Kontribusi Dakwah
Dakwah dan perannya sangat layak dikenang, terutama di saat-saat kita memperingati HUT proklamasi kemerdekaan negeri ini. Mengenang peran dakwah urgen kita lakukan, agar kita tak kehilangan bagian penting (untuk tak menyebut terpenting) dari sejarah kita.
Apa yang menimpa dakwah sekarang ini (yaitu dicurigai secara berlebihan), -diakui atau tidak- boleh jadi adalah ‘gejala global’. Kita merasakan adanya skenario dari kekuatan hegemonik dunia yang berpangkal pada tema utama: “Bersama-sama memerangi musuh bersama yang bernama terorisme”.
Kita ingat, tak lama setelah WTC di New York dihancurkan ‘teroris’ (harus diberi tanda kutip karena sampai saat ini tak ada bukti siapa pelaku sesungguhnya) pada 11-9-2001, lantang Bush memprovokasi: “Berpihak kepada kami (melawan terorisme) atau menjadi musuh kami!” Waktu itu, ‘nyanyian sumbang’ Bush disambung dubes-nya di Indonesia, Ralph L. Boyce: “Kami lega, Indonesia mendukung perlawanan terhadap terorisme.”
Setelah itu, praktis umat Islam kerap merasa disudutkan di berbagai peristiwa. Lembaga-lembaga ke-Islaman (seperti pesantren) terasa tak henti dilemahkan, dengan pencitraan: Pesantren sarang teroris!
Memang, perang melawan terorisme, itu harus. Hanya, di level praksis kita bisa berbeda jalan. Bukankah definisi terorisme dan teroris masih menjadi perdebatan? Belum ada rumusan yang disepakati semua pihak.
Dua pekan setelah peristiwa WTC, sebuah komisi PBB berusaha merumuskannya. Sepekan berdebat, tak tercapai kata sepakat. Rupanya, soal ‘relativitas’-lah penyebabnya. Teroris kata satu pihak, pahlawan kata pihak lain. Pemberontak kata seseorang, pejuang kata yang lain. Sebagai ilustrasi, tak sulit contohnya: Tindakan kejam AS terhadap Irak, tak dimasukkan sebagai terorisme. Padahal, yang dilakukan AS itu tak mendapatkan legitimasi PBB serta sama-sekali mengabaikan opini dunia, bahkan membelakangi pula aspirasi rakyat AS sendiri. Contoh lain, di Timur Tengah: Siapa sebenarnya yang teroris, Israel atau Hamas (salah satu elemen perjuangan rakyat Palestina)?
Sungguh, definisi itu penting, agar kita tak salah memberi ‘stempel’ dan mengambil sikap kepada orang/pihak lain, sedemikian rupa mengakibatkan orang/pihak lain itu terzalimi.
Lalu, soal istilah jihad. Kita bisa saja berbeda pemahaman soal jihad dengan para pelaku terorisme. Tetapi, adilkah jika kasus itu lantas dihubung-hubungkan dengan dakwah secara keseluruhan?
Lupakah kita dengan peran dan jasa aktivis dakwah, sejak zaman penjajahan hingga masa pembangunan kini? Sungguh, sejarah kebangkitan Indonesia dipenuhi oleh kisah pengorbanan aktivis dakwah (ulama, santri, cendekiawan Islam). Baik mereka langsung menjadi penggerak di lapangan tempur, ataupun ‘sekadar’ memompa semangat jihad rakyat. Di masa perjuangan, aktivitas dakwah (yang sebagian menjadikan pesantren sebagai markas untuk menggembleng para pejuang dan prajurit) terbukti berkontribusi positif bagi Indonesia. Salah satu modusnya, siang hari aktivis dakwah mengaji sebagaimana biasa, tapi malam hari mereka menggerilya penjajah.
Sejarah perjuangan bangsa ini sangat diwarnai oleh ‘produk’ dakwah. Pikiran, tenaga, dan jiwa para ulama-santri tak terhitung yang telah disumbangkan. Ajaran Jihad fii Sabilillah (Perang di Jalan Allah) tak ternilai kontribusinya dalam menggerakkan perjuangan. Dulu, aktivis dakwah memobilisasi rakyat melawan penjajah yang mereka golongkan sebagai kaum kafir (musuh Islam). Sungguh, hampir semua peperangan melawan penjajah selalu bersumber atau mendapat dukungan penuh para aktivis dakwah (dan terutama dari kalangan pesantren).
Masih dalam konteks ini, semoga kita tak mudah lupa, misalnya, dengan pekik heroik bernuansa jihad dari Bung Tomo di sekitar Peristiwa 10 November 1945, di Surabaya: Allahu-Akbar!
Kini, -di ‘zaman pembangunan’- para aktivis dakwah berjuang memerangi kebodohan dan kemiskinan lewat berbagai cara, terutama melalui pendidikan. Para aktivis dakwah (yang sebagian lulusan lembaga pendidikan Islam / pesantren) tetap setia mendarma-baktikan tenaga dan pikirannya untuk kemajuan negeri ini.
Oleh karena itu, sangat tak beralasan mencurigai aktivitas dan aktivis dakwah sebagai penyubur lahirnya teroris(-me). Sebab, bukti kesejarahan sama sekali tak mengindikasikan hal itu sedikitpun. Bahkan –sebaliknya- negeri ini banyak berhutang-budi kepada aktivitas dan aktivis dakwah.
Jadi, kita harus berpikir jernih, agar sikap yang (akan) kita ambil benar-benar tepat dan adil. Langkah hati-hati mutlak kita perlukan untuk mengantisipasi keadaan apapun. Jangan hanya karena tergoda untuk mengejar penyelesaian secara ‘seketika’, kita lalu bertindak tak adil.
Adil, Proporsional
Kita harus adil! Kita harus proporsional! Berbuat khilaf bisa menimpa siapa saja. Boleh jadi, sejumlah aktivis dakwah ada yang khilaf. Boleh jadi ada pesantren yang salah dalam bersikap dan bertindak. Tetapi, bagaimana dengan institusi pendidikan lain yang alumninya nyata-nyata ada yang telah melakukan tindakan tercela (semisal korupsi dan pembunuhan)? Ini sekadar contoh: Ada sejumlah pejabat publik (sebagian malah bergelar profesor), birokrat, dan politisi yang korupsi. Ada perwira terlibat kasus pidana, seperti suap atau pembunuhan. Jelas, mereka masing-masing memiliki almamater. Maka, pertanyaannya: Mengapa almamater selain pesantren itu tak disorot, tak mendapatkan perlakuan yang sama? Bukankah tindakan mudah membunuh orang tanpa alasan yang dibenarkan hukum, suka memeras dan menerima suap dari pihak yang sedang menjalani proses hukum, atau korupsi milyaran rupiah, dapat juga menimbulkan ketakutan publik dalam skala yang luas?
Ayo, bersikaplah proporsional, bersikaplah adil pada (aktivis) dakwah. Janganlah sekali-kali kita melupakan sejarah. Sungguh, Indonesia akan rugi besar jika dakwah dimatikan. []