Ibrahim bin Isa Al-Muradi berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang lebih rajin dalam menuntut ilmu melebihi Al-Hafidz Abdul Azhim Al-Mundziri. Saya bertetangga dengannya ketika di madrasah di Kairo selama dua belas tahun, dan rumah saya berada di atas rumahnya. Saya tidak pernah bangun di waktu malam, kecuali saya mendapatkan lampu di rumahnya menyala. Beliau menyibukkan diri dengan belajar dan menulis. Sampai ketika beliau makan dan minum, kitabnya selalu berada di depannya, beliau membaca dan menelaahnya”.
Karena ketekunannya itu, ketika masih usia belasan tahun sudah memahami al-Qur’an dengan baik. Ia juga mahir dalam ilmu hadits. Ia mendengar hadits dari sejumlah ulama hadits, seperti Abul-Hasan Ali bin Mufadldlal Al-Muqaddasi. Ia berguru kepadanya hingga tamat. Di Madinah Kota Nabi, ia berguru kepada Al-Hafidh Ja’far bin Umusan. Di Damaskus, ia berguru pada ‘Umar bin Thabrazad. Ia juga berguru ke Najran. Iskandariyah, Raha, dan Baitul-Maqdis. Ia mulai berguru pada tahun 591 H ketika berusia sepuluh tahun.
Berkaitan dengan menuntut ilmu, ia memperingatkan orang-orang yang sedang menuntut ilmu yang bertujuan bukan karena Allah. Dalam berbagai kesempatan ia sering mengutip hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya karena Allah, tetapi ia menuntutnya hanya untuk maksud-maksud keduniawian, ia tidak akan mencium bau wangi surga pada hari kiamat nanti” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban).
Sebagai seorang penuntut ilmu, al-Mundziri telah memberikan contoh yang baik, bagaimana seharusnya murid menuntut ilmu. Di samping bersungguh-sungguh, sebagaimana yang dia lakukan, juga harus menjaga niat.
Dari hasil pengembaraan ilmunya itu ia di kemudian hari dikenal sebagai seorang ulama hadits yang sangat mumpuni. Asy-Syarif ‘Izzuddin Al-Hafidh berkata, ”Syaikh kita Zakiyyuddin jarang tandingannya dalam ilmu hadits dengan segala cabangnya. Pandai tentang matan hadits yang shahih, yang saqiim (sakit), dan yang cacat beserta jalan-jalannya. Mendalam dan luas ilmunya tentang hukum, makna-maknanya, dan permasalahan-permasalahannya. Sangat pandai tentang makna-makna hadits yang ganjil, I’rab-nya, dan lafal-lafalnya yang bermacam-macam. Mahir dalam mengetahui perawi-perawinya, celaan terhadap para perawi hadits, dan pujian terhadap mereka, kesempurnaan mereka, sejarah kelahiran mereka, serta informasi tentang mereka”.
Imam Adz-Dzahabi berkata, ”Pada jamannya, tidak ada orang yang lebih hafidh (hafal hadits) darinya”.
Dalam memahami hadits, Al-Mundziri dikenal jeli terhadap hadits-hadtis yang nampaknya bertentangan. Misalkan hadits tentang angkat tangan atau tidak dalam berdo’a. Dalam hal ini ia mengatakan bahwa jika seandainya tidak mungkin menyatukan hadits-hadits di atas, maka pendapat yang menyatakan berdoa dengan mengangkat tangan lebih mendekati kebenaran sebab banyak sekali hadits-hadits yang menetapkan mengangkat tangan dalam berdoa. Meski begitu ia tidak menyalahkan orang yang tidak angkat tangan ketika berdoa.
Selain dikenal sebagai ahli hadits, Al-Mundziri juga dikenal sebagai seorang imam yang argumen-argumennya sangat tajam. Ia juga sebagai seorang ulama yang memiliki pendirian yang teguh, yang tidak takut dengan penguasa ketika menyampaikan kebenaran. Sedang dalam kehidupan keseharian ia dikenal wara’.
Pada suatu ketika ia memberikan pelajaran berharga mengenai menjaga kehormatan (al-wara’) kepada al-Hafizh ad-Dimyatiy. Waktu itu, al-Mundziri baru keluar dari kamar mandi air hangat dan masih merasa kepanasan hingga istirahat terlebih dahulu. Akhirnya, ia berdiri di pinggir jalan di samping sebuah warung yang sedang tutup. Melihat hal itu, ad-Dimyatiy berkata kepadanya, “Wahai Tuan, silakan duduk di kursi yang ada di warung itu!” Al-Mundziri berkata, ”Dengan tanpa meminta izin dulu kepada pemiliknya? Bagaimana mungkin? Apa pemiliknya mengizinkan?” Al-Mundziri juga dikenal jika berbicara sangat selektif dan mantap dalam meriwayatkan.
Karena ketinggian ilmunya, ia diamanahi menjadi pengajar di Universitas Adh-Dhafiri di Kairo. Kemudian menjadi wali wilayah Dar Kamilah.
Ia pemberi fatwa (mufti) di negeri Mesir, tetapi kemudian berhenti dari pekerjaan ini. Keberhentiannya dari tugas ini menguakkan informasi tentang kejujuran, kelapangan hati, dan pengakuannya terhadap suatu keutamaan bagi yang berwenang. Hal itu diisyaratkan oleh At-Taj As-Subki yang mengatakan, ”Saya mendengar dari ayah (yaitu Taqiyyuddin As-Subki) yang menceritakan bahwa Syaikh ‘Izzuddin Abdus-Salam itu mendengar (belajar) hadits di Damaskus hanya sedikit. Tetapi, setelah datang ke Kairo, maka dia sering datang di majelis Syaikh Zakiyyuddin Al-Mundziri dan mendengar pelajarannya bersama sejumlah orang yang mendengarnya. Syaikh Zakiyyuddin juga meninggalkan tugas memberi fatwa”. Ayah berkata, ”Dimana datang Syaikh ‘Izzuddin, maka orang-orang tidak memerlukan aku lagi”.
Hasil karya dari Al-Munzdiri yang terkenal di antaranya kitab At-targhib wat-tarhib, mukhtashar shahih Muslim, mukhtashar sunan Abi Dawud, dan masih banyak yang lainnnya.
Kitab At-targhib wat-tarhib berisi kumpulan hadits-hadits Rasulullah SAW yang memuat materi at-targhib yaitu anjuran, dorongan, motivasi untuk segera melakukan amal kebaikan dan janji, pahala dan surga yang akan diperoleh jika mengamalkan kebaikan tersebut. Sedang at-tarhib berisi ancaman, peringatan, larangan, akibat buruk dari melakukan hal-hal yang dilarang Allah, disertai dengan balasan dosa dan neraka sebagai balasannya dalam berbagai masalah aqidah, ibadah, akhlaq, dan muamalah.
Al-Mundziri selain menyebutkan hadits-hadits dalam kitab Targhib, juga menyebutkan keterangannya yang terkait dengan hadits tersebut. Misalnya jika ia mencantumkan hadits dla’if, ia memberikan catatan ringkas seperlunya. Jadi, keterangan hadits dla’if tersebut bukan hanya diberikan catatan kaki oleh para ulama sebelumnya.
Sedangkan kitab muhtashar shahih Muslim diakui oleh para ulama sebagai karya yang paling lengkap isinya dan sistematis penyajiannya. Metodologinya dalam penyusunan tema-tema yang jelas dan pemilihan hadits-hadits secara ketat merupakan keunggulan tersendiri kitab ini.
Karena keilmuannya itulah, karya-karya Al-Mundziri sampai sekarang masih menjadi rujukan.
Sejumlah ulama yang pernah belajar hadits kepadanya antara lain Al-Hafidh Ad-Dimyathi yang berguru sampai tamat, Al-‘Allamah Taqiyyuddin Ibnu Daqqiiqil-‘Ied, Al-Yunaini Abul-Husain, Ismail bin Asakir, dan Syarif ‘Izzudin.
Al-Mundziri dilahirkan pada tahun 581 H dan wafat pada tanggal 4 Dzulqa’dah tahun 656 H. []