Kebangsaan dan Keislaman dalam Pandangan KH. Wahid Hasyim

Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-KH. Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Demak.
Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan MAtaram. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng.
KH. Wahid Hasyim (1914-1953), putra pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari, merupakan salah satu ulama NU yang aktif di medan politik pada masa awal kemerdekaan. Bahkan, ia salah satu tokoh nasional yang mengukir sejarah negeri ini dengan peranan langsung membidangi berdirinya Negara Indonesia beserta dasar-dasarnya.
Ia pernah menduduki sejumlah jabatan keagamaan dan kenegaraan. Pada 24 Oktober 1943 atas petunjuk KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim ditunjuk sebagai ketua Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Organisasi ini memayungi berbagai ormas Islam di Indonesia. Di saat memimpin Masyumi, ia membentuk laskar Hizbullah. Sebelumnya ia juga pernah menjabat ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah organisasi yang terdiri dari ormas Islam dan partai Islam. Dalam wadah ini, umat Islam disatukan oleh MIAI yang ia pimpin. Kecuali itu, tentu saja sebagai putra pendiri NU, ia pernah menjadi ketua umum PBNU.
Di bidang politik, menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Kecakapan, kepiwaian dalam berorganisasi serta kemampuan intelektualnya menghantarkan Wahid Hasyim menjadi mentri Agama sampai tiga kabinet, yaitu masa kabinet M. Hatta, M. Natsir, dan kabinet Sukiman.
Ide-ide KH. Wahid Hasyim tentang keislaman dan posisi kenegaraan itu nampak ketika menjadi anggota BPUPKI dan anggota tim Piagam Jakarta. M. Hatta, mantan Wakil Presiden RI, pernah mengungkapkan bahwa KH. Wahid Hasyim menginginkan Islam menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurutnya, tujuh kata dalam sila pertama, “Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, merupakan ide putra pendiri NU itu.
Pemikiran KH. Wahid Hasyim yang menginginkan Islam sebagai dasar dalam menjalankan Negara itu lah kemudian didukung oleh 15 anggota BPUPKI lainnya. Meskipun pada akhirnya tujuh kata itu dihapus, tetapi sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” tetap tidak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa, ide dan gagasan keislaman KH. Wahid Hasyim pada saat itu cukup berpengaruh.
Tujuh kata tersebut itu memang idenya, tetapi kemudian ia menyetujui dihapuskannya tujuh kata tersebut. Bagaimana sebenarnya pandangannya tentang hal ini? Dalam salah satu tulisannya ia menerangkan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu sebagai dasar Pancasila dapat menjadi saluran aspirasi rakyat Muslimin Indonesia yang menginginkan syariat Islam.
Jalan kompromi pihak Islam dengan menerima Pancasila tanpa tujuh kata dalam sila pertamanya, bukanlah kekalahan atau kerugian golongan yang memiliki semangat Islam. Sebaliknya, jika tujuh kata itu dicantumkan juga tidak berarti kekalahan minoritas. KH. Wahid Hasyim berusaha meyakinkan dua kelompok tersebut tentang ide dan gagasannya. Bahwa apapun keputusannya Islam tetap berdasarkan prinsip tasamuh (toleransi). Ia menulis:
“Keinginan kaum Muslimin sebagai golongan terbesar dari pada bangsa kita akan menghidupkan syari’at Islam agamnya diberi jalan dan saluran yang baik, tetapi dari lain pihak dipertahankan prinsip demokrasi, agar keinginan tadi tidak mendesak pada golongan lain dan merugikannya. Kalau di sini diterangkan tentang adanya kompromi dengan demokrasi, tidaklah itu berarti, bahwa jikalau tidak ada kompromi tadi tentu akan timbul hal-hal yang mendesak dan merugikan golongan bersemangat agama yang kecil jumlahnya”(KH. A. Wahid Hasyim, Tugas Pemerintah Terhadap Negara, hlm. 87 naskah pidato yang disampaikan pada Konferensi Antara Kementrian Agama dan Pengurus Besar Organisasi Islam Non-Politik pada 4-6 November 1951 di Jakarta)).
KH. Wahid Hasyim memiliki pandangan, mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim yang perlu didengar aspirasinya. Sebagai perwakilan NU, ia membawa aspirasi mayoritas dalam sidang Piagam Jakarta itu. Ia berpendapat, aspirasi rakyat yang menginginkan syariat Islam sebagai dasar hukum Negara itu dapat disalurkan melalui Pancasila sila pertama. Ia menyatakan:
“Di Indonesia, sebagian besar dari pada rakyatnya keras sekali keinginannya akan menghidupkan syari’at agamanya, walaupun mereka belum tahu dengan sempurna cara bagaimana akan menghidupkannya. Hal itu ternyata dari pada tercantumnya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu dasar Pancasila kita” (KH. A. Wahid Hasyim, Tugas Pemerintah Terhadap Negara, hlm. 87).
Tampaknya memang, KH. Wahid Hasyim, berupaya menjelaskan jalan komporomi itu agar tidak salah fahami bahwa syariat Islam tidak bisa berjalan tanpa tujuh kata tersebut. Ia juga memberi pemahaman aspirasi kaum Muslim yang menginginkan syariat Islam itu juga bukan berarti mereka tidak toleran terhadap minoritas.
Dalam proses persidangan ia berusaha meyakinkan bahwa butir sila pertama itu bukan narasi arogansi Muslim dan bukan kalimat yang tajam. Islam merupakan sistem yang melingkupi semua aspek hidup. Ia pernah berkata menjelaskan tentang konsep Islam itu: “Islam ibarat bibit yang sangat kuat. Bibit Islam ini jika ditanam pada masyarakat yang kurus maka akan dapat tumbuh dengan subur. Ini adalah bukti Islam adalah bibit yang sangat kuat, yang dapat tumbuh subur di tempat yang kering. Semuanya karena Islam itu berdasarkan kepada wahyu Ilahi yang selaras dengan akal manusia. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: ‘tidak terdapat agama bagi orang-orang yang tidak berakal’. Islam dalam hal ini tidak hanya menghargai akal yang sehat melainkan juga menganjurkan orang agar menyelidiki, memikir, dan mengupas segala ajaran Islam. Dan bibit Islam yang kuat ini disebutkan dalam surat Ali Imran: 159; ‘Jika engkau telah mengambil kepastian, maka tawakkallah kepada Allah’.”
Pada konferensi Kementrian Agama di Bandung tanggal 21-22 Januari 1951 ia menegaskan, kepercayaan atau iman dan agama adalah salah satu pokok sikap bangsa yang penting yang tidak dapat ditutup dengan sikap pura-pura. Akan tetapi, diperlukan sikap berlapang dada dan tasamuh dalam menjalankannya.
Pandangan KH. Wahid Hasyim sangatlah jelas bahwa Islam sebagai faktor politik di Indonesia. Dalam salah satu risalah nya ia mengatakan sejak bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda, semangat kebangsaan dijalani dengan semangat menentang kekafiran kolonial.
Ia membuat peta strategi kolonial Belanda untuk melemahkan kekuatan Islam. Untuk mencegah jangan sampai kemurnian ajaran Islam dapat dimiliki tiap-tiap Muslim Indonesia dan mengusahakan supaya Islam dalam gambaran Belanda itu jelek dan jauh dari kebenaran dapat tetap melekat pada umat Islam, diusahakan dua macam jalan: ke dalam dan ke luar. Ke dalam; Menyokong pikiran-pikiran kolot atau sekurang-kurangnya memberinya kesempatan yang penuh, dan menghalangi pikiran-pikiran modern. Ke luar; Mengenalkan dunia terpelajar akan gambar-gambaran jelek dari pada Islam itu, untuk menimbulkan perasaan segan pada Islam (Ahmad Fauzan (ed)Menjaga Martabat Islam Oleh Kiai Tebuireng, hlm. 69).
Maka, untuk menghadapi itu KH. Wahid Hasyim memiliki pandangan lebih terbuka dan modern. Barangkali strateginya ada sedikit perbedaan dengan kaum tradisionil pesantren. Ia lahir dari pesantren, bahkan putra pendiri NU.Antara lain iaa mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena itu ia kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren. Dalam strategi perjuangan ia banyak berpandangan terbuka. Ia bergaul dengan para kaum modernis di Indonesia.
Sikap ini melahirkan pandangan-pandangan yang lebih maju dalam melakukan strategi menghadapi penjajah. Mislanya, ia menyusun dua strategi gerakan melawan pengaruh pemikiran kolonial Belanda dengan dua lapis tingkatan. Pertama, tingkatan tenaga mobil, yaitu para pemimpin. Kedua, lapis tenaga massa. Untuk lapis pertama disalurkan melalui gerakan MIAI. Organisasi ini semacam thin thank nya. Penyusun strategi, dan yang mengamalkannya adalah tenaga lapis kedua. Di sini, Wahid Hasyim berhasil menyatukan berbagai ormas Islam yang menjadi kekuatan yang ditakuti Belanda.
Dengan demikian, pandangannya tidak dikotomis, juga tidak sekularis. Berdirinya sebuah negara merupakan tujuan agama. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sikap bijaksana, tasamuh dan menggunakan soft-power tanpa terjadi konflik. Karena itu dalam beberapa pandangan ia mengutamakan persatuan, baik persatuan antar muslimin, maupun persatuan bangsa (Muslim dan non-Muslim). Imenghindari sebuah komunitas masyarakat tanpa imam. Dan persatuan serta kesatuan dari sebuah negara yang akan lahir adalah dua hal yang tak dapat ditawar-tawar demi tercapainya kemerdakaan yang merupakan tujuan (maqashid) dari pada umat Islam.

Tulisan dimuat di Republika Islamia 15 Maret 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *