Martabat Perempuan Dalam Kontes Kecantikan

trafficking-ilustrasi

Oleh: Kholili Hasib*

Susan Runkle, seorang kandidat doktor bidang Antropologi budaya asal India, menulis sebuah artikel berjudul “Manufacturing Beauty”. Dalam artikel yang dimuat sebuah situs indiatogether.com itu, Runkle membeberkan seluk-beluk bagaimana peserta kontes kecantikan India dieksploitasi tubuhnya untuk kepentingan industri.

Di bawah pengawasan para desainer fashion, insan film dan pengusaha kecantikan, mereka diperlakukan layaknya mesin. Tubuh harus ‘dipermak’. Bagian mana yang perlu diperbaiki atau diganti, menuruti selera para pengusaha yang berkepentingan. Perempuan yang mengikuti kontes, akan ‘diubah’ tubuhnya sesuai selera pihak tertentu.

Ditulis dalam sebuah majalah setempat, Femina, bahwa Miss India menjadi alat untuk mempromosikan majalah dan produk-produk lainnya. Majalah tersebut dan pihak-pihak yang berkepentingan berkeliling ke daerah-daerah di India untuk mencari wanita yang cocok buat mereka, sesuai dengan kriteria fisik yang telah mereka buat.

Inilah yang disebut Manufacturing Beauty atau bisa disebut fabrikasi kecantikan. Mengindustrialisasi kecantikan dan menjual martabat wanita. Ternyata, hal tersebut tidak saja terjadi di India. Di Barat, hal itu sudah menjadi biasa.  Banyak peserta kontes kecantikan di Negara-negara Barat yang terjun ke dunia seni dan mode. Selanjutnya, menerima tawaran untuk berpose tidak sopan. Demi memenuhi tuntutan industri media dan mode. Lesley Langley, asal Inggris misalnya, memenangkan gelar Miss World pada 1965. Gelar ratu sedunianya itu mengangkat popularitasnya di dunia seni dan hiburan. Profesinya bertambah, ia menjadi foto model terkenal di Inggris dan Eropa. Tidak cukup sampai di situ, Langley menerima beraneka el pakaian merk terkenal di Eropa, bahkan ia menerima tawaran foto telanjang.

Pose foto berbikini  dan pakaian mini di media massa belum cukup membuatnya puas berprofesi sebagai model profesional. Foto berbikini belum menjadikan bahan berbincangan para seniman. Namun, dia menjadi berita utama di berbagai media massa ketika foto telanjangnya muncul. Panitia Miss World 1965 tidak komentar apa-apa. Gelar Miss World-nya tak juga dicopot.

Inilah Barat. Peradabannya minus nilai-nilai ketuhanan. Membuang norma agama, sebagai acuan dalam perilaku. Mengkesploitasi perempuan untuk kepentingan bisnis dianggapnya mengangkat martabat perempuan.

Padahal, menjadikan perempuan sebagai alat eksploitasi tubuh jelas-jelas adalah tindakan pelecehan. Mantan Menteri Pendidikan, Dr. Daud Yusuf, berpendapat bahwa kontes kecantikan adalah penipuan dan alat untuk kepentingan bisnis. Menurutnya, tujuan kontes kecantikan adalah untuk meraup keuntungan bisnis tertentu, yang melibatkan perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode dan salon kecantikan. Daud Yusuf menilai, wanita yang terjebak dalam kontes ratu-ratuan tidak menyadari dirinya telah terbius akan bahaya yang mengancam dirinya.

Pelecehan terhadap perempuan dalam Miss World ini dalam peradaban Barat mungkin tidak dinilai penghancuran martabat kaum perempuan. Karena, peradaban Barat memuja empat hal; power, wealth, beauty dan popularity (kekuasaan, kekayaan, kecantikan dan popularitas). Tentu saja, peradaban seperti ini tidak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran yang menjunjung tinggi keadaban.

Sementara dalam budaya Barat, kecantikan perempuan mendapatkan tempat untuk tujuan meraup kekayaan. Justru para desiner dan juru foto berlomba-lomba mengekploitasi tubuh wanita. Tubuh ‘dipermak’, didesain supaya laku di pasar. Mereka menjadikan tubuh perempuan agar menjadi daya tarik konsumen. Karena itu, kita lihat misalnya iklan-iklan produk tertentu memajang foto dan gambar wanita, sekedar sebagai daya tarik.

Bagi mereka, foto pakaian mini dan telanjang adalah seni, bukan amoral. “Seni adalah seni. Tidak ada kaitannya dengan agama”, demikian kira-kira alasannya. Karena itu, ia tetap bergelar ratu cantik sedunia, meski auratnya diumbar di media massa. Seni yang terpisah dengan norma agama, pasti akan menjadi seni yang liar. Gambar telanjang pun tidak masuk dalam aturan agama.

Budaya Barat sekarang, telah mempunyai andil besar dalam menciptakan ruang pembebasan tubuh dan hasrat, yang mempunyai andil besar dalam menciptakan ruang pembebasan hasrat yang mampu membentuk paradigma baru dalam kehidupan sosial dan budaya.

Di Barat, penonjolan lekuk-lekuk tubuh wanita dalam iklan pakaian, pameran fashion dan film tidak dianggap pelecehan wanita, tapi seni yang bisa mendongkrak produk ekonomi. Paradigma Barat kebingungan membedakan antara seni, pelecehan dan hasrat seks. Pelecehan dinilai seni, penistaan dapat membangkitkan ekonomi. Inilah budaya anti nilai (nihilisme), yang tidak lain anti-ketuhanan.

Pandangan Barat terhadap model pakaian ditentukan oleh pasar, budaya, teknologi dan lingkungan. Seni, bagi Barat, adalah bagian dari kebudayaan modern yang mengedepankan materialisme. Sehingga estika yang dihasilkan adalah estetika-materiastik-ateistik, bukan estetika-religious.

Bertelanjang di atas cat-walk, bagi Barat, justru menunjukkan seni yang natural. Karena seni, dianggapnya, merupakan sesuatu yang alamiyah (natural). Tubuh yang telanjang yang dianggap natural dan apa adanya ini-lah yang disebut modern. Jadi modernitas dalam fashion Barat, sejatinya adalah kemunduran. Sebab, kembali kepada budaya non-estetis, menonjolkan unsur tidak berpakaian dan apa adanya.

Chineze J. Onyejekwe, seorang sosiolog Barat  mengatakan bahwa mengeksploitasi seksualitas perempuan dalam iklan atau ajang kontes kontes kecantikan memiliki konsekuensi negatif bagi perempuan,  contohnya  citra tubuh yang kurus, dan lain-lain. Dengan adanya kontes seperti miss world, miss universe,  dan kontes kecantikan lokal, gadis remaja saat ini mendefiniskan cantik berdasarkan bentuk dan ukuran dari tubuh mereka, dengan kesan bahwa menjadi kurus adalah seksi sehingga pencitraan tubuh yang tidak realistik ini dituduh telah menyebabkan buruknya tingkat kepercayaan diri dan ketidakbahagiaan orang-orang yan biasa biasa saja (ordinary people).  Bahkan penyakit anorexia sudah banyak menjangkiti anak muda (quietmountainessays.org 4 Sept 2013)

Karena yang dijual adalah kecantikan, maka segala bentuk aneka lomba “miss-miss-an” patut ditolak. Jika pun misalnya kontes Miss World tidak ada sesi penilaian pakaian bikini atau renang, tetaplah itu eksploitasi. Karena yang dijual adalah kecantikan bukan kecerdasan. Pada kenyataannya, kontes Miss World berasal dari suatu perlombaan berpakaian bikini di Inggris pada tahun 1951.  Dalam setiap even, sesi ‘bikini’ seperti keharusan. Karena hal itu adalah permintaan pengusaha yang berkepentingan.

Sebenarnya, kontes kecantikan ini terus menuai penolakan. Bahkan datang dari negeri asalnya. Disebutkan dalam situshttp://www.bbc.co.uk (5 November 2011), dalam rangka menyambut kontes Miss World ke-60 di London tahun 2011, sekelompok feminis menggalang demonstrasi menentang acara tersebut.

Tentu saja, lomba semacam ini memang tidak mendidik dan melecehkan perempuan. Menghargai kecantikan fisik berdampak negative terhadap generasi bangsa. Membandingkan aspek fisik makhluk ciptaan Tuhan tentu saja tidak beradab. Jika misalnya terdapat Miss World yang mewajibkan pesertanya berjilbab, kegiatan tersebut tetap harus ditolak. Masalahnya, bukan berjilbab atau tidaknya. Namun semata tentang melindungi perempuan dan membendung dampak pemikiran ke anak-anak kita. Hal ini akan  berdampak negatif tehadap  generasi muda ketika mereka memaknai bahwa aspek lahiriah lebih utama dari aspek batiniah dan tanpa sikap kritis, berusaha mengikuti standar kecantikan dan kemuliaan yang keliru itu.

Manusia pada hakikatnya adalah  makhluk spiritual sehinnga kemuliaan seorang perempuan  seharusnya ditentukan  berdasarkan aspek ruhaninya bukan aspek fisiknya.

Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *