Pentingnya Kuliah Ilmu Akidah untuk Mahasiswa

Oleh : Apriyanti Kartika Agustin*

Inpasonline.com – Dosen agama di fakultas umum dianjurkan tidak banyak membahas akidah dan syariah karena dapat meningkatkan resiko peningkatan radikalisme. Pernyataan ini disampaikan oleh seorang tokoh beberapa hari lalu.

Pendapat ini keliru. Sebab, ilmu akidah merupakan ilmu tentang pokok-pokok agama (ushul al-din). Mempelajari sampai pada tingkat faham yang cukup tentang ilmu pokok agama tentu saja sangat tidak cukup dengan dua pertemuan saja. Dengan ilmu ushul agama ini, seorang Muslim paham tentang agama. Jika mahasiswa yang tidak pernah belajar intensif di pesantren, kemudian dibatasi jam pertemuan tentang ilmu akidah, maka itu sama saja membikin mahasiswa itu buta agama. Membuat mereka menjadi sekuler itu gampang dengan cara seperti ini.

Tujuan Pendidikan

Dalam sistem pendidikan nasional, istilah pendidikan diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, serta latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

Dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba dalam bukunya Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Al Ma’arif Bandung, 1998) pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

Pendidikan mengandung pengertian yang lebih luas daripada pengajaran karena sasaran pendidikan tidak hanya mencakup pengembangan intelektualitas, tetapi lebih ditekankan pada proses pembinaan kepribadian anak didik secara menyeluruh.

Sehingga tujuannya adalah mengubah perilaku dan sikap anak didik dari bersifat negatif ke positif, dari yang destruktif ke konstruktif, dari berakhlak buruk ke akhlak karimah, dan sebagainya.

Selain itu, T.S. Eliot dalam buku Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam karya Prof. Ahmad Tafsir (Remaja Rosdakarya Bandung, 1992), menjelaskan bahwa tujuan pendidikan diambil dari pandangan hidup. Jika pandangan hidupnya adalah Islam, tujuan pendidikan yang dipakainya haruslah diambil dari ajaran Islam.

Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan menurut Islam dalam buku Fondasi Keluarga Sakinah yang diterbitkan Kemenag RI, yaitu terciptanya insan kamil (manusia sempurna). Sempurna dalam arti memegang nilai-nilai Islam dan moral yang baik, memiliki kehidupan sosial yang baik, sejahtera (memiliki uang), dan keluarga yang harmonis.

Kita perlu memahami bahwa tujuan pendidikan tetap terkait dengan tujuan diciptakannya manusia. Di antara tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah hanya kepada-Nya (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56), dan juga agar memakmurkan bumi, membuat alam menjadi lestari. (QS. Hud [11]: 61)

Dalam kaitannya dengan pendidikan, yang terpenting dilakukan adalah bagaimana pendidikan dapat menjaga, memelihara, dan mengembangkan fitrah menuju kesempurnaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dalam membangun kepribadian yang utama, perubahan perilaku yang baik, serta terciptanya insan kamil tidak akan bisa tercapai jika tidak memahami landasan ajaran Islam secara sempurna.

Pendidikan Akidah

Diintisarikan oleh Abdullah bin Umar Al-Bakri dalam buku Sulubus Salam, menjelaskan bahwa agama Islam berdiri di atas kedua kaki yaitu akidah dan syari’at. Adapun akidah Islam, terangkum dalam rukun Islam dan rukun imannya. Syari’atnya terangkum dalam Al-Qur’an, hadits, ijma’, serta qiyas.

Oleh karena dari itu, menanamkan akidah yang kokoh dengan terus mempelajarinya adalah sebuah kewajiban. Menjalankan syari’atnya menjadi harus sepaket dengan kehidupan. Sehingga melepaskannya berarti harus siap menanggung sengsara.

Demikian itu sebab Islam adalah agama fitrah. Muhammad Quthb dalam bukunya Sistem Pendidikan Islam (Percetakan Offset, 1984) menyebutkan bahwa tidak ada satu pun yang bisa mendekati kodrat manusia seperti dilakukan oleh Islam, atau menghasilkan sesuatu setelah didudukkannya di tempat yang tepat sebagaimana yang dihasilkan oleh Islam.

Dalam kasus yang diangkat di muka, menunjukkan sebuah sistem yang hanya meyakini segi inderawi manusia terhadap kehidupan ini. Tak heran jika pencapaian yang diharapkan adalah hasil pendidikan yang berkiblat pada Barat, sifatnya sebatas psikis. Dengannya pendidikan akidah mestilah dikesampingkan.

Padahal demikian itu hanya memunculkan kesenangan yang rapuh, sebab jiwanya kosong dari iman. Kesenangan, kenikmatan dan pencapaian yang dikejarnya berubah menjadi pemburuan hawa nafsu yang tiada berkesudahan. Kesenangannya adalah semua, kesenangan yang tanpa akidah. Tujuan hidupnya menjadi tak terarah, dikelabui fana dunia.

Sedangkan Mahmud—rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung—dalam bukunya Pemikiran Pendikan Islam (CV Pustaka Setia Bandung, 2011) menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia menurut Islam tidak bisa terlepas dari ideologi Islam tentang manusia, yaitu selaku ‘abdullâh dan khalîfatullah dalam makna akumulatif. Bemuara pada shalatnya, ibadahnya, profesinya, kepakarannya, hidupnya dan matinya hanya untuk Allah semata.

Oleh sebab itu pendidikan akidah tidak akan mengganggu pencapaian hidup manusia. Sebaliknya, pendidikan akidah justru membuat manusia semakin paham tentang orientasi hidupnya. Yakni orientasi jangka panjang yang bukan hanya untuk pencapaian dunia, tetapi akhirat jua. Pendidikan akidah pada akhirnya berperan sebagai kunci kehidupan bagi setiap Muslim, dan tidak bisa tidak dipelajari dan diamalkan.

Dalam hal ini Ibnu Miskawaih menjelaskan tiga fungsi pendidikan. Di antaranya untuk menanamkan akhlak mulia, memanusiakan manusia, dan sosialisasi individu. Hal ini kembali menegaskan bahwa sepatutnya tidak ada pemisahan antara urusan teologi dengan sosial kemanusiaan.

Lagi pula, pendidikan akidah tidak terbatas persoalan surga-neraka, Islam, kafir, dan kesesatan sebagaimana pikiran sempit yang sebagian orang. Juga tidak terbatas rukun Islam dan rukun iman semata. Pendidikan akidah justru mengajarkan manusia untuk berhubungan baik kepada sesama manusia, alam sekitar dan juga Allah SWT. Karena ruang lingkup objek kajian ilmu akidah itu cukup luas.

Hal serupa dituturkan Al-Khatib al-Bagdadi, bahwa pendidikan akal tidak bisa dipisahkan dari pendidikan akhlak dan pendidikan kemasyarakatan yang merupakan representasi aspek-aspek lainnya. Bahkan kebermaknaan pendidikan lebih dilihat dari sisi keberhasilan pendidikan akhlak dan kemasyarakatan. Bukan salah satunya.

Oleh karena itu pendidikan akidah mestinya menjadi materi yang utama diajarkan. Seperti urutan yang harus diajarkan pertama menurut Ibnu Miskawaih, adalah kewajiban-kewajiban syariat, kemudian materi yang berhubungan dengan akhlak, lalu meningkat setahap demi setahap ke materi ilmu lainnya hingga mencapai tingkat kesempurnaan.

Dengan demikian, pendikotomian antara teologi Ilahiyah dengan kemanusiaan bukanlah sebuah solusi. Hal itu jelas akan membuat manusia kehilangan tujuan hidup sesungguhnya. Terlebih dengan dalih ingin memaksimalkan peran intelek dalam mencapai peradaban yang dinanti.

Semestinya keberhasilan dan kiprah antara Ibnu Miskawaih yang mendapat gelar “guru ketiga” setelah Aristoteles dan Al-Farabi. Serta Al-Khatib al-Bagdadi yang menjadi pemimpin, ulama dan pemikir terkemuka pada zamannya, cukup menjadi bukti konkret bahwa akidah memang harus di atas segalanya.

Sehingga alih-alih mewaspadai radikalisme dan memunculkan wacana moderasi beragama tahun 2022 yang malah semakin menjauhkan kehidupan dengan agama. Para kiai-kiai kita sejak Walisongo menjadikan ilmu akidah sebagai pendidikan yang utama. Tidak ada mereka menjadi penganut radikalisme.

Penulis adalah alumni PKU (Program Kaderisasi Ulama) Angkatan 14

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *