Ungkapan Imam al-Ghazali tersebut ditujukan kepada kaum bathiniyah, Syi’ah Qaramithah dan kaum zindiq yang berbaju sufi. Sekte Bathiniyah atau kebatinan, merupakan ideologi makar yang dalam sejarah kerap bersentuhan dengan Syiah Isma’iliyah dan berhasil merusak konsep-konsep tasawuf ulama’. Sekte ini mengajarkan bahwa melaksanakan aturan-aturan syariat adalah tugas orang-orang awam, sedangkan orang-orang khusus (khowash) kewajiban syariatnya gugur karena ibadah mereka bersifat batin. Lantas doktrin ini diakui sebagai ajaran sufi.
Ajaran Bathiniyah masuk ke dalam kelompok Syiah Isma’iliyah, termasuk di dalamnya Syiah Nushairiyah. Imam al-Ghazali menyebut golongan ini merupakan ajaran Majusi, hasil racikan dari berbagai agama atau sinkritisme (al-Ghazali, Fadha’ih Bathiniyah, 22). Ia mengatakan, “Kebatinan adalah aliranya yang luarnya adalah Rafidhah sedangkan batinnya murni kekufuran”.
Imam Qadhi Abu al-Fadhl Iyadh dalam al-Syifa bi Ta’rifi Huquqil Musthofa menjelaskan bahwa Bathinyah adalah mereka yang berkeyakinan syariah dan sebagian besar berita yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul tidak sesuai dengan makna batinnya. Artinya, dalam ibadah aliran ini berparadigma dualisme. Ada syariah dzahir dan ada syariah batin. Syariah batin khusus untuk orang-orang tertentu. Sedangkan kalangan awam menjalani syariah dzahir. Syariah dzahir seperti shalat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. Di kalangan kebatinan Indonesia dikenal orang-orang tertentu yang berpandangan bahwa ibadah cukup dengan eling (ingat pada Allah), tidak perlu menunaikan ibadah dzahir.
Kalangan ahli kalam dan sejarawan Muslim berbeda pendapat tentang asal-muasal aliran Bathiniyah. Ada yang berpendapat bahwa Bathinyah berasal dari agama Majusi dan ada pula yang mengatakan bersumber dari agama saba’iyah. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa Bathiniyah dan aliran-aliran lain yang semisalnya bersumber dari pemikiran Yunani kuno yang mengintilfrasi ke dalam berbagai golongan Bathiniyah. Pendapat terakhir ini mengatakan, bahwasannya, unsur-unsur ajaran Bathiniyah bersumber dari filsafat Plato, Yahudi, Kristen dan Hindu kemudian masuk ke dalam para pemikir Syiah Isma’iliyah pada abad ke-9 M (Muhammad Ahmad al-Khatib, Al-Harakat al-Bathiniyah fi al-‘Alami al-Islami, hal. 20).
Pendapat terakhir ini cukup popular. Imam al-Ghazali dan Qadli Iyadh cenderung kepada pendapat ini. Makar ideologis itu bermula dari tradisi orang-orang Yahudi kabbalis yang sejak semula berparadigma dualisme dalam melihat realita. Persentuhan Yahudi kabbalis dengan orang-orang Syiah pada era Abbasiyah ini melahirkan pandangan-pandangan kebatinan dalam sekte Syiah Ismailiyah.
Ajaran paling menonjol yang terindikasi berasal dari pemikiran asing tersebut di antaranya berupa ajaran ta’wil bathin. Setiap huruf dalam kitab suci memiliki rahasia-rahasia ghaib, hanya diketahui oleh para imam mereka atau orang-orang ‘khusus’. Ajaran ini mulanya berasal dari Yahudi kelompok penganut Kabbalah. Di kalangan Syiah Ismailiyah, model ta’wil batin menjadi metode untuk membaca teks-teks suci. Bahkan pengaruhnya menjalar ke sebagian Syiah Imamiyah.
Kelompok Kabbalah memiliki pandangan, bahwa pengetahuan sejati itu bukan diperoleh dengan membaca teks lahir. Karena ilmu itu tersembunyi di dalam teks. Segala hal yang nampak di dunia ini bukanlah esensi, yang paling penting dari segala realitas adalah sisi batin atau esoterik. Kabbalah adalah ajaran mistik Yahudi yang umurnya sudah ribuan tahun lalu dengan doktrin okultisme rahasia (sihir rahasia). Yahudi mempraktikkannya terhadap kitab Taurat. Teolog kontemporer Yahudi, Bruce Spinoza, mengambil metode ta’wil batin ini untuk mempraktikkan Hermeneutika Bible.
Abdullah bin Saba’, yang dikenal sebagai pencetus aliran Syiah, juga mengajarkan ta’wil batin dan mengajarkan penyatuan ruh Ali dengan Tuhan. Bahwasannya esensi Ali terdapat dalam ruh-nya yang bergabung dengan esensi Tuhan (Al-Harakat al-Bathiniyah fi al-‘Alami al-Islami, hal. 23).
Sebagai sebuah sekte, Batihiniyah mulanya didirikan oleh Maimun bin Daishan al-Qaddah, mantan budak Ja’far al-Shadiq. Dialah yang memasukkan ajaran-ajaran kebatinan ke dalam Syiah, pascawafatnya Ja’far al-Shadiq. Maimun sengaja membidik aliran Syiah sebagai kendaraan untuk memasukkan ajaran-ajarannya. Sebab dalam pikirannya, aliran Syiah memiliki kecenderungan memuja Ali dan Ahlul Bait secara ekstrim. Apalagi pondasi ajarannya telah dibangun oleh Abdullah bin Saba’, tokoh yang juga disebut-sebut cenderung kepada aliran kebatinan Yahudi (Abdul Qohir al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, h.16 dan Fadha’ih al-Bathiniyyah, h.11).
Selain hal tersebut, menurut al-Baghdadi dan al-Ghazali, Bathiniyah menyusup kepada penduduk Persi, orang-orang Syu’biyyun (orang ajam yang bangga akan kedigdayaan rasnya dibanding ras Arab), para ilmuan yang minus pengetahuan syari’ah, kelompok filsuf paripatetik, dan kelompok pengagum duniawi secara berlebihan. Orang Persi mudah disusupi Bathiniyah karena orang Persi pada waktu itu memiliki dendam kepada Islam yang dibawa oleh orang Arab yang telah menaklukkan negeri mereka. Adapun para filsuf dan ilmuan yang minus ilmu syariah sebelumnya pengagum filsafat Plato dan Aristoteles.
Ciri kaum ini gemar melakukan isqathu al-syari’ah (pengguguran syariat). KH. Hasyim Asyari dalam Risalah ahlussunnah wal Jamaah menamai kelompok sufi jahil ini (pseudo sufi) ini dengan sebutan kaum Ibahiyyah. Mereka memiliki pandangan dualisme syariat. Syekh Hasyim Asy’ari menyebut kelompok Ibahiyyah yang menggugurkan syariat ini adalah zindiq.
Kelompok Bathiniyah dari Ibahiyyah juga membuat fitnah di kalangan sufi. Imam al-Ghazali menyebut kelompok sufi yang terinfiltrasi ajaran asing itu sebagai sufi jahil, yang sesungguhnya bukan tasawwuf. Syekh al-Junaid al-Baghdadi memperingatkan kemunculan sufi jahil yang menggugurkan kewajiban syariat. Menurutnya, orang yang merasa telah wushul (sampai) kepada tingkat tertentu kemudian meninggalkan aktivitas ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt itu lebih buruk dari orang yang mencuri dan berzina (Abu Nu’aim,Hilyatu al-‘Awliya’, hal. 386).
Syekh Hasyim ‘Asy’ari mengatakan bahwa siapapun ditaklif syari’at. Tidak ada perbedaan antara santri, kyai, awam dan wali. Ia mengatakan, “Tidak ada namanya wali yang meninggalkan kewajiban syari’at. Apabila ada yang mengingkari syari’at maka ia sesungguhnya mengikuti hawa nafsunya saja dan tertipu oleh setan”. Orang seperti itu menurutnya tidak perlu dipercaya. Orang yang mengenal Allah Swt wajib menjalankan seluruh amal dzahir dan batin (Hasyim ‘Asy’ari, Al-Duror al-Muntastiro fi Masa’il al-Tis’u al-‘Asyara, hal. 6).
Syekh Izzudin Abdussalam mengingatkan kita agar tidak mudah tertipu oleh makar kaum kebatinan. Menurutnya kita jangan terburu kagum terhadap orang yang bisa terbang, berjalan di atas air dan mengabarkan hal-hal ghaib. Jika kita temui orang seperti itu, akan tetapi ia meninggalkan syariat maka orang tersebut adalah setan yang menipu orang-orang bodoh (Izzuddin Abdissalam,Qawa’id al-Ahkam/ II / 194).
Jadi, tasawwuf yang menyimpang sejatinya bukan ajaran tasawuf para ulama’ tapi lebih tepat disebut kebatinan/bathiniyyah. Karena para ulama’ tasawuf sendiri tidak mengenalkan kebatinan, tapi –sebaliknya- justru harus secara penuh mengamalkan syariat dan akidahnya harus bersih dari penyimpangan. Sufi yang mengamalkan penyimpangan oleh al-Ghazali disebut sufi jahil atau pseudo sufi. []
*Penulis adalah peneliti InPAS