dalam milliu pendidikan yang tidak lagi menjadikan ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah sebagai frame pendidikan Islam. Di lain pihak masih banyak lembaga yang masih mencari-cari model pendidikan yang mampu melahirkan generasi Muslim beradab.
Maka dapat kita ditemui, para orang tua sangat menekankan anak-anaknya untuk kursus bahasa Mandarin, kursus menari, musik, bimbingan belajar matematika dan lain-lain. Bahkan beban itu terlampau melewati batas normal kemampuan anak. Dengan biaya mahal sekalipun. Tapi lalai, bahwa anaknya belum bisa membaca surat al-Fatihah, belum hafal bacaan shalat dan tata caranya, dan buta terhadap maksud rukun iman dan Islam.
Begitulah, kejahilan tentang ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah menyebabkan seseorang itu tertipu (maghrur). Apalagi ada perasaan ‘ujub terhadap pencapaian ilmu yang telah diraihnya. Bisa jadi, seseorang tersibukkan dengan ilmu-ilmu yang tidak membawa manfaatnya.
Diterangkan oleh imam al-Ghazali, terdapat ilmu yang ahli bidang hukum dan khilafiyah fiqih dengan detail. Akan tetapi, ilmu tersebut tidak bermanfaat (untuk dirinya). Indikasinya, semakin detail ia pelajari, semakin ia bermaksiat kepada Allah.
Siang-malam dihabiskan untuk meneliti persoalan khilafiyah, namun abai terhadap penyakit yang menempel dalam hatinya sendiri. Berprasangka bahwa tidak ada ilmu lain yang menarik perhatiannya, kecuali ilmu perdebatan (munadzarah), membela diri, mengalahkan lawan-lawannya demi eksistensinya sebagai ilmuan yang ‘ahli’ fikih.
Akibatnya, tipe orang seperti itu mengabaikan sifat-sifat yang tercela seperti sombong, riya, hasud, cinta kehormatan, pangkat dan mencari popularitas. Semua ini adalah bentuk ketertipuan terhadap ilmunya. Kesibukannya hanya bertumpu pada amaliah lahir saja. Yang benar, mestinya ilmuan tersebut mempelajari ilmu lahir (fikih) sekaligus ilmu batin (tazkiyatun nafs).
Sebagaimana seseorang yang mempelajari fiqih harus memahami tauhid. Bahkan, kata Ibnu Athoillah al-Sakandari, memisahkan keduanya berarti terjun ke dalam ‘kekufuran’. Ia berpendapat: “Orang yang banyak berbicara tentang tauhid tetapi tidak peduli ilmu fiqih, sama saja dengan mencampakkan dirinya ke dalam samudra kekufuran”.
Seorang yang tertipu oleh ilmunya sendiri antara lain ada yang menekuni ilmu-ilmu syariat dan ilmu rasional (ilm ‘aqliyah). Dua ilmu ini baik dan bagus. Semestinya membawa manfaat. Namun di sisi yang lain, mereka membiarkan anggota tubuhnya berbuat maksiat. Ddisebabkan, ilmunya tidak tidak diamalkan dengan baik.
Seseorang tertipu dengan ilmunya itu, karena dalam dirinya terdapat perasaan bahwa dengan eksisnya ilmu syariat dalam dirinya, ia merasa sudah aman dari murka Allah Swt. Prasangka yang berlebihan bahwa ilmu yang ia pelajari langsung menaikkan derajatnya di sisi Allah Swt.
Mereka inilah yang tertipu dengan ilmu yang dimiliki. Padahal, ilmu yang bermanfaat adalah apabila diamalkan dan membawa kepada rasa khasyyah (takut) kepada Allah Swt.
Tanda ilmu yang bermanfaat itu diungkapkan oleh Ibnu Athoillah al-Sakandari, yaitu jika ilmu itu kita pelajari mengundang khasyyah (rasa takut) kepada Allah Swt (Ibnu Athoillah al-Sakandari,Al-Hikam, hal.278). Bila kita pelajari suatu ilmu, tetapi tidak semakin bertakwa, maka ada dua sebab; bisa jadi ada subjek ilmu yang belum ditekuni dan bisa pula mindset belajarnya keliru yaitu ilmunya dituju untuk tujuan-tujuan tidak baik.
Ternyata, disiplin ilmu-ilmu itu tidak mengandung manfaat kecuali bila membantu menuju kepada takwa. Jadi, kemuliaan ilmu digantungkan oleh manfaat atau tidaknya. Sudah pasti dengan memenuhi syarat mempelajari; yaitu niat karena Allah Swt. Sementara, ilmu yang tidak bermanfaat akan menjadi ‘senjata’ menenggelamkan seseorang dalam kekeliruan.
Kata Ibnu Athoillah, ‘sebaik-baik ilmu adalah yang mengundang rasa khasyyah. Maka, setiap ilmu yang tidak disertai rasa takwa dipastikan tidak akan memberikan kebaikan. Dan pemiliknya tidak boleh digelari dengan alim. Maksud dari ungkapan Ibnu Athoillah tersebut adalah ilmu-ilmu yang dapat menghantar untuk mengenal Allah. Inilah ilmu terbaik.
Ilmu yang manfaat atau yang tidak, diukur dengan manfaatnya masa depan akhirat. Sufyan al-Tsauri mengatakan: “Sesungguhnya ilmu itu dipelajari semata untuk taqwa kepada Allah. Maka, jika ada ilmu yang di dalamnya tidak bisa membawa taqwa, maka buanglah” (Muhammad bin Ibrahim al-Randy,Ghaitsul Mawahib al-‘Aliyyah fi Syarh al-Hikam al-‘Athoiyyah, hal. 278).
Karena itu, banyaknya subjek ilmu yang dikuasai seseorang menjadikan seseorang menjadi takabbur sehingga merusak hati dan pikirannya. Bahayanya adalah, bila seseorang tidak merasa sama sekali dalam hatinya bahwa ia tertipu dengan ilmunya sendiri. Lebih bahaya lagi banyaknya subjek ilmu yang dipelajari bukan dari guru.
Seringkali ilmu menjadi sesuatu yang buruk dan merusak karena pemilik ilmu itu jauh dari Allah. Ia menempatkan orientasi ilmunya pada popularitas, dan selalu disibukkan dengan dunia. Ilmu yang demikian, hanya akan merusak masa depan seseorang.
Maka, riwayat Abu Hurairah ini harus menjadi pengingat para ilmuan; “Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya ditujukan untuk mencari ridha Allah, tetapi ia pelajari hanya untuk mendapatkan kenikmatan dunia, kelak pada hari kiamat ia tidak akan mencium bau surga” (HR. Ahmad dan Abu Daud).