Breivik, si pelaku aksi terorisme di Norwegia merupakan ekstrimis sayap kanan yang memiliki pandangan politik berseberangan dengan pemerintah liberal Norwegia. Kebijakan pemerintah Norwegia yang membuka diri untuk para imigran Timur-Tengah memicu aksi terorisme Andres Behring Breivik; yang telah mengakui seluruh perbuatannya membom kantor pemerintah Norwegia di Oslo dan menembak puluhan orang yang tengah berada di Pulau Utoya.
Seluruh aksi terorisme ini membuahkan hasil yang cukup fantastis; tujuh orang tewas di Oslo dan 92 orang tewas di Pulau Utoya. Jika jumlah warga negara Australia yang tewas dalam Bom Bali I berjumlah 88 orang lalu menginspirasi nama “Densus 88”, maka pemerintah Norwegia sebaiknya membentuk “Densus 92” untuk menghargai para korban yang tewas dalam aksi kembar 22 dan 23 Juli lalu. Penguatan identitas dirasa perlu untuk lebih menyokong gerakan Global War on Terror.
Beberapa jam setelah aksi pemboman dan penembakan terjadi, media segera melakukan pemberitaan ke seluruh dunia dengan headline yang nyaris sama : Kelompok Islam ekstrimis diduga berada di balik semua aksi terorisme di Norwegia. Premis yang digunakan : “Semua pelaku terorisme adalah teroris. Muslim pelaku terorisme. Muslim adalah teroris”.
Amerika mengutuk serangan tersebut dengan menyebutnya sebagai ”tindak kekerasan tercela,” di Oslo, sementara Presiden Komisi Eropa, Herman Van Rompuy, mengatakan ”tindakan pengecut” yang tidak bisa ditolerir. Term “terorisme” tidak ada dalam statement-stamennt yang dikeluarkan para kepala negara Barat.
Sepertinya ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan kerasnya stigma terhadap Muslim adalah “bukannya ‘tak bersalah hingga terbukti melakukan’ melainkan ‘bersalah hingga bukti menyatakan sebaliknya’”. Stigma buruk terhadap Muslim tidak terjadi karena hukum sebab-akibat semata, tapi cenderung pada hasil rekayasa sebelum sebab-akibat itu terjadi. Maksudnya begini, sebelum berbagai peristiwa terorisme marak teradi, Amerika Serikat sudah membuat rancang bangun atau blue print sebuah kebijakan internasional. Ditunjang dengan penelitian dari para pakar, akhirnya dihasilkan sebuah rancang bangun untuk masa depan; bahwa jika ingin tetap eksis dalam konstelasi politik internasional, Amerika Serikat harus menciptakan musuh atau “hantu” yang bernama “teroris”. Kredibilitas Uni Soviet yang kian menurun pasca Perang Dingin membuat Amerika Serikat melirik Islam sebagai enemy.
Stigma merupakan sebuah proses dimana reaksi orang lain merusak identitas yang normal. Dalam sebuah proses stigmatisasi, faktor kekuasaan (kekuatan sosial, ekonomi, dan politik) berperan penting. Stigma “teroris” yang dilekatkan oleh Amerika Serikat terhadap Islam dan kaum Muslimin terlaksana dengan kekuatan penuh yang diterjemahkan dalam kebijakan politik luar negeri pemerintah Amerika.
Di depan para wisudawan West Point, presiden Amerika Serikat saat itu, George W. Bush menjelaskan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang didefinisikan sebagai internasionalisme Amerika dengan berkata :
“Cita-cita bangsa kita selama ini selalu lebih besar daripada pertahanan negara kita. Kita berjuang, selalu berjuang, untuk perdamaian yang adil, perdamaian yang berpihak kepada kebebasan. Kita berjuang, selalu berjuang, untuk perdamaian yang adil, perdamaian yang berpihak kepaada kebebasan. Kita akan pertahankan perdamaian dari ancaman teroris dan tirani. Kita akan memelihara perdamaian dengan membangun hubungan baik dengan negara-negara kuat. Dan kita akan menyebarkan perdamaian dengan mendorong terciptanya masyarakat yang bebas dan terbuka di setiap benua….Membangun perdamaian seperti ini adalah….tugas Amerika”.
Image Islam hasil stigmatisasi telah memposisikan umat Islam bagai tahanan yang tidak terbukti melakukan kejahatan. Karena sudah terlanjur jadi tahanan, maka seluruh hal buruk ditimpakan atas kaum Muslimin. Sementara kejahatan yan sebenarnya dilakukan oleh pihak yang menamakan diri mereka “penjaga”. Kaum muslimin harus menerima perlakuan diskriminatif tanpa mendapatkan pengacara yang layak.
Menguak identitas yang normal atau identitas yang sebenarnya dari entitas yang disebut ‘Muslim’ membutuhkan media. Sayangnya, bahkan saat umat manusia berada di era cyber space, umat Islam tidak punya media mainstream yang mampu menyuarakan – minimal – hak jawab atas semua stigma buruk yang dialamatkan padanya. Globalisasi yang seharusnya menjadi katalisator penyebaran informasi nyatanya tidak mampu membawa pesan kaum Muslimin. Tepat apa yang dikatakan oleh Abid al-Jabiry, “Globalisasi berarti menafikan yang lain dan menjalankan ‘proses pemberangusan’ pemikiran (lain)”. Pertukaran informasi tidak berlangsung secara seimbang.
Bagaimanapun juga, tarik ulur stigma seperti yang terjadi pasca aksi terorisme di Norwegia telah membawa kita pada satu medan pertempuran informasi. Berbagai media Islam aktif memberikan informasi yang berimbang; banhwa si teroris Breivik itu ternyata penganut Kristen. Dia juga masuk kelompok ekstrim kanan yang memiliki kefanatikan anti Islam yang tinggi sehingga pandangan politiknya yang tidak menghendaki Norwegia terbuka bagi imigran Muslim membuahkan aksi terorisme.
Meski perangkat serta tenaga yang kita miliki tidak cukup memadai untuk mengimbangi arus deras informasi yang datang dari Barat, namun pesan yang kita ingin sampaikan harus terus mengalir, melawan arus besar media mainstream dunia. Setidaknya kita bisa menjadi pemain, bukan hanya penonton yang hanya bisa duduk di pinggir lapangan. “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan pada Allah dan diperlihatkan hasil pekerjaannya”. (Q.S. At-Taubah:105).
Wallohu ‘alam bishshawwab
*Penulis adalah Peneliti InPAS