Oleh: Muhammad Ardiansyah, M.Pd. I*

umayyad mosqueInpasonline.com-Anak merupakan amanah Allah SWT yang dititipkan kepada orangtuanya. Dan setiap amanah akan dituntut pertanggungjawabannya. Anak terlahir dalam keadaan fitrah, tapi fitrah itu bisa rusak jika orangtua tidak memainkan perannya dengan baik sebagai pendidik utama. Hal itu telah diingatkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya Kullu maulûdin yûladu ‘ala al-fitrah, fa abawâhû yuhawwidânihî aw yunashsirânihî aw yumajjisânihî, artinya setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, lalu orangtuanya yang menjadikan mereka bisa seperti Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR al-Bukhari-Muslim).

Keluar dari fitrah akan menyeret mereka ke dalam neraka. Oleh karena itu Allah SWT mengingatkan Yâ ayyuhal ladzîna âmanû qû anfusakum wa ahlîkum nârâ yang artinya hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS al-Tahrim:6). Ulama dari kalangan sahabat seperti Ali Ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan addibûhum wa ‘allimûhum, yang artinya didiklah mereka dengan adab dan ajarkanlah mereka ilmu (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Singapura:Sulaiman Mar’i, tanpa tahun, Juz III, hlm. 391. Lihat juga Abu Nashr al-Sarraj, al-Luma’ fî Târikh al-Tashawwuf al-Islâmi, Beirut:Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007, hlm. 136). Umar ibn al-Khattab menguatkan tafsiran kedua sahabat ini dengan mengatakan Taaddabû tsumma ta‘allamû yang berarti pelajarilah adab kemudian pelajarilah ilmu (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah li Thâlibî Tharîq al-Haq, Beirut:al-Maktabat al-Sya’biyah, tanpa tahun, hlm. 54)

Kewajiban orangtua memperhatikan adab dan ilmu ini tidak cukup menyerahkan anak-anak mereka ke sekolah. Sebab meski sekolah itu lembaga pendidikan, tapi pendidikan dalam pandangan Islam tidak terbatas di sekolah. Sungguh sebuah kesalahan besar jika orang tua mengartikan pendidikan dengan menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anak kepada guru di sekolah atau pesantren. Sementara ketika di rumah mereka tidak pernah peduli pendidikan anak-anaknya sama sekali. Ibarat mendirikan sebuah bangunan, kapan bangunan akan sempurna berdiri jika tangan yang kanan membangun sementara tangan yang kiri merobohkan. Imam al-Zarnuji dalam karyanya yang terkenal, Ta’lim al-Muta‘allim, menyatakan bahwa syarat keberhasilan pendidikan harus ada kesungguhan dari tiga subjek yang saling berkaitan, yaitu anak, guru, dan orangtua jika masih ada. (al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, Jakarta:Dar al-Kutub al-Islamiyyah, hlm. 43) Dengan demikian, jika salah satunya tidak menjalankan tugasnya dengan baik, maka hasil akhir dari pendidikan itu hanyalah kegagalan.

Masalah penanaman adab dan ilmu pada anak telah menjadi perhatian para ulama. Salah satu yang membahas dengan sangat baik adalah Hujjatul Islam Imam al-Ghazali. Di dalam magnum opusnya, Ihya’ Ulumiddin, Imam al-Ghazali menulis satu bab khusus tentang pendidikan anak yang diberi judul Bayânu Tharîq fi Riyâdhat al-Shibyân fî Awwali Nasy’ihim wa Ta’dîbihim wa Tahsîni Akhlâkihim (Penjelasan metode melatih anak pada masa pertumbuhan, mendidik dan memperbaiki akhlak mereka). Mengawali penjelasan ini Imam al-Ghazali mengingatkan pentingnya pendidikan anak.

Ketahuilah! Sesungguhnya metode pendidikan anak merupakan hal yang paling penting dan paling ditekankan. Anak-anak itu adalah amanah bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang suci merupakan permata yang paling berharga, belum terukir dan terbentuk. Ia menerima setiap bentuk ukiran dan cenderung kepada setiap hal yang digiring kepadanya. Jika dibiasakan yang baik, dan diajarkan kebaikan maka ia akan tumbuh menjadi baik dan bahagia di dunia dan akhirat. Ayahnya, gurunya dan setiap orang yang mendidiknya juga akan mendapatkan pahala. Namun jika dibiasakan dengan keburukan, dan dibiarkan seperti binatang maka ia akan celaka dan binasa. Dan dosanya ditanggung oleh orangtuanya. (Hujjatul Islam, Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Kairo:Dar Misr li al-Thiba’ah, Juz II, hlm. 89)

Peringatan Imam al-Ghazali ini penting dipahami oleh setiap orangtua. Mendidik anak-anak mereka berarti menghantarkan mereka menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, mengabaikan pendidikan anak adalah menghinakan, tidak memanusiakan mereka dan menjerumuskan mereka ke dalam kebinasaan. Dan orangtua akan menerima balasannya di akhirat kelak.

Dalam masalah pendidikan anak, Imam al-Ghazali tidak hanya memberi peringatan. Ia juga memberikan metode pendidikan anak. Berikut ini rangkuman metode pendidikan anak menurut Imam al-Ghazali yang dikutip dari bagian kitab itu.

  1. Aspek Adab.

Menurut Imam al-Ghazali, orangtua wajib mendidik anak-anaknya dengan adab dan mengajarkan akhlak yang terpuji (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Juz II, hlm. 89). Jika orangtua menanamkan adab yang baik berarti dia telah memberikan sesuatu yang sangat bernilai. Rasulullah SAW bersabda “tidak ada pemberian orangtua kepada anaknya yang lebih utama dibandingkan pendidikan (adab) yang baik” (HR Ahmad).

Akhlak yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini adalah sifat malu (al-hayâ’). Yang dimaksud malu dalam hal ini adalah sifat malu yang menghalangi seseorang dari perbuatan tercela, bukan malu yang menghalangi untuk berbuat kebaikan. Sifat malu seperti ini menurut Imam al-Ghazali adalah karunia dari Allah dan tanda kebaikan akhlak si anak. Sifat malu ini perlu diarahkan sehingga anak akan terbiasa melakukan sesuatu yang baik dalam kehidupan sehari-harinya. Imam Al-Ghazali memberi contoh buah dari sifat malu ini dalam adab makan. Dengan sifat malu ini anak akan terbiasa mengambil makanan dengan tangan kanan, membaca basmalah sebelum makan, mengambil makanan yang terdekat, tidak makan terlalu banyak dan sebagainya. Bahkan jika terus dididik dengan sifat malu ini, seorang anak akan merasa cukup dengan makanan yang ada (qana’ah) dan senang berbagi dengan, dan mendahulukan orang lain dalam masalah makanan sejak masa kecilnya (al-îtsâr bi al-tha’âm).

Jika dikaitkan dengan adab berpakaian, dengan sifat malu ini juga anak akan terbiasa memakai pakaian yang baik, tidak memakai pakaian yang bercorak tidak pantas, ataupun pakaian yang terlalu mahal sehingga menimbulkan rasa dengki dari kawan-kawannya.

  1. Aspek Ilmu

Dalam aspek ilmu, Imam al-Ghazali menyarankan agar sejak kecil anak-anak diajarkan al-Qur’an, Hadits, dan cerita-cerita orang saleh. Hal ini menurutnya akan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an, Hadits dan juga kepada orang-orang saleh. Selain itu, ilmu yang penting untuk diajarkan kepada anak-anak sejak keci adalah ilmu syair-syair yang Islami. Hal ini untuk menanamkan cinta keindahan kepada mereka sejak dini.

 

 

  1. Aspek Kedisiplinan

Di dalam mendidik anak Imam al-Ghazali mengingatkan pentingnya kedisiplinan. Dan dalam prakteknya harus disertai keadilan. Jika anak melakukan suatu kebaikan, hendaknya orangtua menghargainya, memujinya bahkan jika perlu memberinya hadiah yang menggembirakan hatinya. Hal ini penting untuk memotivasi anak untuk mencintai kebaikan dan terus berbuat kebaikan. Sebaliknya, jika anak melakukan kesalahan, maka orangtua tidak boleh lalai. Orangtua harus memperhatikannya dengan seksama. Jika ia mengulangi untuk yang kedua kalinya maka hendaknya diberi nasehat secara individu, tidak di hadapan orang lain. Namun nasehat ini tetap disertai peringatan yang tegas agar si anak tidak mengulangi kembali kesalahannya.

Dalam melaksanakan disiplin, orangtua harus berwibawa di hadapan anaknya. Ayah maupun ibunya hendaknya selalu menjaga ucapan maupun sikapnya di hadapan anaknya. Dengan demikian orangtua bukan sekedar memberi contoh yang baik, tapi juga menjadi contoh yang baik.

Selain itu orangtua harus menanamkan sifat berani kepada anak-anaknya. Sehingga jika suatu hari dia mendapat teguran, bahkan hukuman fisik yang proporsional dari gurunya di sekolah dia akan sabar menjalani hukuman itu, tidak cengeng lalu mengadukan masalahnya itu kepada orangtua.

  1. Aspek kesehatan fisik

Menurut Imam al-Ghazali anak harus dibiasakan banyak bergerak di siang hari. Jangan banyak tidur di siang hari. Anak harus dibiasakan untuk berjalan, berlari, bergerak dan berolahraga agar tidak muncul rasa malas dalam dirinya.

Dalam masalah ini orangtua bahkan perlu memberikan izin kepada anaknya untuk bermain setelah mereka belajar. Sebab menurutnya, melarang anak bermain akan membuat hati anak menjadi keras dan menurunkan semangat belajarnya. Bahkan itu membuka pintu untuk si anak mencari jalan untuk bermain secara sembunyi-sembunyi.

 

  1. Aspek sosial

Dalam pergaulannya anak-anak harus dididik berbahasa yang santun, bersikap rendah hati (tawadhu’), menghormati orang yang lebih tua, mencegah dari mengambil hak orang lain, dan menanamkan dalam diri mereka bahwa kemuliaan seseorang itu ada di dalam sikap memberi kepada orang lain.

Anak juga harus dididik agar tidak terlalu banyak bicara, mendengarkan orang lain yang sedang berbicara, dan tidak mudah bersumpah meskipun dia benar. Adab-adab ini penting untuk diamalkan khususnya ketika mereka berhadapan dengan orangtua, guru ataupun orang lain yang lebih tua.

  1. Aspek ibadah

Dalam masalah ibadah orangtua hendaknya memperhatikan ibadah anak-anaknya. Imam Al-Ghazali mengingatkan agar orangtua membiasakan anaknya dalam keadaan bersuci (dawâm al-thahârah), mendirikan shalat, berpuasa Ramadhan sesuai kemampuan. Pembiasaan ibadah sejak kecil ini penting untuk dilakukan agar ketika si anak dewasa dia sudah terbiasa melaksanakan perintah Allah dengan senang hati.

Meski ditulis puluhan abad yang lalu rumusan pendidikan anak menurut Imam al-Ghazali ini masih sangat relevan untuk saat ini. Pendidikan anak yang menyatukan aspek adab, ilmu, kedisiplinan, kesehatan, sosial dan spiritual. Setiap orangtua harus memperhatikan masalah pendidikan anak jika ingin melihat anaknya menjadi pelipur lara (qurrata a’yun) yang dibanggakan. Seperti kata Raja Ali Haji dalam Gurindam 12 “Dengan anak janganlah lalai, supaya boleh naik ke tengah balai”. Wallâhu a’lam bis shawâb (Depok, 5 Januari 2016).

Penulis adalah Mudir Pondok Pesantren Shoul Lin al-Islami)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *