Harmonisasi Kerangka Berpikir Keagamaan dalam Konteks Kebangsaan

Oleh: Ainul Yaqin

(Sekretaris Umum MUI Jatim)

 

thInpasonline.com-Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI II di Gontor tahun 2006 diantaranya menghasilkan keputusan tentang perlunya harmonisasi kerangka berfikir keagamaan dalam konteks kebangsaan. Beberapa pokok pikiran dalam keputusan ini diantaranya dirumuskan sebagai berikut:

Ajaran Islam sebagai ajaran yang bersumber dari wahyu adalah suatu kebenaran mutlak yang mengandung tuntunan kebajikan yang bersifat universal dan meliputi seluruh aspek kehidupan.

Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama harus  dijadikan sebagai sumber inspirasi dan kaidah penuntun, sehingga tidak terjadi benturan antara kerangka berpikir keagamaan dan kerangka berpikir kebangsaan. (Keputusan Ijtima Ulama II tentang Masalah Asasiyah Wathaniyah).

Ijtima ulama II di Gontor ini juga menghasilkan keputusan yang menyatakan bahwa Pendirian NKRI adalah upaya final bangsa Indonesia untuk mendirikan Negara di wilayah ini. Wilayah NKRI dihuni oleh penduduk yang sebagian besar beragama Islam, maka umat Islam wajib memelihara keutuhan NKRI dan menjaga dari segala bentuk pengkhianatan terhadap kesepakatan dan upaya pemisahan diri (separatisme) oleh siapapun dengan alasan apa pun.

Selanjutnya pada Ijtima Ulama III di Padang Panjang tahun 2009, MUI kembali mengeluarkan keputusan tentang Masalah Asasiyah Wathaniyah untuk mempertegas rumusan di atas yang dirangkum dalam pokok-pokok pikiran tentang Implementasi Islam Rahmatan lil-Alamin dan Shalihun Likulli Zaman Wa Makan dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Dalam rumusan pokok-pokok pikiran tersebut diantara memuat ketentuan sebagai berikut:

Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara merupakan kesepakatan bangsa Indonesia, termasuk umat Islam Indonesia.

Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara merupakan ideologi terbuka. Dalam rangka mewujudkan amanat dasar Negara dan konstitusi maka agama harus dijadikan sumber hukum, sumber inspirasi, landasan berfikir, dan kaidah penuntun dalam system kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena Islam merupakan ajaran yang rahmatan lil alamin dan shalihun likulli zamanin wa makanin, maka ajaran Islam harus menjadi sumber dalam penataan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.

Forum ijtima ulama memang tidak diikuti oleh seluruh ulama di Indonesia. Namun untuk diketahui, ijtima ulama komisi fatwa MUI dihadiri oleh anggota komisi fatwa MUI pusat dan anggota komisi fatwa MUI daerah seluruh Indonesia. Selain itu juga dihadiri oleh perwakilan dari ormas Islam, pondok pesantren, para cendekiawan dan perwakilan perguruan tinggi. Karena itu, rumusan yang ada di atas cukup bisa dianggap mewakili keinginan mayoritas umat Islam di Indonesia.

Rumusan tersebut di atas menunjukkan adanya kepedulian sungguh-sungguh dari para ulama di Indonesia terhadap masa depan NKRI yang sekaligus menunjukkan sikap mereka menghadapi perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini. Ulama Indonesia disepanjang sejarah telah memperlihatkan kesetiaannya mengawal keberadaan NKRI, bahkan jauh sebelum kelahiran NKRI itu sendiri.

Sebuah catatan sejarah, Bahtsul masail yang diselenggarakan pada Muktamar NU ke 11 di Banjarmasin tanggal 9 Juni 1936 M bertepatan dengan tanggal 19 Rabiul Awwal 1355 H menghasilkan keputusan bahwa Indonesia menurut para ulama adalah Negara Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun telah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama Negara Islam tetap selamanya. (lihat Solusi Hukum Islam; Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU 1926 – 2004 M hal 187). Keputusan ini dibuat jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamirkan, menggambarkan sebuah cita-cita dan harapan para ulama ketika itu terhadap keberadaan negara yang akan terbentu di masa yang akan datang.

Cita-cita ideal itu di kemudian hari berhadapan pada berbagai kenyataan yang mengharuskan bersikap realistis. Menjelang kemerdekaan tepatnya tanggal 22 Juni 1945 sebuah tim kecil yang dibentuk oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berhasil membuat draft Preambule (pembukaan) UUD 1945 yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta.  Tim kecil ini dinamai dengan Panitia Sembilan, beranggotakan sembilan orang yaitu: Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wachid Hasyim, H. Agus Salim,  dan Mr. AA. Maramis.

Piagam Jakarta merupakan keputusan resmi karena dihasilkan oleh sebuah lembaga resmi, yaitu lembaga ad hoc yang dibentuk oleh BPUPKI. Piagam Jakarta juga merupakan keputusan bersifat kompromistis, karena dalam keanggotaan lembaga ini melibatkan unsur tokoh Nasionalis (Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo), unsur tokoh Islam (Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wachid Hasyim, H. Agus Salim), dan unsur non Islam (Mr. AA. Maramis). Dalam hal ini Soekarno menyatakan:

Panitia kecil penyelidik usul-usul  berkeyakinan bahwa inilah Preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokutirsu Zyumbi Tyoosakai.

Rumusan Piagam Jakarta ini setelah dibawa pada rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 memperoleh tanggapan yang berbeda-beda dari anggota BPUPKI. Pada rapat tersebut, baik di kalangan Islam maupun Kristen masih ada yang mempermasalahkan rumusan ini. Dari kelompok Islam masih ada yang menganggap rumusan ini kurang tajam mewakili Islam sebagai unsur mayoritas. Golongan Islam sebenarnya menuntut lebih dari itu, yakni negara berdasarkan syari’at Islam. Termasuk di sini kebanyakan para ulama yang tergabung dalam organisasi NU, karena sejak awal mereka berpandangan bahwa wilayah Indonsia adalah Darul Islam.

Di sisi lain di kalangan Kristen ada yang mempersoalkan keberadaan tujuh kata (dengan menjalankan kewajiban syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya). Latuharhary dari Maluku kendati tidak secara tegas mewakili unsur Kristen, menyatakan bahwa jika kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya diterapkan maka mereka harus meninggalkan hukum adat yang telah diterapkan selama ini, seperti di Minangkabau dan Maluku.  Ia mencontohkan pada hak pewarisan tanah di Maluku, jika syari’at Islam diterapkan anak yang tidak beragama Islam tidak mendapatkan warisan. Latuharhary mempertegas; “jadi kalimat semacaam ini dapat membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap adat istiadat”.

Menghadapi pro kontra terkait dengan Piagam Jakarta ini, para anggota panitia sembilan yang menyadari bahwa rumusan Piagam Jakarta telah mempertimbangkan aspek kompromistis, berusaha memberikan penjelasan kepada para peserta sidang BPUPKI. Haji Agus Salim yang berasal dari Minangkabau menyikapi pernyataan Latuharharay mencoba memberikan membantah dengan menyampaikan pernyataan bahwa bagi umat Islam kewajiban menjalankan syari’at berlaku kapanpun biarpun tidak ada Indonesia merdeka, biarpun tidak ada hukum dasar Indonesia.

KH Abdul Wachid Hasyim yang merupakan tokoh NU, menyikapi penolakan Latuharhary tersebut menyampaikan tanggapannya bahwa rumusan Piagam Jakarta tidak akan menimbulkan masalah seperti yang dikhawatirkan. Bahkan secara tegas  KH Abdul Wachid Hasyim menyatakan;

“Jika masih ada yang kurang puas karena seakan-akan masih terlalu tajam, saya katakan bahwa masih ada yang berfikir sebaliknya, sampai ada yang menanyakan kepada saya apakah dengan ketetapan yang demikian itu orang Islam sudah boleh berjuang menyeburkan jiwanya untuk negara yang kita dirikan ini”.

Rumusan Piagam Jakarta ini pun akhirnya disepakati sebagai rumusan Preambule (pembukaan) UUD 1945. Pada rapat-rapat BPUPKI berikutnya dibahas rumusan pasal demi pasal UUD 1945.  Pada rapat BPUPKI tanggal 13 Juli 1945 KH A Wachid Hasyim mengusulkan rumusan agar Presiden Indonesia adalah orang Indonesia Asli dan beragama Islam.  Usulan ini merupakan usulan beliau yang kemudian ditetapkan sebagai bagian dari draf naskah UUD 1945 yang disepakati.

Selain itu, KH Abdul Wahid Hasyim juga mengusulkan perubahan atas draf pasal 29 agar diubah menjadi “Agama Negara ialah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” Usulan KHA Wachid Hasyim ini didukung oleh Soekiman.  Tetapi, Haji Agus Salim memberi catatan bahwa usulan ini bisa mementahkan kesepakaatan yang telah dibuat antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Usul ini pun akhirnya kandas.

Masih berkaitan dengan sidang BPUPKI, pada sidang tanggal 15 Juli 1945 kembali muncul perdebatan panas. KH Masjkoer yang juga tokoh NU menyampaikan usulan pasal 28 yang menyatakan bahwa agama resmi bagi Republik Indonesia ialah agama Islam. Senada dengan itu, Ki Bagoes Hadikoesoemo tokoh Muhammadiyah juga menegaskan bahwa Islam mengandung idiologi negara, karena itu tidak bisa negara dipisahkan dari Islam.

Sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945 yakni pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, beberapa kalangan dari Kristen ternyata membuat strategi mengejutkan, disaat suasana yang genting ini mereka melakukan tekanan-tekanan dan ultimatum agar semua kesepakatan yang ada di rapat-rapat BPUPKI khususnya yang ada hubungannya dengan dasar negara dibatalkan, jika tidak mereka akan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentu ini merupakan cara-cara yang kurang elegan, yang dimunculkan saat kondisi genting, sementara disaat sebelumnya mereka ikut menyepakati. Namun demi keutuhan NKRI dan karena kecintaannya pada kemerdekaan yang telah diperjuangkan selama ratusan tahun, akhirnya para tokoh Islam menerima tekanan itu. Dari sinilah diperlihatkan kebesaran jiwa para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam. Mereka sedemikian legowo melepaskan sebagian idialisme yang sudah lama mereka cita-citakan. Mereka telah bersusah payah menempuh cara-cara kompromistis lewat BPUPKI, namun kemudian dimentahkan. Tapi mereka tidak patah arang. Maka dapat difahami bahwa keputusan ini merupakan hadiah terbesar umat Islam kepada bangsa Indonesia. Andai saja para pemimpin Islam ketika itu ngotot mempertahankan pendiriannya tentu kenyataan bisa berjalan lain. Dalam hal ini KH Saifuddin Zuhri berkomentar:

Dihapusnya 7 kata dalam Piagam Jakarta itu boleh dibilang tidak diributkan oleh Umat Islam demi memelihara persatuan dan demi ketahanan perjuangan dalam revolusi Bangsa Indonesia, althans untuk menjaga kekompakan seluruh potensi nasional mempertahan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang baru berusia 1 hari. Apakah ini bukan suatu toleransi terbesar dari Umat Islam Indonesia? Jika pada saat tanggal 18 Agustus 1945 yaitu tatkala UUD 1945 disahkan Umat Islam ngotot mempertahankan 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta, barangkali sejarah akan menjadi lain. Tetapi segalanya telah terjadi. Umat Islam hanya mengharapkan prospek-prospek di masa depan, semoga segalanya akan menjadi hikmah” (KH Saifuddin Zuhri, 1982; hal 51-52)

Setelah kemerdekaan, para ulama bersama para santri secara gigih berjuang mempertahankan eksistensi NKRI. Ketika pasukan Belanda dengan kedok NICA  datang kembali ke Indonesia memboceng tentara sekutu bulan Oktober 1945, tanggal 22 Oktober 1945 Kyai Haji Hasyim Asy’ari rais akbar PBNU menyerukan resolusi Jihad yang memuat tiga hal: (1) setiap Muslim tua muda, miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia; (2) pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak dianggap syuhada; dan (3) warga yang memihak kepada Belanda dianggap memecah belah kesatuan dan persatuan dan oleh karena itu harus dihukum mati.

Resolusi ini memicu pertempuran sengit 27-29 Oktober 1945. Pasukan Inggris akhirnya mengajak Presiden Soekarno berunding, maka ditandatangani perundingan 30 Oktober 1945. Namun karena panglima Sekutu Jederal Malabay tewas dan diganti Robert Mansion, sekutu mengacam dan meletuslah peristiwa 10 November 1945. Di sinilah dikenal tokoh Bung Tomo dengan seruan takbir “Allahu Akbar”.

Dalam perjalanan berikutnya sepak terjang para ulama bersama kaum santri dalam mengawal NKRI tidak diragukan. Ketika terjadi penghianatan PKI tahun 1948 dan tahun 1965, para Kyai dan kaum santri yang mengambil bagian di garda depan dalam menjaga NKRI. Bahkan merekalah yang menjadi sasaran pembantaian oleh PKI.  Itulah kesetiaan para ulama terhadap konsensus yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Dalam perjalanannya para ulama mempunyai rasa kekhawatiran terhadap upaya-upaya yang dilakukan sejumlah orang yang ingin mengubah konsensus yang telah disekapati yang diantaranya muncul dari kalangan yang ingin menggiring negara ini menjadi  sekular-liberal. Ada pihak yang berupaya mereduksi Pancasila dengan mengesampingkan eksistensi sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, padalah eksistensi sila pertama ini merupakan hasil kompormi dari pedebatan panjang para pendiri negara ini.

Beberapa fakta memperlihatkan adanya upaya liberalisasi dan sekularisasi ini. Sebagai contoh adanya amandemen sejumlah pasal UUD 1945 yang belakangan dinilai syarat dengaan muatan kepentingan liberalisme. Munculnya ayat (4) yang disisipkan pada pasal 33 yang menekankan adanya prinsip efisiensi ternyata belakangan baru terasa sebagai misi liberalisme ekonomi terselubung yang diinfiltrasi oleh kalangan penguasa modal.

Sistem ekonomi yang dibawa kearah liberal yang hanya menguntungkan segelintir orang saja, jelas-jelas mengkhianati cita-cita kemendekaan yang berpegang pada peri kemanusiaan dan peri keadilan yang kedua-duanya adalah bagian dari nilai luhur agama. Cita-cita kemerdekaan yang dijabarkan dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan terwujud dengan pemberlakukan ekonomi liberal. Para pendiri negara ini pun telah merumuskan konsep ekonomi kekeluargaan sebagaimana dijabarkan dalam pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Konsep kekeluargaan dalam ekonomi adalah konsep ekonomi yang berkeadilan.Tapi apa yang terjadi, ekonomi nasional hanya didominasi oleh segelintir orang dalam semua sektor, termasuk dalam hal penguasaan lahan.

Fakta liberalisasi dan sekularisasi yang lain, seperti adanya keinginan untuk mendesakkan berlakunya sistem politik sekular yang berkiblat pada negara-negara Barat antara lain diperlihatkan dari model demokrasi yang diberlakukan di negara ini, yaitu demokrasi yang menekankan pada jaminan hak dan kebebasan individu yang terlampau besar. Fenomena penolakan oleh sejumlah orang terhadap RUU Anti pornografi dan pornoakasi yang dianggap terlampau mengatur urusan privat. Kasus upaya Judisial Riview terhadap UU No. 1/PNPS/1956 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang menyebutkan peraturan ini diskriminatif dan bertentangan dengan HAM. Kemudian adanya upaya Judisial Riview terhadap pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang secara terselubung ingin mengkampanyekan perkawinan lintas agama. Lalu ada wacana penghapusan kolom agama dalam kartu identitas penduduk. Adanya wacana penghapusan pendidikan agama disekolah dengan alasan pendidikan agama menjadi biang masalah yang memicu radikalisme. Juga ada upaya-upaya untuk pelegalan terhadap LGBT, dan lain sebaginya.

Wacana dikotomi urusan privat versus urusan publik merupakan ciri khas dari sekularisme-liberalisme. Pandangan sekular secara konsisten menolak campurtangan negara untuk terlibat dalam pengaturan hal-hal yang menjadi urusan privat seperti masalah yang berhubungan dengan kesusilaan dan  agama.

Keinginan beberapa orang untuk menyeret negara ini menjadi negara sekular liberal akan mengkhianati  apa yang telah dirumuskan oleh para pendiri negara ini. Keputusan Ijtima Ulama MUI sebagaimana disampaikan di awal mengingatkan kembali kepada berbagai fihak bahwa sejak awal Negara Kesatuan Republik Indonesia telah disepakati tidak menjadi negara sekular dan liberal.

Menengok sejarah kelahiran NKRI memang tidak bisa dilepaskan dari perdebatan panjang seputar idiologi Negara. Seperti yang juga telah disinggung di awal, kalangan muslim jauh sebelum kemerdekaan mencita-citakan negara yang akan dibentuk adalah negara berdarsarkan syari’at Islam. Namun kemudian secara realitis umat Islam bersedian bersama komponen bangsa yang lain untuk menyepakati konsensus Pancasila, NKRI, dan UUD 1945 serta semboyan “bhinneke tunggal ika”. Kata Pancasila memang tidak secara eksplisit muncul, tetapi ke lima sila dalam Pancasila menjadi bagiana dari Pembukaan UUD 1945. Kemudian semboyan bhinneke tunggal ika ditulis dalam bagian lambang negara.

Idealisme umat Islam yang menginginkan bentuk negara berdasarkan syari’ah tidak bisa terpenuhi semua, namun dengan cara kompromitis terwadahi dalam spirit sila pertama dari  dasar negara yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ini kemudian dinyatakan menjiwai sila-sila yang lain. Secara eksplisit penegasannya dimuat dalam pasal 29 UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian negara Indonesia adalah negara yang berketuhanan, yang mengakui dan melidungi eksistensi agama yang dianut oleh warga negaranya.

Dengan rumusan di atas penyebutan bahwa negara Indonesia bukan negara agama kurang tepat. Makna bukan negara agama bisa ditafsirkan macam-macam. Penyebutan seperti ini akan sangat berpotensi dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu  yang ingin membawa negara ini menjadi negara sekular yang berkeinginan menyingkirkan peran agama di ranah publik, atau bahkan negara komunis yang ateis yang menolak eksistensi agama. Jalan tengah yang paling tepat untuk menyebut NKRI dengan sebutan yang konstitusional, bahwa NKRI adalah negara Pancasila dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa, serta rakyatnya adalah masyarakat beragama. Lebih dari itu umat Islam adalah warga negara mayoritas.

Dalam berbagai kesempatan kekuatan sekular masih saja berkeinginan untuk menghilangkan peran agama di ranah publik termasuk dalam rumusan-rumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Tuntutan pencabutan terhadap sejumlah peraturan di daerah yang biasa dilabeli dengan perda syari’ah misalnya menjadi isu yang santer diwacanakan. Muncul sejumlah komunitas yang menentang keras keberadaan perda-perda ataupun peraturan lain di daerah seperti peraturan gubernur dan peraturan bupati,  yang dituduhkan sebagai peraturan berbau syari’ah. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan peraturan berbau syari’ah,  ternyata adalah sejumlah peraturan  seperti larangan minhol, larangan perjudian, perintah mengenakan jilbab bagi karyawan muslimah dan sebagainya yang terbit di beberapa daerah.

Gejolak penolakan serupa juga terjadi pada saat pembahasan undang-undang jaminan produk halal, undang-undang zakat, undang-undang wakaf dan sebagainya. Undang-undang seperti ini juga disebut sebagai peraturan berbau syari’ah. Padahal sebenarnya sah saja merumuskan peraturan seperti ini selama proses perumusannya dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan. Hukum positif bisa dibuat dengan menyerap norma dan aturan yang diikuti masyarakat, termasuk norma agama. Tetapi dalam pandangan sekular dimasalahkan.

Sebagai implementasi negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam lingkup pemerintahan terdapat kementerian yang mengatur kehidupan beragama yang dipimpin oleh seorang menteri agama. Adanya kementerian agama mempertegas bahwa Indonesia bukan  negara sekular.  Relasi agama dan negara dipertemukan secara harmoni bukan dipertentangkan. Tugas pemerintah adalah menjamin dan melindungi  kemerdekaan tiap warga negara untuk dapat menjalankan agamanya, serta mengatur kehidupan bersama antar umat beragama agar tetap kondusif, rukun, tenteram dan damai, mencegah terjadinya benturan yang mencedarai kehidupan antar umat beragama seperti adanya praktik penghinaan dan penodaan agama.

Pemerintah juga berkewajiban mendorong agar tiap warga negara dapat menjalankan ajaran agamanya secara konsekuen. Dalam hal ini dapat diupayakan antara lain melalui kebijakan di bidang pendidikan. Secara normatif hal ini pun telah dirumuskan eksplisit dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengaskan bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hanya saja dalam implementasinya harus terus dilakukan dievaluasi untuk ditingkatkan.

 

Kesimpulan.

Harmonisasi kerangka berpikir keagamaan dalam konteks kebangsaan merupakan solusi yang telah dirumuskan dan menjadi kesepakatan pendiri bangsa ini dalam membangun relasi yang produktif antara agama dan negara. Keinginan sejumlah orang untuk membawa NKRI menjadi sekular  jelas mencederai itu, dan mengingkari kenyataan bahwa bangsa Indonesia bangsa yang beragama dengan umat Islam sebagai penduduk terbesarnya.

 

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *