Mengurai Masalah Kebangsaan dan Keislaman dalam Perspektif Worldview

Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Inpasonline.com-“Jangan kita atas nama kebangsaan mengorbankan akidah, namun jangan pula atas nama akidah kita menghorbankan kebangsaan kita. Akidah, agama dan kebangsaan harus dikelola secara baik”.
Pesan tersebut pernah disampaikan oleh Ketua Umum MUI, KH. Dr. Ma’ruf Amin, pada 17 Januari 2017, setahun yang lalu. Tausiyah tersebut jawaban untuk para ekstrim kebangsaan dan ekstrim keagamaan. Bahwa keislaman dan keindonesaan itu bisa bertemu. Islam dan Pancasila bisa akur. Tentu saja, agama sebagai dasar segala dasar. Buktinya, sila pertama bukan kebangsaan, tapi ketuhanan. Jadi pesan Kyai Ma’ruf berbunyi ….”agama dan kebangsaan harus dikelola dengan baik”, maksudnya begini, jangan adu domba antara agama dan kebangsaan. Karena agama itu pondasi membangun kebangsaan.
Meletakkan keislaman di atas kebangsaan adalah contoh perbuatan mengorbankan agama. Ini perbuatan ‘ekstrim kebangsaan’. Eskpresi kecintaan bangsa tidak harus diparadekan di tempat suci, masjidil Haram mislanya. Itu namanya berlebihan. Nasional – kebangsaan itu perkara yang ‘fana’, sedangkan memegang keislaman itu mutlak. Jangan mengalahkan mutlak atas ke’fana’an. Dulu Nusantara itu berbentuk kerajaan-kerajaan. Kemudian melebur satu menjadi republik. Apapun bentuknya, Muslim Nusantara tetap mencintai bangsanya. Tetapi mencintai keislamannya itu lebih tinggi. Inilah cara pandang Muslim yang tepat.
Paruh awal tahun 2018, isu keagamaan dan kebangsaan yang paling ramai adalah perdebatan LGBT dalam perspektif undang-undang Negara. RUKHP (Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana) khususnya pasal yang mengatur pernikahan, zina, dan hubungan sesama jenis masih alot digoal-kan di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Pasal yang didukung masyarakat beragama adalah tentang hubungan tanpa ikatan perkawinan dan hubungan sejenis merupakan tindak pidana.
Dari perspektif agama, isu ini sudah selesai. Bahwa itu jelas larangan. Persoalannya, argumentasi perspektif etika pun masih diperdebatkan sebagian masyarakat. Itu artinya, nilai-nilai keagamaan dan budi-etis belum auto meresap dalam kebangsaan kita. Harusnya itu tidak alot, tidak ramai, tapi mudah jika benar-benar elemen bangsa ini pancasilais-nasionalis. Ini satu contoh saja. Berarti ada sesuatu yang sakit. Sehingga memerlukan obat. Tetapi sebelum semua itu, harus ada diagnosa.
Sesuatu itu berjalan normal, jika elemen dasar dan besarnya normal. Elemen dan saham paling besar bangsa ini adalah umat Islam. Jadi, masalah kebangsaan perlu pertama-tama dilihat dari ranah wilayah keislaman terlebih dahulu. Jika dilihat dari pandangan imam al-Ghazali, memakai teori naqdu al-dzat (kritik diri). Melihat masalah besar dari diri itu pernah disampaikan pendiri NU, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang menyatakan Indonesia akan lemah jika intelektual Muslim lemah dan persatuan Indonesia, harus diasaskan terlebih dahulu oleh persatuan umat Muslim Indonesia (Samsul Ma’arif,Mutiara-Mutiara Dakwah KH. Hasyim Asy’ari, hal. 294).
Sepertinya diagnosa perspektif ‘mayoitas’ ini pernah juga dikemukanan oleh pendiri NU dalam kitabnya berjudul Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah. Pada pasal kedua ia menulis bahwa, dahulu kaum Muslim Jawa (maksudnya Nusantara) berada dalam satu madzhab fikih, madzhab akidah, dan satu madzhab tasawuf. Dalam bidang fikih mengikuti imam Syafi’i. Bidang akidah mengikut imam Asy’ari (Asy’ariyah) dan imam Maturidi (Maturidiyah). Sedangkan tasawuf Muslim Jawa mengikuti madzhab tasawuf nya imam al-Ghazali dan imam Abu Hasan al-Syadzili.
Pada tahun 1330 H masalah baru datang. Menurut Mbah Hasyim (panggilan akrab), ada kelompok-kelompok yang membawa pemikiran baru. Antara lain pemikiran Muhammad Abduh, kelompok Rafidhah, Ibahiyyun, aliran reinkarnasi, dan lain-lain. Dilema kaum Muslimin ini menjadi perenungan Prof. Al-Attas. Dalam kata sambutan pada International Conference on al-Ghazali’s Legacy: Its Contemporary Relevance yang diadakan pada 24-27 2001 di ISTAC, Prof. Al-Attas mengatakan kemunculan golongan modernis yang mencetuskan keruntuhan kewibawaan ulama dahulu menjadi tempat semaian subur bagi tumbuhnya berbagai golongan penyeleweng dan pelampau yang tidak bermodalkan ilmu.
Satu kasus bisa diambil sebagai permisalan. Pendatang baru, modernis, berjumpa tradisionalis (mayoritas) dalam arena dakwah. Persoalannya, pendatang baru itu kadang kurang pandai berinteraksi dengan mayoritas. Pendekatannya menampakkan perbedaan-perbedaan dengan mayoritas. Bukan persamaannya. Akhirnya, terjadilah debat-debat kecil. Tetapi, bisa menjadi besar bila sengaja dibesarkan. Apalagi jika ditaburi sedikit ‘bumbu-bumbu’ kompetisi dakwah. Arena dakwah bagai lapangan stadion. Adu kecepatan, adu mencetak goal. Adu pengaruh, dan adu memperbanyak panggung podium.
Di sinilah diperlukan kearifan. Memang siapapun tidak bisa dicegah membawa aliran pikiran baru. Tetapi, perlu ada kebijaksanaan. Mari belajar kearifan dari Abu Ya’la yang memiliki pandangan “perspektif mayoritas”. Ia seorang qodhi (hakim) alim bermadzhab Hanbali. Ia didatang sesorang untuk belajar madzhab Hanbali. Abu Ya’la menanyakan tentang madzhab negeri asal pelajar tersebut. “Penduduk negerimu semuanya mengikuti madzhab Syafi’i. Lalu kenapa kamu berpindah ke madzhab kami (madzhab Hanbali)?”. Pelajar tersebut menjawab: “Aku berpindah dari madzhab Syafi’ karena aku suka kepada engkau”.
Tetapi, Abu Ya’la merespon dengan bijak. “Ini tidak baik. Jika kamu hidup di negerimu dengan bermadzhab Hanbali, sedangkan seluruh penduduk negerimu bermadzhab Syafi’i, maka kamu tidak menemukan seseorang belajar bersamamu. Dan kamu akan berselisih dan menimbulkan perpecahan” (Al-Musawwadah fi Ushul Fiqh).
Ketika walisongo dan para muballigh sebelumnya, yang keturunan Arab itu, datang ke wilayah Nusantara, tidak langsung membawa semua perangkat ke-araban-nya dipasang dalam dirinya. Mereka berusaha menyatu dengan masyarakat yang masih dominan budaya hinduisme, budiisme, dan animisme. Bahkan ada yang menikahi pribumi asli. Sampai-sampai sorban imamah (kain yang mengikat kepala) direkonstruksi sedemikian rupa menjadi rupa blankon.
Salah satu kecerdikan para dai itu dianalisis oleh Prof. M. Naquib al-Attas yaitu mengambil bahasa Melayu sebagai bahasa dakwah. Bukan sekedar dipakai sebagai sarana. Namun, disusupi istilah-istilah kunci dari bahasa Arab-Islam. Tanpa terasa, pikiran penduduk Nusantara terislamkan melalui penggunaan istilah-istilah tersebut dalam kebahasaannya. Teorinya memang, bahasa akan mengesankan pandangan hidup manusia. Pendekatan melalui bahasa itu bagai ‘cuci otak’. Sehingga pun Jawa secara gradual menjadi Islam itu tanpa menyakiti dan melukai.
Bisa saja, para walisongo itu datang ke bumi Jawa dengan membawa al-Qur’an, lalu menyeru kepada penduduk Nusantara, hendaknya kalian tinggalkan kemusyrikan itu karena membawa kamu ke neraka. Bersaksilah Allah itu Tuhanmu, Muhammad Saw nabimu. Kembalilah kepada jalan kitab suci al-Qur’an. Pasti penduduk itu melawan, memberontak dan balik menyerang. Bukan mengikut, tetapi lari dari Islam itu. Bagaimana mungkin mereka ikut seruan itu, sedang mereka tidak tahu apa itu kafir, musyrik, neraka, Allah, siapa Muhammad, apa itu al-Qur’an.
Dalam problema kebangsaan dan keislaman seperti zaman kini, perlulah pendakwah-pendakwah tradisionalis tetapi yang bisa menjamah kaum “perkotaan”. Barangkali contoh yang sejauh ini tepat adalah sang ustadz fenomenal, Ustadz Abdus Shomad (UAS). Dengan kemampuan bacaan kaya turats dan ke-madzhaban, UAS merupakan tradisionalis tulen. Tetapi, kemampuan retorika nya menembus jamaah kaum “perkotaan”. Ia sosok unik di kalangan tradisionalis. Tetapi juga unik bagi masyarakat “perkotaan”, yang sebelumnya agak umum akrab dengan da’i kaum modernis. Hebatnya, bagi kaum modernis ia bukan problem. Kecuali bagi yang ekstrim.
Harus diakui bahwa masalah keislaman zaman dahulu berbeda dengan masalah keislaman zaman sekarang. Tetapi memutus jawaban-jawaban ulama lama adalah pintu kekeliruan. Karena, jawaban lama itu harus jadi bahan baku untuk diramu dengan masalah sekarang. Bahan baku dan rumus tidak boleh dibuang. Bila kita lempar, kita ada pekerjaan baru super berat. Menyusun bahan baku dan rumus. Bagi penulis, ilmuan tradisionalis yang mampu dan jeli meramu bahan baku lama dengan masalah modern adalah Prof. Syed M.Naquib al-Attas. Sumbangan penting beliau adalah menata cara pandang yang betul seorang Muslim terhadap realitas.
“Senantiasa ada sekelompok ummatku yang menampakkan atas kebenaran” (HR. Muslim). Hari ini Allah Swt masih memberi anugrah pertolongan. Di panggung tabligh umat dapat merujuk sosok seperti UAS. Di panggung akademika, umat bisa merujuk kepada Prof. Al-Attas. Sebuah fenomena keilmuan zaman kini yang bisa menjadi katalisator. Dua-duanya menampakkan kebenaran dengan cara, metode dan ‘panggung’nya masing-masing. Efeknya bisa top-down defence, pertahanan kaum ‘atas’ dan kaum ‘bawah’.
Jika problem-problem pemikiran itu dibaca dengan perspektif ilmu kalam, maka teori ilmu kalam imam al-Ghazali menarik. Argumentasi ilmu kalam itu bagaikan obat. Ulama mutakallim seperti dokter (Imam al-Ghazali,Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hal. 17). Obat, tentu ada dosisnya. Bila kurang dosis, maka pasien tidak sembuh. Dan jika over doses, penyakitnya makin parah. Tentu saja, yang memahami dosis itu adalah dokter.
Kalam bisa menjadi obat virus-virus penyakit pemikiran. Kadar virus yang menyerang kaum Muslim juga berbeda-beda. Maka, memberi obat kalam juga berbeda-beda. Mungkin sabda Nabi Saw yang menyatakan, berkatalah kepada mereka sesuai kadar akalnya. Kalam pada zaman sekarang diperlukan. Karena, penyakit pemikiran ada di sekitar kaum Muslim setiap harinya. Sehingga imam al-Ghazali berkata: “Inna izalata al-Syukuk fi ushul al-‘aqoid wajibah” (sesungguhnya menghilangkan keragu-raguan dalam perkara pokok-pokok keyakinan itu wajib. (Imam al-Ghazali,Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hal. 20). Penghilangan keraguan itu ada ilmunya. Ada dosis, ada kadar, dan sesuai dengan resep dokter, yaitu alim ulama.
Persoalannya sekarang, isu-isu furu’iyyah — jika dianggap keliru – diobati seperti obat isu ushuliyah. Jadi overdosis. Sakit flu, tetapi disuntik obat kanker. Di ruang lain juga ada yang salah obat. Sudah kena kanker, tetapi diberi sirup anti batuk. Tidak semua pasien kanker juga langung diberi obat sekaligus, tetapi pelan-pelan. Dibunuh satu persatu akarnya. Sekali bunuh tidak akan mampu, justru seluruh tubuh bisa kena dampaknya. Di sinilah harus ada kearifan. Arif itu tepat memberi obat serta menanganinya. Salah memberi obat dan dosis ini lah yang bisa menciptakan ketidakstabilan umat Islam di Indonesia.
Ada penyakit-penyakit itu adalah efek dan dampak dari suatu masalah yang besar. Prof. Al-Attas mencatat nya dengan jeli. Ia menulis: “Pada zaman ini pun, umat Islam berhadapan dengan cabaran (tantangan) yang serupa (seperti pada masa imam al-Ghazali), yang dicetuskan oleh falsafah dan sains Barat modern, termasuk teknologi dan ideologinya. Cabaran ini mengancam nilai, perilaku, pemikiran, kepercayaan dan cara hidup kita supaya kita berubah menurut kehendak pandangan alam sekular itu. Dalam hal ini, pengajaran serta obat penawar yang dirumuskan oleh al-Ghazali sangat berguna sebagai panduan kepada kita, meskipun masalah yang sedang dihadapi kita lebih teruk, meluas dan mendalam lagi mendesak” (pidato sambutan Prof. al-Attas pada International Conference on al-Ghazali’s Legacy Its Contemporary Relevance pada 24-27 September 2001).
Jadi, problem semua itu pada dan kembali kepada ilmu. Negara perlu memprioritaskan pada pembangunan dan pembinaan ilmu bangsa. Setiap peradaban bangsa bangkit dari ilmu terlebih dahulu. Artinya, ilmuan dan ulama nya harus dijaga serta fokus pada pembinaan ilmuan. Cara pandang muslim sebagai warga Negara harus tepat. Inilah namanya Islamic worldview. Ilmu diletakkan pada posisi tinggi. Keislaman di atas, kebangsaan di bawahnya. Mayoritas itu penentu. Minoritas harus tahu diri. Tapi mayoritas harus melindungi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *