Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Inpasonline.com-Dalam tradisi budaya santri, tirakat dilakukan dengan tujuan untuk kesuksesan mendapatkan suatu ilmu. Tirakat ada dalam tradisi kejawen, tetapi dalam budaya santri pesantren tirakat sudah lebih bernuansa syari’ah. Karena, dasarannya diambil dari para ulama’. Boleh dikatakan ia merupakan praktik riyadhotu an-nafs atau tazkiyatun nafs dalam turats. Jika demikian, maka tirakat telah diberi nafas Islam serta tidak ada unsur menyimpang lagi.
Karena itu ada yang menyebut istilah tirakat dari bahasa Arab taraka (meninggalkan) atau dari kata thariqah (jalan menuju Allah). Kedua istilah boleh jadi sama benarnya. Disebut dari kata taraka karena praktik tirakat mengharuskan meninggalkan perkara-perkara yang mubah atau makanan-makanan yang mubah. Disebut berasal dari thariqah karena tirakat semacam perlakuan diri khusus dalam rangka mendapatkan hasil wushul (sampai) kepada Allah Swt. Sehingga, dengan menjauhi pantangan-pantangan tertentu, seorang mendapat sir (rahasia) dan minah (anugrah) dari Allah Swt.
Bila demikian pengertiannya, maka dasar penjelasannya telah disampaikan oleh para ulama tasawuf. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, guru besar sufi thariqah Ba’alawi menerangkan tingkatan takwa. Pertama, mengindari dari perkara yang diharamkan. Kedua, menjauhi syubhat. Ketiga, meninggalkan perkara mubah (boleh) yang berlebihan (Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, al-Washoya al-Nafi’ah, hal. 18). Tingkat pertama, merupakan kelaziman bagi setiap muslim. Tingkat kedua disebut wara’, dan tingkat ketiga dinamakan zuhud. Di level tiga ini praktik tirakat itu dilakukan.
Dasar pokok ini dijelaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:
واتقواالله ويعلمكم الله
“Bertakwalah kepada Allah (dengan sebenar takwa), maka niscaya Allah akan mengajarimu ilmu” (QS. Al-Baqarah: 282). Dijelaskan oleh Habib al-Haddad, orang yang bertakwa sampai level wara’ dan zuhud akan diberi ilmu oleh Allah. Suatu ilmu yang tidak diperoleh dari kitab, atau madrasah.
Bagaimana proses pemerolehan cahaya ilmu Allah itu? Kata Nabi Saw dengan praktik (amal). Yakni mengamalkan ilmu. Sabdanya: “Barangsiapa yang mempraktikkan ilmu yang ia peroleh maka Allah Swt memberinya suatu ilmu yang belum diketahuinya”.
Praktik dan pengamalan ilmu itulah yang diwejantahkan menjadi tirakat. Prosesnya dimulai dengan riyadhoh (olah jiwa), dengan memangkas keinginan pokok syahwat. Dalam lelaku tirakat sampai ada pantangan tidak makan kecuali betul-betul lapar, tidak menkonsumsi makanan yang enak. Hingga sampai pada kesimpulan makan hanya nasi putih, minum hanya air putih. Nasi tanpa lauk, sayur, sambal, bumbu-bumbu. Orang jawa menyebut mutih.
Maka, imam al-Ghazali merumuskan adab pelajar pemula yang utama dan pertama sama dengan tirakat, yaitu mensucikan jiwa. Penjelasannya, karena ilmu adalah ibadah hati, atau shalatnya hati. Suatu shalat tidak sah bila anggota badan atau baju ada najis. Begitu pula mencari ilmu tidak sah (tidak akan sukses) jika hati ada najis (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulmuddini 1, hal. 67).
Adab utama berikutnya yang juga bagian dari lelaku tirakat adalah meminimalisir perkara yang berkaitan dengan kesibukan duniawi. Bahkan dianjurkan meninggalkan keluarga atau tempat tinggalnya. Kesibukan duniawi menurut imam al-Ghazali dapat menjauhkan dari ilmu manfaat. Sementara, berjauhan dengan keluarga atau tempat tinggal supaya seorang tidak mudah hidup enak-enakan.
Prosesi ini merupakan kunci keberhasilan seseorang mencari ilmu. Hadratus Syaikh KH. Hasyim ‘Asyari menjelaskan, orang berilmu adalah orang yang niat belajarnya karena mencari rida Allah, bersih hatinya, dan wara’. Bukan bermaksud untuk kepentingan duniawi, seperti untuk memperkaya, mendapatkan jabatan dan memperbesar pengaruh di hadapan orang. Bahkan, memperbanyak tidur dan makan bukanlah adab seorang pelajar karena hal itu akan menghalangi ilmu. Niat yang benar dan membersihkan hati merupakan adab pelajar terhadap dirinya (Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hal.25-26). Hal ini ditekankan secara ketat ketika awal dalam proses belajar. Tetapi, juga wajib selama mencari ilmu.
Sebelum menulis kitab monumentalnya Ihya’ Ulumuddin, imam al-Ghazali sampai uzlah selama 11 tahun lamanya. Meninggalkan segala jabatannya sebagai guru besar di Madrasah Nidzamiyah, rela tidak mendapatkan gaji cukup, menjauhi baju kehormatan dan kebanggannya di Baghdad. Selama itu, ia bertafakkur, riyadhoh dan membersihkan jiwanya secara ketat. Proses itu berhasil. Hingga menghasilkan beberapa karya hebat.
Maka, seyogyanya ilmu tazkiyatu nafs dan ilmu riyadhoh menjadi pelajaran utama dan pertama bagi pelajar pemula. Adab sebelum ilmu. Adabkan jiwa terlebih dahulu, baru kemudian mempelajari perincian cabang-cabang ilmu. Adab dalam penjelasan imam al-Ghazali sesungguhnya pendisplinan jiwa (Imam al-Ghazali, Raudhatu al-Thalibin wa Umdatus Salikin, hal. 10 – 11).
Awal yang baik merupakan pintu akhir yang baik. Pelajaran awal bagi pelajar harusnya memberi penekanan pada ilmu tasawuf ini. Tasawuf untuk anak, dan tawawuf untuk remaja. Tujuan pendidikan melahirkan manusia yang baik. Manusia yang baik lahir dari proses pendidikan yang baik. Adapun pendidikan yang baik bila diawali dengan pendisplinan jiwa yang baik dengan tasawuf ini.
Maka, pengadaban jiwa bisa disetting dengan penkondisian. Bagaimana supaya meminimalisir antara pelajar lelaki dan perempuan banyak interaksinya. Khususnya pelajar remaja. Dibiasakan puasa. Senin-kamis. Karena puasa itu menghendalikan nafsu dan keingingan yang berlebihan. Dikontrol adab-akhlaknya. Dibiasakan ibadah-ibadah sunnah. Ditarget membaca al-Qur’an dan dzikirnya. Pengkondisian ini ternyata lebih tepat dilakukan pada sistem boarding, atau pondok pesantren. Dahulu dinamakan ribath.
Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro, justru berpendapat bahwa sistem pondok dan asrama adalah sitem nasional. Pendidikan di Nusantara asal-usulnya beristem pondok itu. Ki Hajar Dewantoro mengatakan: Mulai jaman dahulu hingga sekarang raykat kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang “pondok pesantren”, kalau jaman kabudan dinamakan pawiyatan atau asrama. Adapun sifatnya pesantren atau pondok dan asrama yaitu rumahnya kiai guru (Ki Hadjar) yang dipakai buat pondokan cantrik-cantrik (santri) dan buah rumah pengajaran juga” (Ki Hajar Dewantoro, Ki Hadjar Dewantara Pemikiran, Konsepsi dan Keteladanan, Sikap Merdeka I, hal. 370-371). Dengan demikian, semestinya sekolah bersistem boarding, pesantren, atau asrama mendapat penghargaan lebih tinggi dalam pendidikan Nasional. Ia adalah rumah pendidikan yang ideal dan asli.