Oleh M. Anwar Djaelani
Sejumlah intelektual berkategori teladan ‘jatuh’ di depan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Di antara mereka, ada intelektual yang dulunya bergelar dosen teladan. Ada juga yang saat lulus kuliah bergelar mahasiswa teladan. Ada pula yang sempat menerima Bintang Jasa Utama RI. Inikah contoh “Orang baik di dalam sistim yang rusak?”
Para ‘Bintang’
Rudi Rubiandini –awalnya- seorang intelektual yang ‘lurus’. Pria kelahiran 09/02/1962 itu memiliki prestasi cemerlang. Pada 1985 dia menyelesaikan S1-nya di Teknik Perminyakan ITB. Gelar doktor diraihnya pada 1991 di Jerman.
Di ITB Rudi meraih predikat dosen teladan pada 1994 dan 1998. Gelar guru besar diraihnya pada 2010 dan itu prestasi menonjol. Rudi-pun dikenal sebagai akademisi jempolan di bidang perminyakan. Pendek kata, “Dia pribadi yang baik,” kata Rektor ITB –Akhmaloka- (www.okezone.com 16/08/2013).
Rudi masuk birokrasi saat diangkat menjadi Deputi Operasi Migas pada 2011. Pada 2012 dia menjadi Wakil Menteri ESDM dan tujuh bulan berikutnya menjadi Kepala SKK Migas. Sayang, pada 13/08/2013, KPK menangkap Rudi di rumahnya karena diduga menerima suap.
Anas Urbaningrum adalah contoh lain. Dia tokoh muda yang awalnya juga menjanjikan. Anas –lahir pada 15/07/1969- adalah mahasiswa teladan dan lulusan terbaik Universitas Airlangga pada 1992. Prestasi Anas -Ketua Umum PB HMI 1997-1999- terus meningkat. Dia terpilih sebagai komisioner KPU periode 2001-2005 dan terpilih menjadi anggota DPR periode 2009-2014. Sayang, Anas –penerima Bintang Jasa Utama RI pada 1999- ditetapkan KPK sebagai tersangka Kasus Hambalang pada 22/02/2013.
Andi Mallarangeng adalah contoh yang lain pula. Dia -yang lahir pada 14/03/1963- adalah peraih Doctor of Philisophy ilmu politik. Dia menjadi dosen di Universitas Hasanuddin (1988-1999) dan di Institut Ilmu Pemerintahan (1999-2002). Dulunya, dia seorang pengamat politik yang komentar-komentarnya kerap dikutip banyak media. Berbagai penghargaan pernah diraihnya, seperti: Man of the Year dari Majalah MATRA (2002) dan Future Leader of Asia dari Majalah Asia Week (1999). Sayang, Mallarangeng -penerima Bintang Jasa Utama RI pada 1999- ditetapkan KPK sebagai tersangka pada 03/12/2012 dalam Kasus Hambalang. Atas kasus itu, pada 07/12/2012 dia-pun mengundurkan diri dari jabatan sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga.
Cermatilah, dulu Rudi adalah dosen teladan. Dulu Anas adalah mahasiswa teladan dan di kemudian hari menerima Bintang Jasa Utama RI. Begitu juga Mallarangeng yang pernah menerima sejumlah penghargaan, termasuk Bintang Jasa Utama RI.
Tak seorangpun yang meragukan kecemerlangan intelektualitas dari Rudi, Anas, dan Mallarangeng. Tapi dengan sangkaan keterlibatan mereka dalam kasus korupsi, tampak mereka tumpul setelah berada di tengah-tengah kekuasaan (birokrasi dan atau politik).
Sungguh, lingkungan memang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membentuk (termasuk mengubah) perilaku seseorang. Ketiga tokoh tadi berada di lingkungan yang ‘tak kondusif’. Inilah sebagian ‘wajah’ lingkungan yang ‘tak kondusif’ itu: “297 Kepala Daerah Bermasalah dengan Hukum” (www.republika.co.id 04/07/2013). Juga ini: “Kepolisian, DPR, Pengadilan jadi Sarang Koruptor” (www.jpnn.com 09/07/2013). Di berita yang disebut terakhir ini, diungkap bahwa berdasarkan hasil survei di Indonesia maka parlemen dan partai politik termasuk sebagai lembaga terkorup.
Setidaknya dari dua berita itu terlihat bahwa lingkungan kita bermasalah karena banyak birokrat yang korup. Di partai politik dan parlemen, banyak pula yang korup. Dengan situasi seperti itu, bagi intelektual yang masuk birokrasi atau politik, maka dia harus memiliki idealisme ‘rangkap dua’. Jika sekadar ‘rangkap satu’ sangat dikhawatirkan dia mudah terpeleset karena ‘Sindrom Pandai Besi”.
Apa ‘Sindrom Pandai Besi”? Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa keadaan seseorang tergantung agama temannya dan –oleh karena itu- hendaklah kita cermat dalam memilih teman bergaul atau lingkungan.
Nabi SAW-pun -lewat HR Bukhari dan Muslim- memberi tamsil bahwa, “Sesungguhnya perumpamaan tentang teman yang baik dan teman yang buruk seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Adapun dengan penjual minyak wangi, berkemungkinan dia memberi kita hadiah atau kita membeli darinya atau sekadar mendapatkan aromanya saja. Sementara, dengan pandai besi, boleh jadi dia akan membakar pakaian kita atau kita merasakan bau asapnya”.
Perumpamaan di atas logis dan secara tepat mengajarkan bahwa lingkungan sangat kuat dalam membentuk akhlak seseorang. Berdekat-dekat dengan penjual minyak wangi minimal kita akan mendapatkan aroma wangi secara gratis. Itu bermakna, jika kita berdekat-dekat dengan orang-orang shalih yang berakhlak mulia maka kita akan terwarnai mulia juga. Sebaliknya, jika berdekat-dekat dengan pandai besi kita akan mendapatkan asap yang berbau tak sedap. Itu berarti, jika akrab dengan orang yang ‘tak beres’, maka –cepat atau lambat- kita akan tertular menjadi ‘tak beres’ juga.
Memilih teman atau lingkungan yang baik termasuk ajaran Islam yang penting. Kita sangat dianjurkan untuk suka berkumpul dengan orang-orang yang berakhlak baik. Sebab, antarmereka akan saling mengingatkan dan saling mengajak untuk selalu berada di Jalan-Nya. “Dan bersabarlah kamu bersama-sama orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya” (QS Al-Kahfi [18]: 28).
Kelak –baik ketika di dunia dan apalagi di akhirat- kesalahan saat memilih teman akan membuat kita menyesal. “Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku” (QS Al-Furqaan [25]: 28-29).
Bersihkan, Jauhkan!
Duhai penanggung-jawab tertinggi di negeri ini, bersihkanlah ‘lingkungan’ kami. Jangan beri kami ‘Sindrom Pandai Besi’ yang akan menggelincirkan kami ke dalam kubangan berbagai sifat tak terpuji. Sebaliknya, akrabkanlah kami dengan si ‘penjual minyak wangi’ agar negeri ini segera berperadaban mulia. []
Menarik perjalanan Rudi Rubiandini ini….