Inpasonline.com, 25/11/11
Sepanjang bulan September 2011, situs sebuah harian nasional terbesar di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, menyuguhkan liputan khusus yang menarik ribuan pemirsa untuk menyimaknya. Liputan khusus tersebut secara totalitas mengulas keikutsertaan seorang anak bangsa berjenis kelamin perempuan dalam sebuah ajang kontes kecantikan internasional. Brain and Behaviour? No, It’s all about Beauty.
Sepanjang liputan khusus yang dibuat oleh media nasional yang menjadi “pegangan” para intelektual di tanah air tersebut, hanya faktor kecantikan dan keseksian dijadikan topik utama. Busana, tata rias, pose tubuh, dan segala rupa perwajahan diulas secara detail. Tidak ada yang memperhatikan apa yang dipikirkan dan diucapkan oleh peserta kontes kecantikan tersebut.
Indonesia termasuk salah satu negara yang gencar menggiatkan beragam ajang kecantikan mulai tingkat regional sampai internasional. Negara mayoritas Muslim ini seolah bangga jika memperoleh pencapaian yang tinggi dalam ajang kontes kecantikan, serta berharap martabat bangsa bisa terangkat dengan menjuarai kontes semacam ini.
Namun, lain Indonesia lain pula Malaysia. Negara tetangga kita yang baru saja memenangkan medali emas SEA Games untuk cabang sepak bola ini berencana akan memberlakukan larangan Muslimah ikut dalam kontes kecantikan.
Majelis Agama Islam Malaysia diminta untuk segera mengesahkan keputusan Majelis Fatwa Kebangsaan yang melarang wanita Muslim ikut dalam kontes kecantikan. Pengesahan diperlukan agar tindakan tegas bisa diambil untuk menindak muslimah yang melanggar ketentuan tersebut.
Datuk Seri Jamil Khir Baharom, menteri urusan Islam di Departemen Perdana Menteri, mengatakan upaya pengesahan diperlukan untuk menempatkan fatwa menjadi bagian dari undang-undang. Masih banyak negara bagian Malaysia yang belum mensahkan fatwa tersebut.
”Ini justru menjadi tanggungjawab Majelis Agama Islam negeri untuk mensahkan keputusan Majelis Fatwa Kebangsaan supaya fatwa tersebut menjadi undang-undang. Sehingga, aturannya jelas bahwa wanita Islam di negara ini dilarang ikut kontes kecantikan,” katanya seperti diberitakan Berita Harian Online.
Datuk Seri mengatakan bahwa pihaknya memandang serius keikutsertaan muslimah di kontes kecantikan seperti kontes yang baru-baru ini berlangsung di Serawak. Karena, menurut Datuk Seri, keikutsertaan muslimah dalam kontes kecantikan tersebut meninggalkan kesan tidak baik kepada umat Islam.
“Kita akan memperbaiki kelemahan untuk mengantisipasi perkara serupa tidak terulang,” katanya.
Lima muslimah sebelumnya dikabarkan ikut tampil ajang Miss Borneo 2011 di Kuching. Walaupun, kelimanya sudah diberi penjelasan oleh pegawai Jabatan Agama Islam Sarawak (JAIS) pada 19 November lalu.
Mengikuti serta mengamati ajang kontes kecantikan memang menarik. Tentu saja hal itu dikarenakan objek pengamatannya menarik : wanita cantik, seksi dan agak smart (terlalu naif jika faktor kecerdasan benar-benar menjadi the main factor). Singkatnya, ajang ini sangat memanjakan mata siapapun juga, terutama mata laki-laki.
Jika ada yang mengatakan bahwa kontes kecantikan menjadi penanda berkibarnya kebebasan perempuan mengaktualisasikan diri mereka, maka tesis Simone de Beauvoir – partner kumpul kebo filsuf Prancis Jean Paul Sartre – tentang perempuan sebagai the second sex akan selamanya berlaku.
Dalam ajang kontes kecantikan, perempuan dimaknai oleh laki-laki. Perempuan menjadi objek hasrat laki-laki. Simone menyatakan, karena situasi perempuan tersebut yang didefinisikan oleh budaya dan masyarakat (dan bukan oleh dirinya sebagai Subyek itu sendiri), membuat relasi laki-laki terhadap perempuan sebagai yang “di luar” dirinya, sebagai seks semata (bukan manusia). Sebab, perempuan didefinisikan dengan referensi kepada laki-laki dan bukan referensi kepada dirinya sendiri, dengan demikian perempuan adalah insidentil semata, tidak esensial, laki-laki adalah Subyek dan ia Absolut; sedangkan perempuan adalah “Other” atau “yang lain” (lian). Di sini, posisi perempuan hanya menempati urutan kedua setelah laki-laki alias the second sex.
Lewat ajang kontes kecantikan, perempuan secara aklamasi bersedia ditempatkan menjadi the second sex, menjadi the other sehingga hakekat mereka menjadi tidak absolut dan eksistensi mereka menjadi tidak esensial. (Kartika Pemilia)