Mengadabkan Pemikiran

Oleh : Kholili Hasib

Perilaku, karakter dan adab seseorang dikendalikan oleh pikiran. Alparslan Acikgenc, pakar filsafat Islam asal Turki mengatakan, pikiran itu menjadi motor perbuatan (Alparslan, Islamic Science Towards A Definition, hal. 29). Baik buruknya perilaku dikendalikan oleh pemikiran manusia. Lebih detilnya diatur oleh keyakinannya. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan, untuk memperbaiki akhlak, seorang muslim harus melakukan riyadlah al-nafs – yaitu membersihkan hati, meninggalkan maksiat dan memperbanyak amal sholih. Dalam bahasa Imam al-Ghazali, akhlak itu gambaran batin seseorang (Ihya Ulumuddin hal. 55).

Corak pemikiran itulah sesungguhnya yang disebut worldview. Dalam istilah Syed. Naquib. al-Attas, ru’yatu al-Islam li al-wujud (pandangan Islam terhadap realitas). Lebih jauh, al-Attas menjelaskan bahwa worldview itu merupakan pandangan orang terhadap makna realitas dan makna kebenaran (al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin). Dengan demikian kita bisa simpulkan, corak pemikiran seseorang merupakan gambaran dari keyakinannya terhadap sesuatu. Akidah, mempengaruhi cara, dan corak berpikir.

Realitas yang diyakini umat Islam ada dua; realitas fisik dan realitas metafisik. Keyakinan terhadap realitas metafisik ini yang tidak dimiliki oleh paham sekuler. Keyakinan ini berimplikasi terhadap epistemologi sekuler, yaitu sesuatu yang tidak nampak oleh mata tidak dapat bisa menjadi sumber ilmu. Dalam hal ini al-Attas mengatakan: “Kesimpulan ringkas mengenai faham berkenaan dengan ilmu dan perolehannya, yaitu timbul dari ajaran serta pemikiran failusuf agung ini (Aristotle), dan yang kesannya masih besar hingga kini terutamanya pada pemikiran Barat, yaitu bahwa ilmu itu berdasar kepada kenyataan benda luaran dan pengalaman dan pancaindera dan pelbagai perolehan pertalian nisbi mengenainya yang berlaku dalam fikiran dan peringatan dan gambaran akal. Kebenaran itu ialah penyamaan apa yang ada dalam akal dengan apa yang nyata dan berlaku di luarnya” (Risalah untuk Kaum Muslimin hal. 191).

Oleh sebab itu pemikiran orang sekuler tidak menjadikan agama sebagai sumber kebenaran mutlak. Sebabnya, agama diyakini dogma yang berisi keyakinan yang tidak bisa dijangkau oleh pancaindera. Akhirat, pahala, siksa dan lain sebagainya hanyalah dogma belaka. Pada tingkatan yang ekstrim, orang sekuler sampai berkeyakinan bahwa perkara-perkara ghaib tersebut adalah ilusi.

Berarti, antara perilaku, jiwa, ilmu dan iman saling terkait. Ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sarat nilai. Kekeliruan yang terjadi dalam sekelompok umat Islam disebabkan oleh kerusakan ilmu, dimana itu bersumber dari kekeliruan iman. Kegentingan umat Islam oleh al-Attas dikatakan karena problem ilmu. Masalah-masalah yang terjadi dalam diri kaum muslimin dan kerusakan jiwa sesungguhnya diakibatkan oleh kekurangan ilmu dan kekurangan iman (Risalah untuk Kaum Muslimin, hal. 5).

Orang yang melegalkan perkawinan sejenis, satu misal, berdalih bahwa nas (teks) agama yang mengharamkan itu telah usang, konteksnya masa dahulu. Sedangkan sekarang berbeda zaman. Sesungguhnya ini bukan sekedar pemikiran, tapi keyakinan. Ia berkeyakinan bahwa teks adalah teks. Di balik teks tidak ada apa-apa. Yang ada hanyalah makna yang berevolusi.  Tidak sakral, meski itu teks teks agama. Teks agama bukan sumber ilmu yang mutlak. Sebab sifatnya temporal. Inilah corak pemikiran sekuler. Terhegemoni pemikiran bahwa teks itu mati (text is dead). Akidahnya sekularisme, ilmu menjadi tersekulerkan, perilaku dan pemikirannya menjadi tidak beradab.

Karena itu, ilmu dalam Islam berdimensi duniawi dan ukhrawi. Ilmu itu merangkum keyakinan dan kepercayaan yang benar (iman) (al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal.105). Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan dan keadilan kepada manusia, sebagai manusia dan diri pribadi dalam rangka mencari ridla Allah dan meraih kebahagiaan (sa’adah) di akhirat. Inilah yang disebut adab dalam ilmu.

Orang disebut berilmu – dalam pandangan Islam – jika ia memandang segala segi kehidupan baik fisik maupun metafisik dengan ilmu. Sekalipun seseorang itu pandai, menyimpan informasi banyak dalam pikiran akan tetapi jika ia tidak mengenal hakikat diri, tidak mengamalkan ilmunya dan tidak berakhlak, maka tidak bisa disebut orang berilmu.

Kekeliruan dalam ilmu menyebabkan pemikirannya tidak beradab. Adab adalah menempatkan sesuatu sesuai tempatnya. Sebuah pemikiran tidak beradab jika pemikiran tersebut tidak sesuai epistemologi Islam, anti-otoritas, meyakini kebenaran itu relatif dan lain sebagainya.

Problem-problem pemikiran, seperti maraknya ideologi pluralisme, feminisme, relativisme, sekularisme dan lain-lain tidak lain merupakan problem keyakinan (iman). Keyakinannya yang rusak tidak mampu mengontrol pemikirannya.

Mengadabkan pemikiran berarti memperbaiki iman. Ilmu harus berdimensi iman. Mindset pemikiran harus ditimbang dengan keyakinan asasi dalam Islam, seperti faham tentang Allah, konsep manusia, konsep hidup, konsep jiwa dan faham-faham kunci lainnya. Karena berdimensi iman, maka epistemologinya bertaut dengan teologi secara dinamis.

Oleh sebab itu tazkiyatun nafs (membersihkan jiwa) dalam penjelasan Imam al-Ghazali juga sesungguhnya proses tazkiyatun al-fikr (membersihkan pemikiran) sekaligus pembersihan iman. Dengan demikian, langkah mengadabkan pemikiran yang pertama-tama perlu dilakukan adalah mengikuti petunjuk Imam al-Ghazali yaitu dengan apa yang ia sebut riyadlah al-nafs. Keyakinan-keyakinan materialistik dalam hati dibersihkan. Sebab, hati, dan pikiran mengontrol dan menentukan perilaku beradab atau biadabnya seseorang. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *