Oleh M. Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Di keseharian, semua orang berkepentingan atas kenyamanan dan keselamatan dalam menggunakan jalan. Terkait ini, sekecil apapun rintangan di jalan –duri, misalnya-, harus kita singkirkan. Maka, sungguh mengherankan jika kita sengaja –apapun alasannya- melintangkan penghalang semisal “polisi tidur” di tengah jalan.
Adab, Adab!
“Polisi tidur” adalah perintang jalan yang dimaksudkan agar pengemudi mengurangi laju kendaraannya. Maka, lihatlah, semua orang –suka atau terpaksa- berhati-hati di saat melewati “polisi tidur”. Bahkan pengendara yang paling ugal-ugalan, pun akan mengurangi kecepatannya.
Di mana “polisi tidur” dipasang? Di banyak tempat: Di perkampungan, di perumahan, di jalan-jalan alternatif, dan bahkan di jalan raya. Khusus di jalan raya, bisa dengan istilah dan bentuk yang berbeda tapi dengan fungsi yang kurang-lebih sama.
Mengapa “polisi tidur” dibuat? Hal itu, dipicu oleh banyaknya pengemudi yang memacu kendaraannya melebihi kepatutan. Para pengendara yang membahayakan diri dan orang lain itu tidak taat kepada hal-hal yang telah diatur lewat berbagai rambu, papan peringatan, dan perangkat berlalu-lintas lainnya. Segenap pengendara yang tak tahu diri itu melaju kencang karena –boleh jadi- sedang tergesa-gesa, sebuah sikap yang dilarang oleh agama. Semua pengendara yang nakal itu mengabaikan keselamatan dan sekaligus tidak menghormati pengguna jalan yang lain.
Sekilas, tampak baik tujuan pembuatan “polisi tidur”. Meski begitu, tetap perlu kita kritisi keberadaannya. Benarkah problema lalu-lintas seperti yang sedikit tergambar di paragraf di atas harus kita atasi dengan “polisi tidur”?
Mari renungkan keberadaan “polisi tidur” itu: Pertama, tidak sesuai dengan yang diatur agama. Dalam Islam, misalnya, sekecil apapun rintangan di jalan harus kita singkirkan. Perhatikan Hadits ini: “Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang. (Posisi) yang paling utama adalah kalimat laa ilaha illallah. (Lalu), yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan. Malu termasuk (pula) bagian dari iman” (HR Muslim).
Kurang-lebih, kaitan ketiga aspek iman di atas, sebagai berikut. Bahwa, jika kita beriman kepada Allah, maka patuhilah sunnah Nabi Saw termasuk dalam hal menghilangkan gangguan di jalan. Lakukanlah itu, sebagai bukti bahwa kita malu kepada Allah jika kita mengabaikan sunnah Rasul-Nya. Artinya, tak memasang “polisi tidur” termasuk usaha menghidup-hidupkan ajaran agama. Sementara, taat menjalankan ajaran agama sangat sesuai dengan sila pertama Pancasila.
Kedua, “polisi tidur” tidak cukup memiliki bukti keberhasilan dalam menyelesaikan masalah. Misalnya, tetap tampak perilaku banyak pengendara yang tak memerhatikan batas kecepatan dan rambu-rambu kesopanan berlalu-lintas. Selepas dari “polisi tidur”, mereka langsung tancap gas lagi.
Ketiga, “polisi tidur” menimbulkan ekses negatif. Misal, mengurangi kenyamanan berlalu-lintas. Tentang ini, rasanya, semua orang mengalaminya. Berikutnya, potensial memperpendek usia pakai dari sejumlah bagian kendaraan. Bahkan, “polisi tidur” potensial pula bisa menjadi pemicu kecelakaan. Bisa karena bentuknya, lantaran dibuat dengan tak memakai ilmu. Bisa pula karena posisinya yang samar karena tak diberi penanda yang khas.
Atas berbagai kelemahan dan ekses negatif itu, tak salah jika banyak yang menyoal: Bukankah pihak yang salah (mereka yang suka mengebut) itu hanya sebagian orang, lalu mengapa semua seperti dihukum dengan keberadaan “polisi tidur” itu? Sungguh tak adil, sungguh menyebalkan!
Lebih jauh, jika kita cermati, ide pembuatan “polisi tidur” boleh jadi muncul karena apa yang telah diusahakan sebelumya dinilai tak berhasil. Pemasangan berbagai rambu dan papan peringatan, diabaikan. Padahal, isinya adalah gertakan dengan bahasa yang lugas.
Perhatikanlah! Terutama di jalan-jalan kampung, banyak terpampang papan peringatan, mulai yang sopan seperti “Pelan-pelan, banyak anak-anak!” atau yang bernada mengancam semisal ”Anda mengebut, bisa benjut ”. Maksud kalimat yang disebut terakhir itu, kurang-lebih, “Jika Anda berani mengebut di daerah kami, bersiaplah untuk benjol karena kami siap main hakim sendiri”. Bahkan, sering peringatan itu dilengkapi dengan gambar semisal pentungan dan atau tengkorak.
Mestinya, lewat kata-kata, bisa menyadarkan orang. Seharusnya, melalui gambar-gambar metaforis, bisa menggugah masyarakat. Tapi, yang terjadi, kata-kata tampak tak berguna dan gambar metaforis terlihat tak digubris. Maka, muncullah “polisi tidur”.
Terasa, bahasa kaum beradab –lewat himbauan dan peringatan, atau melalui simbol-simbol semisal “Perhatikan batas maksimal kecepatan” atau “Hormati penyeberang jalan”- seperti tak punya fungsi. Lalu, mana hasil pendidikan kita?
Mari menunduk sembari membaca ulang tujuan Pendidikan Nasional di Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terkait fungsi dan tujuan pendidikan, diatur di pasal 3, bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung-jawab”.
Kita garis-bawahi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa”. Di titik ini, siapa yang tergolong beradab? Menurut Dr Adian Husaini, “Orang beradab adalah yang dapat memahami dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah” (www.insists.id akses 18/12/2019 pukul 21.20).
Sejumput Tanya
Mari kita ulang: “Orang beradab adalah yang dapat memahami dan meletakkan sesuatu pada tempatnya”. Sekarang, apakah termasuk “Meletakkan sesuatu pada tempatnya” jika ingin menyadarkan pemakai jalan agar tertib berlalu-lintas tapi dengan cara memasang “duri” alias “polisi tidur”? Apapun, jika keberadaan “polisi tidur” masih kita pertahankan, maka pertanyaan berikutnya: Di posisi manakah capaian peradaban kita? []