Potret Buram
Pada 2010, di Pamekasan suasana kelulusan SMA sudah ditandai aksi memalukan. Konvoi ratusan pelajar lulusan SMA, SMK, dan MA diwarnai aksi penjarahan. Di tengah-tengah iring-iringan, mereka mendekati kios Pedagang Kaki Lima dan mengambil berbagai jenis makanan dan minimum. Akibatnya, di antara pedagang itu ada yang rugi setengah juta rupiah.
Mereka tak sekadar corat-coret seragam. Sejumlah pelajar putri yang sehari-harinya berseragam model busana muslimah, melepas kerudungnya dan dijadikan semacam bendera sambil berboncengan (ada yang memilih sambil berdiri) dengan teman laki-lakinya saat berkonvoi. Bahkan, sejumlah siswi menggunting rok panjangnya. ”Pakaian ini sudah tidak akan saya pakai lagi, karena sudah lulus,” kata salah seorang siswi ketika itu.
Pada 2011, di Sumatera Utara, euforia bahkan dimulai sesaat setelah Ujian Nasional (UN) selesai. Lewat judul “Edan, UN Selesai, Pesta Seks Dimulai”, situs www.rimanews.com 23/4/2011 mengabarkan bahwa banyak peserta UN yang mengunjungi lokasi wisata alam dan diduga melakukan perbuatan mesum. Di sejumlah pemandian alam, dari Deliserdang hingga Binjai dan Langkat, ditemukan ratusan kondom bekas.
Pada 21/4/2011 sore, polisi mengamankan dua pasang pelajar Kota Medan, yang tertangkap basah sedang melakukan adegan seks di rumah kitik-kitik, sebutan untuk gubuk di lokasi pemandian itu. Mereka mengaku baru usai melaksanakan UN 2011.
Di Binjai, setelah melakukan aksi coret-coret di dalam kota, para peserta UN menyerbu sejumlah tempat pemandian di sekitar Kota Binjai. Diduga banyak di antara mereka melakukan tindakan asusila di rumah kitik-kitik dan di bawah rerimbunan pohon di lokasi pemandian. Dugaan itu diperkuat temuan salah satu warga pengelola wisata pemandian yang menemukan ratusan kondom bekas.
Kita prihatin! Pendidikan seperti apa yang selama ini mereka dapatkan jika lulusannya jauh dari kriteria berakhlaq mulia? Ilmu apa mereka peroleh jika perilakunya tak terwarnai oleh nilai-nilai kebenaran yang menebarkan rahmat bagi sekitarnya? Pengetahuan apa yang didapatkan jika mereka tak berkarakter positif seperti yang diharapkan pemerintah?
Makna Pendidikan
Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas berkata bahwa pendidikan itu bertujuan utama membentuk manusia yang beradab. Adab, kata Al-Attas, adalah disiplin ruhani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Orang beradab tahu yang haq dan yang bathil.
Pendidikan itu akan menjadi media pemberi ilmu yang benar, yang akan menuntun seseorang kepada amal yang benar. Sayang, rupanya, pendidikan kita belum berada di track yang benar, karena pendidikan belum mampu mengantarkan peserta didiknya meraih hasil tertinggi yaitu mengenal Allah dengan segala konsekwensinya. Apa akibatnya?
Lihatlah, misalnya, fenomena Kantin Kejujuran di banyak sekolah yang mengalami kerugian dan bahkan bangkrut. Lihat pula banyak kasus kecurangan saat menghadapi UN.
Kasus-kasus yang tersampaikan di atas mengindikasikan tentang ketakberimbangan antara pendidikan yang membuat pintar akal dengan yang membikin hati cerdas. Semestinya, kita sekali-kali tak boleh mengabaikan pendidikan ruhani (baca: hati). Sebab, jika hati kita baik maka akan baiklah kita dan sebaliknya.
Kasus-kasus pelajar seperti di atas, mengonfirmasikan bahwa telah terjadi penomorsatuan pendidikan yang hanya berorientasi duniawi saja dan pada saat yang sama penomorduaan pendididikan yang menyeimbangkan aspek duniawi dan ukhrowi sekaligus. Jika kita berada di situasi seperti itu, maka itulah kegagalan pendidikan kita dalam membangun karakter, karena sudah mengagungkan dunia.
Semestinya, kita harus selalu berpedoman kepada ajaran mulia ini: “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlaq yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat” (QS Shaad [38]: 46).
Cermatilah sekali lagi model hura-hura pelajar di sekitar pesta kelulusan. Tampak, bahwa (setidaknya sebagian) pelajar telah mengagung-agungkan kenikmatan dunia. Pelajar itu berhura-hura dengan mengabaikan norma kemasyarakatan dan bahkan agama: merokok, melepas jilbab, menggunting rok panjang, berboncengan campur laki-perempuan, dan menjarah dagangan / harta orang lain.
Mereka tampak tak punya malu. Padahal, “Malu itu, sebagian dari iman” (HR Muslim). Mereka tak peduli dengan sindiran Nabi SAW ini: “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu” (HR Bukhari).
Padahal, jika ilmu yang mereka dapatkan selama ini benar, maka ilmu itu akan menjaga mereka dari berbagai perilaku buruk. Sebab, ilmu memang memiliki peran penting. Pernah, Ali bin Abi Thalib RA ditanya tentang mana yang lebih mulia, ilmu atau harta. Ali RA menjawab bahwa lebih mulia ilmu. Ilmu menjaga kita, sementara harta harus kita jaga. Ilmu jika kita berikan ke pihak lain justru akan membuat kita lebih kaya ilmu. Sementara, harta akan berkurang jika kita berikan ke pihak lain. Ilmu itu warisan para Nabi, sementara harta warisan Fir’aun dan Qarun. Ilmu itu menjadikan kita bersatu, sementara harta bisa membuat kita berpecah-belah.
Mari Antar
Bercermin kepada pemahaman Ali RA tentang ilmu, maka kita harus bisa mewariskannya kepada para pelajar. Artinya, sebagaimana Ali RA, lewat pendidikan mari kita antar pelajar untuk bisa menjadi insan beradab, yaitu manusia bisa membedakan mana pekerjaan yang haq dan mana yang batil. []