Di antara kesamaan erat antara postmodern dan post-patriarkal yang disebutkan Keller adalah keduanya sama-sama mengusulkan struktur nilai dan kelembagaan sosial yang didasarkan atas hak indiviudalisme dan diakhirinya hubungan-hubungan yang mendominasi. Mungkin karena ada kemiripan dengan gerakan dan praksis postmodern ini Keller menyebutnya dengan istilah post-patriarkal. Post artinya sesudah atau pasca. Sedangkan patriarkal adalah sistem hubungan pria wanita yang didominasi pria secara otoriter.
Makna kata “post” di sini adalah dekonstruksi (pembongkaran). Yakni mendekonstruksi dominasi laki-laki (patriarkisme) dalam setiap aspek kehidupan. Kata “post” sejatinya kata Catherine Keller bukan makna yang baik. Ia mengatakan kata ini menyiratkan via negative – yaitu cara negatif dalam merumuskan tujuan yang dihendaki. Ternyata benar kata Keller. Buktinya, metode dekonstruksi lantas disalahgunakan untuk membongkar konsep etika agama. Karena ‘alatnya’ adalah dekonstruksi, maka gerakan menuju masyarakan post-patriarkal terkesan radikal-fundamental (lebih radikal daripada saat kaum modernisme mengkampanyekan feminisme pada awal kemunculannya pada abad ke-17).
Tampaknya pilihan istilah post-patriarkal ingin menegaskan wajah yang membenci kelaki-lakian. Laki-laki dituding sebagai pembentuk wacana dominasi pria atas wanita. Titik sentral yang menjadi sasaran di sini jelas laki-laki. Dan sejatinya perjuangan feminisme berujung kepada ‘pembunuhan’ terhadap peran dan tanggung jawab laki-laki. Pemikirannya didasarkan oleh sikap ‘iri’ dan ‘benci’. Maka tepat apa yang dikatakan Keller bahwa puncak perjuangan feminisme adalah masyarakat yang bernama post-patriarkal. Tanda-tanda bangkitnya masyarakat ini adalah legalisasi lesbiansime dan homoseksual.
Meski sekarang ini belum terstruktur, namun arah gerakan feminisme makin lama makin menunjukkan kepada pembentukan masyarakat post-patriarkal. Tahun lalu, peringatan gubernur DKI Jakarta agar wanita tidak memakai rok mini ditolak aktifis feminisme. Mereka mencemooh, bahwa otak laki-laki-lah yang harus dibenahi jika memang syahwat mereka bangkit saat melihat rok mini. Sebuah kecaman yang lebih mengedepankan emosi daripada rasio. Sebab, jelas sekali porno itu membangkitkan syahwat namun tidak diakuinya. Tapi memang, itulah salah satu ciri gerakan post-patriarkal. Emosional tapi terkadang dikemas seakan-akan rasional, hanya karena digerakkan oleh kaum ‘intelektual’.
Belum lama ini, ketika kedatangan Irshad Manji -pelaku lesbian asal Kanada- ditolak masyarakat, aktifis liberal dan feminis membela. Suara pembelaannya diatasnamakan kebebasan berbicara. Lagi-lagi ini pembelaan yang sejatinya tidak mengedepankan akal sehat. Sebabnya, Irshad secara terbuka dalam tulisannya merendahkan al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. Tulisan-tulisan seperti itu yang bisa memantik konflik sosial. Ia juga mendapat penolakan masyarakat. Ia ditolak masyarakat karena buku-bukunya melegalisasi lesbian dan homoseks. Praktik hubungan sejenis sesungguhnya tidak diterima golongan manapun yang memakai nurani dan akal sehat. Gedung Putih AS sempat heboh. Presiden Barrack Obama dikecam keras aktifis partai Republik dan tokoh Kristen Konservatif karena sang Presiden mendukung pernikahan sejenis (Republika 11/05/2012).
Prof. Dr. Malik Badri -pakar psikologi asal Sudan- pada seminar “Homoseks dalam Perspektif Psikologi dan Islam” di Universitas Ibnu Khaldun Selasa (29/05/2012) menjunjukkan data-data kuat bahwa homo/lesbi bukan genetis tapi pengaruh lingkungan. Hal itu termasuk dalam salah satu penyakit kejiwaan. Alasan genetis hanya mengada-ada.
Maka, sebaiknya kita belajar memakai akal sehat. Pendukung Irshad Manji harusnya berhati nurani, hilangkan ego dan kembali kepada etika agama. Semua demi kepentingan masa depan bangsa yang beradab. Anak bangsa harus dikendalikan agar tetap pada tatanan adab. Jika dibiarkan sebebas-bebasnya, bisa melahirkan radikalisme gaya baru yang anti moralitas.
Begitulah watak post-patriarkal mirip dengan karakter postmodern, merelatifkan moral. Model kebebasannya muncul dalam bentuk kekaburan dan secara logis lebih permisif (Ernest Gellner, Menolak Postmodern, hal. 49). Permisifme dan relativisme post-patriarkal selalu menampakkan diri dengan wajah yang selalu menyalahkan kelaki-lakian. Jika wanita dilarang memakai pakaian mini, kenapa lelaki tidak. Harusnya semua dibebaskan. Jika seks adalah naluri manusia, maka manusia dibebaskan untuk memilih dengan siapa ia disalurkan, tidak peduli dengan sesama jenis atau lain jenis. Logika-logika seperti ini tidak dikontrol oleh etika agama.
Logika permisifisme dan relativisme dekonstruksi postmo sangat berbahaya. Sebab menawarkan logika-logika pembebasan tubuh (emancipation of body) dan pembebasan hasrat (liberation of desire) dari pembatasan-pembatasan melalui industri media massa (Zaitunah S, 2005: hal. 74).
Post-patriarkal sesungguhnya menginginkan spiritualitas, namun sama sekali anti-agama, dan selalu makna hak asasi manusianya dihadap-hadapkan dengan agama. Jelas sebuah keinginan yang utopis. Semestinya spiritualitas, keadilan, dan keharmonisan hubungan pria-wanita dalam masyarakat dikembalikan kepada etika agama, kepada aturan Allah. Bukan justru menolak syari’at Allah. Jika tetap memaksakan kampanye lesbian dan homo, maka mereka dapat dikategorikan gerakan radikalisme (memaksa masyarakat untuk mengakuinya).
Apresiasi pembentukan masyarakat post-patriarkal oleh feminis muslim dilakukan dengan pembebasan dari kekuasan yang disebut kekuasaan monolitis. Kitab-kitab klasik, tafsir al-Qur’an dan Sunnah dituduh bersifat patriarki memihak laki-laki (M. Maufur dkk, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, hal. 56).
Meskipun metafisika dan informasi-informasi ghaib agama dinilai tidak rasional bagi orang sekuler, tapi nyatanya yang harus diakui, di tangan agamalah nilai-nilai spiritualitas, keadilan dan harmonisasi masyarakat ditemukan. Ajaran-ajaran praksisnya justru lebih rasional.
Kodrat dan potensi biologis antara pria dan wanita berbeda. Maka, tugas, tanggung jawab dan perlakuan juga berbeda yaitu disesuaikan dengan kodrat dan fitrahnya. Jika disamakan justru menimbulkan ketidakadilan. Adil tidak harus sama fifty-fifty. Adil adalah suatu perbuatan menempatkan sesuatu pada porsinya sehingga sesuatu itu tidak keluar dari koridor yang semestinya. Dalam Islam, wanita dan pria diberi tugas dan tanggung jawab sesuai kodrat dan porsinya (Majid Khodduri, Mafhum al-‘adl fi al-Islam, hal. 21).
Keadilan gender semestinya dimaknai suatu kondisi dimana antara laki-laki dan perempuan ditempatkan sesuai dengan potensi, naluri, kodrat dan fitrahnya masing-masing. Menyamakan secara fifty-fifty dalam setiap segi kehidupan justru menjadikan kondisi itu tidak adil. Karena secara biologis dan kodratnya berbeda maka, tanggung jawab dan potensi melakukan kewajiban juga berbeda.
Relasi dan pembagian tugas antara pria dan wanita tidak didasarkan oleh kebencian, dan iri terhadap lainnya. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.S. An Nisa [4]: 32).
Jadi, dalam Islam, tidak ada tradisi patriarki. Sebab masing-masing pria dan wanita diberi tugas dan tanggung jawab sesuai kondisi biologisnya. Tidak ada kebencian wanita atas pria menyangkut peran sosial dalam masyarakat dan keluarga. Dalam hukum Islam hak dan kewajiban di beberapa bidang dibedakan. Pembedaan ini tidak menafikan kesamaan (musawah) dalam kehormatannya, kemanusiaannya dan keahliannya. Sebab, penerapan hukum didasarkan atas tabiat biologis dan potensi masing-masing. Dalam melaksanakan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan saling mengisi. Perempuan adalah mitra kerja suami (qarinah). Begitu pula sebaliknya. (Sa’ad Ibrahim Shalih, Ahkamu Ibadati al-Mar’ah fi al-Syariah al-Islamiyah Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, hal. 52). []