Oleh:Moh. Isom Mudin
Inpasonline.com-Terkadang, ada seseorang yang mendalami ilmu tasawwuf kemudian meyakini apa yang sedang dijalani berada dalam kebenaran. Namun ternyata dia justru sebaliknya dia dalam kekeliruan, dikarenakan ada kesalahan yang tidak diketahui dalam aktifitasnya. Inilah yang disebut tipuan.
Dalam istilah ketertipuan ini biasa disebut “Ghurûr”. Bagi siapa saja yang terkena virus ini disebut ‘”al–Mugtarrûn”, ‘yang sudah kena tipu’. Imam al-Ghazali menjelaskannya sebagai “Ketenangan jiwa terhadap sesuatu yang sesuai dengan hawa nafsu”. Bahasa mudahnya adalah ‘salah anggap’. Tetapi, yang perlu ditekankan adalah kesalahan ini bukan terletak pada esesnsi ilmu tasawwuf itu sendiri, melainkan oknum individu yang terlibat di dalamnya merasa dirinya sudah hebat pada maqam tinggi.
Hujjatul Islam al-Ghazali telah mengidentifikasi adanya sindrom ini dalam diri pemerhati tasawwuf (Ihya ulumiddin, 3/538-542). Di satu sisi, mereka adalah bagian terdepan dalam menyebarkan simbul para sufi. Dalam berpakain, berpenampilan, gaya bicara, model tulisan dan lain sebagainya. Timbul anggapan, mereka telah pantas disebut sufi. Padahal, aktifitas tingkat dasar dalam tasawwuf seperti riyâdlah (olah jiwa), mujâhadah (memerangi hawa nafsu), penyucian diri baik yang dhâhir atau bâtin belum dilakukan. Atau setidaknya sudah mencoba namun tidak berhasil. Sudah berhasil namun terpeleset dari arah yang lain.
Disamping itu, pemerhati pasti sangat familier dengan metafisika dan istilah-istilah khas dalam disiplin ilmu ini. Mulai masalah ma`rifah (mengenal Allah), musyhâdah (penyaksian), maqâmat dan ahwâl (tangga pendakian dan kondisi jiwa), wushûl (sampai dalam kedekatan) dan lain sebagainya. Dengan membahas ilmu ini mereka sudah merasa menempati derajat tinggi. Padahal sebatas teori dari tumpukan karya para sufi, namun belum pernah sekalipun mengalami. Yang paling parah jika sampai merendahkan ahli Hadits, Tafsir, Fiqh, dan Kalam. Dikatakan bahwa mereka adalah golongan yang masih terhijab, hanya berkutat pada kulit luar, dan belum mengetahui ilmu yang sebenarnya.
Bagian batin juga merupakan bahasan penting dalam bertasawwuf. Hal ini bukan berarti mengesampingkan perbuatan-perbuatan dhahir. Namun, beberapa orang yang ‘mendadak sufi’ hanya mementingkan aspek ibadah batin saja, tanpa memperdulikan aktifitas dhahir. Yang sering terdengar dari kicauan meraka adalah; “Tubuh kita memang merasakan manisnya dunia, namun hati kita tetap cinta pada Allah”. Yang ditakutkan “kita tidak shalat karena sudah cinta pada Allah’.
Ada juga, pemerhati yang memang sudah menjalankan aktifitas sebagai sufi sebenarnya, namun tidak disertai dengan ilmu. Contoh kecil dalam mengaplikasikan konsep tawakkal yang hanya dipahami sebagai pasrah tanpa usaha. Padahal, para sufi dan ulama salaf pun tidak pernah melakukan ini. Tawakkal bukanlah meninggalkan usaha, tetapi berusaha baru berpasrah pada Allah, bukan berpasrah usaha itu sendiri. Parahnya, kesalahan ini juga didapati pada konsep-konsep dalam yang lain seperti zuhud, ridlo, hubb (cinta), khauf dan raja (takut dan harapan).
Yang paling penting, ciri khas tasawwuf adalah aplikasi tidak hanya sekedar teori. Seseorang bisa saja meneliti, membahas, dan mengakaji tema-tema sufi. Artikel ilmiah, kolom, opini atau pembahasan berat sekelas disertasi. Penulisnya sering tenggelam dengan pendefinisian, kutipan-kutipan, ungkapan-ungkapan para ulama tasawwuf. Tak jarang terlena dalam menyusun kata-kata. Tentu, yang diingiankan adalah menghasilkan bahasan yang tiada duanya. Namun, ternyata waktu hanya terbuang habis untuk hal ini, lupa dengan aplikasinya.
Masalahnya, kenapa justru banyak orang yang “terpeleset” ketika mempelajari tasawuf?. penyebabnya karena ketidakmengertian dan minimnya ilmu. Seorang Imam Ghazali memberikan tawaran, jika ingin selamat bacalah Ihya Ulumiddin. Posisi ilmu tetap berada di depan amal, walaupun amal dalam disiplin ini sangat ditekankan. Ibadah tanpa Ilmu itu bisa rusak dan tertolak. Ini Salah satu kaidah umumnya. Para ulama tasawwuf sendiri mempunyai sejumlah karya , hal ini menunjukkan kualitas dan perhatian besar mereka terhadap ilmu.
Yang khas dari khasanah tasawuf adalah posisi mursyid (pembimbing), yang boleh dibilang memiliki peran yang sangat urgen. Ilmu ini diperoleh dengan berinteraksi langsung (talaqqy) dengan mereka. Ibn Athaillah membuat perumpamaan, “seorang salik (penempuh jalan sufi) tanpa mursyid bagaikan anak yatim tanpa orang tua, tidak mempunyai nasab yang jelas”. Ia akan terkatung katung di tengah jalan. Mursyid juga seperti “dokter yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit”. Yang istimewa, bimbingan tersebut bukan hanya kata-kata belaka, tetapi juga dengan kepribadian jiwa dan isyarat-isyarat batin. (Lathaif al-Minan, 141, 204).
Dengan majunya teknologi informasi saat ini, setiap orang memungkinkan untuk belajar secara otodidak. Dengan membaca kitab aslinya, melalui terjemahan, media sosial, situs-situs sufi, atau menonton video di youtube. Penggunaan metode ini mudah namun sangat menghawatirkan dan rentan terjadi ‘mall praktek’. Mungkin saja metode ini bisa dilakukan, namun hanya sebagai pelengkap dan memperluan wawasan, bukan yang pokok. Tentu tetap berada di bawah bimbingan seorang mursyid.
Walhasil, tidak serta merta orang yang berkecimpung dalam tasawwuf disebut sufi. Bahkan, belum terdengar ulama tasawwuf yang menyebut dirinya sebagai seorang sufi. Sufi itu, kata Syaikh ar-Rifai`, “seorang yang jiwanya benar-benar bersih dari kotoran-kotoran duniawi, merasa tidak memiliki keistimewaan dibanding orang lain, tidak menempuh jalan kecuali jalan Rasul, tidak menyandarkan seluruh diam dan geraknya kecuali terbentuk dari padanya”. Karena, bagi al-Attas, tasawwuf adalah “menerapkan syari`at dalam derajat ihsan”. Sudah bisakah kita ?.