Khidmah Ulama Bahasa Arab atas Agama

Written by | Opini

Oleh: Bana Fatahillah

Inpasonline.com-Ibnu Hisyam, seorang ulama pakar bahasa arab, pernah ditanya tentang kenapa ia tidak menulis kitab Tafsir. Ia pun menjawab: “Mughni Labib (salah satu kitab miliknya) sudah mewakili tafsir” (al-Mughni Yugniihi)

Perlu diketahui, Mughni Labib memang bukan kitab tafsir yang notabenenya berinteraksi langsung dengan al-Quran. Tapi Mughni Labib membuat satu patokan khusus dan kaidah universal yang dengannya seseorang bisa mudah memahami al-Quran. KarenanyalahIbnu Hisyam melontarkan kalimat tersebut, sebab karyanya pun menjadi kunci dalam memahami al-Quran.

Inilah salah satu bentuk khidmah atau pengabdian ulama bahasa arab terhadap agama ini. Ketika al-Quran diturunkan dengan bahasa arab, itu berarti perangkat yang mengantarkan pada pemahaman bahasa tersebut menjadi penting. Dan kalau bukan untuk khidmah pada agama ini, apa lagi tujuan Ibnu Hisyam membuat Mughni.

Banyak orang menyangka khidmah pada agama itu harus dengan kembali pada al-Quran dan sunnah; mengkajinya dan memahaminya. Memang sekilas itu benar dan kita tidak bisa memungkirinya. Sebab Keduanya adalah sumber utama dari agama ini.
Tapi Pertanyaannya: kita ini siapa bisa memahami dan mengerti al-Quran dan Sunnah secara mentah?

Disinilah, sekali lagi, ulama bahasa arab menunjukan loyalitas, ketaatan dan pengorbanan mereka pada agama. Mereka ingin umat Islam ini setidaknya memahami sumber utama agamanya lewat pemahaman bahasa arab, yang dengannya al-Quran diturunkan.

Ada yang meneliti aspek gramatikanya, atau ilmu nahwu, seperti kitab Mughni di atas. Dengan harapan seorang tidak salah dalam melafalkan kata dalam bahasa arab yang berakibat pada rancunya makna. Ini bahaya, sebab jika satu harakat saja terganti, makna nya bisa kabur.

Kita tentu ingat cerita seorang non-arab yang dimarahi khalifah Umar bin Khattab karena salah memhami al-Quran. Ia membaca kata “rasul” dalam awal surat al-Taubah dengan kasrah (rasulihi), sehingga maknanya “Allah berlepas tangan dari orang kafir dan Rasul-Nya” padahal seharusnya dibaca dengan harakat dhommah (rasuluhu) yang maknanya “Allah berlepas tangan dari orang-oramg musyrik, begitupun Rasul-Nya”

Khalifah Umar pun akhirnya memberi ultimatum bahwasanya tidak boleh seorang mengajar al-Quran sebelum ia memahami ilmu bahasa. (Lihat Syekh Thantawi, Nasy’at al-Nahw wa taarikh Asyhar al-Nuhat, hal. 17-18)

Selain nahwu, ada sejumlah aspek lain yang dibahas oleh ulama bahasa, seperti pembahasan asal suku kata (isytiqaq), aspek perubahan kata atau morfologi (ilmu sharaf) atau aspek keindahan dan ketepatan pemakaian diksi dalam kalimat bahasa arab (balaghoh).

Memang jika dilihat secara eksplisit ilmu-ilmu ini seperti tidak sedang berinteraksi dengan sumber agama, yakni al-Quran dan Sunnah. Ilmu isytiqaq misalnya, yang jika dilihat zahirnya, hanya sebatas menyusun relasi makna setiap kata yang diambil dari asal kata yang sama. Padahal jika ditelisik lebih dalam, ilmu ini sangat amat membantu dalam memahami al-Quran dan Sunnah.

Misalnya, Syekh Ali Jumah memberikan contoh dengan asal kata mim lam dan kaf. Katanya, setiap kata yang lahir dari suku kata ini, mempunyai makna kekuatan dan kekuasaan. Misalnya, kata Malik (raja), Milk (kepunyaan), Mulk (kerajaan), dll nya (yang lahir dari suku kata ini) tidak lepas dari makna tersebut.

Inilah mengapa tatkala nendengar ayat “alaiha tis’ata asyar” (diatasnya ada sembilan belas malaikat) orang jahiliyyah langsung berkata, “satu malaikat itu seribunya kita” (alfun minna lawaahid).

Pertanyaannya: apa yang membuat mereka langsung mengatakan ini? Jawabannya adalah karena dengan sebatas mendengar kata yang mempunyai asal kata mim lam dan kaf —yakni kata malaikat— orang arab sudah faham bahwasanya maknanya sesuatu yang kuat. Mereka pun langsung memahami bahwa al-Quran sedang berbicara tentang sesuatu yang amat kuat dalam teks tersebut. (Lihat Syekh Ali Jum’ah, Wa Qaala al-Imam, hal.56)

Yang seperti ini memang tidak tampak kalau kita hanta melihat terjemahan al-Quran. Kata malaikat akan dialihbahasakan dengan malaikat juga. Tapi dengan mengetahui suku kata itu, kita bisa memaknai malaikat dengan makhluk Allah yang diberi kekuatan.

Itu hanya sepercik contoh bagaimana sebagian ilmu bahasa arab memainkan perannya dalam al-Quran dan sunnah. Di sana masih ada ilmu bhalagoh, shorof, dll nya yang sekali lagi memang diletakkan dalam rangka khidmah pada agama ini, yakni memahami al-Quran dan hadis.

Maka pada hakikatnya salah jika seseorang teriak kembali pada Quran dan sunnah tapi tidak mempelajari ilmu bahasa. Apalagi mereka menganggap bahwa hanya dengan cara itulah mereka dapat khidmah pada agama.

Karenanya, tugas kita saat ini adalah mempelajari apa yang telah mereka abdikan pada agama. Sehingga nantinya kita bisa mengabdikan diri kita pada agama sebagaimana mereka semua, yakni dengan mengajari bahasa arab, menulis karya tentang bahasa, dll sebagainya.

Ada banyak cara untuk berkhidmah pada agama ini. Rasulullah dan pewarisnya telah mengajarkan itu semua. Dan inilah bentuk khidmah ulama bahasa akan Islam. Wallahu a’lam bisshowab.

Selamat Hari Bahasa Arab Internasional
Rabu, 18 Desember 2019

 

*Penulis adalah Mahasiswa Al-Azhar Mesir

 

Last modified: 18/12/2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *