Embracing The Worldview : Unity Through Diversity

oleh : Akhmad Hasan Saleh

A. PENDAHULUAN

Perkembangan dan keragamaan merupakan keniscayaan, karena suatu peradaban akan maju jika didalamnya terdapat keragaman sebagai suatu tantangan yang harus dihadapi. Bukan hanya perbedaan sebagai tantangan, namun juga sebagai sesuatu pendorong untuk berkembang. Keberagaman adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan masyarakat modern. Keterbatasan pemahaman terhadap keberagaman semakin terbuka dengan perkembangan teknologi, interaksi antar individu dan kelompok semakin berkembang, sehingga batasan budaya, agama, maupun etnis semakin semu. Keragaman menjadi suatu kebutuhan dalam menciptakan keharmonisan dan kesatuan dan ikatan yang kuat dalam suatu bangsa.

Perbedaan sebagai bentuk realitas sosial yang harus dihadapi oleh manusia sebagai bentuk keragaman hayati. Dalam interaksi sosial setiap individu akan berhadapan dengan perbedaan cara pandang, pola perilaku, standar hidup, hingga yang paling kompleks dan sistemik adalah perbedaan budaya, ras, suku, agama, bahasa bahkan kondisi geografis. Indonesia sebagai Negara yang besar dengan kekayaan keragaman hingga saat ini bertahan dengan cara pandangnya yang barat katakan adalah cara pandang “primitive”, karena perilaku masyarakat yang masih memegang kekerabatan, kebersamaan dalam kemajuan, memegang ajaran agama, teguh dalam aturan adat dan sebagainya. Tanpa disadari bahwa kata primitive menjadi cara pandang barat menilai sesuatu yang dianggap tidak mengikuti pola hidup (life style) barat. Sehingga, kemudian masyarakat memandang bahwa perubahan pada kemajuan harus mengikuti cara barat berfikir dan berperilaku. Jika hal itu terjadi, maka akan musnah keragaman yang dimiliki oleh masyarakat maupun bangsa. Sedangkan keanekaragaman merupakan pendorong persatuan dan kesatuan.

Maka sangat penting manusia memahami keberagaman dengan cara pandang (worldview) yang benar sesuai kaidah berfikir logis dalam konteks apapun, baik segi sosial, budaya, agama maupun ras. Tentunya worldview barat dan timur dalam hal ini Islam yang dimaksud memiliki perbedaan. Cara pandang saja berbeda, maka tidak bisa dipaksakan sama dalam memberikan nilai-nilai terhadap keragaman. Namun, kita bisa bersepakat bahwa keanekaragaman itu dapat dipersatukan dengan meletakkan pondasi-pondasi keTuhanan. Karena pada dasarnya manusia diciptakan ke dunia dengan satu tujuan, menjaga, merawat dan mengelola agar terjadi keseimbangan dalam kehidupan.  Sehingga pemahaman yang benar akan membawa pada keharmonisan dan kesatuan bangsa. “Embracing the Worldview: Unity Through Diversity” mengajak kita untuk menyadari bahwa perbedaan adalah kekuatan, bukan kelemahan. Maka kita akan menggali makna keberagaman, nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kebangsaan, serta bagaimana keberagaman dapat dipandang dalam bingkai Rahmatan Lil’alamin.

B. MAKNA KEBERAGAMAAN

Keberagaman berasal dari kata ragam yang menunjukkan berbagai macam, jenis, corak dan tingkah laku. Akar kata ragam dalam bahasa latin yaitu “dis (aside) – vertere (to turn), divertere (to turn in different directions) – diversus ((turned different ways) – diversitatem (contrariety, contradiction, disagreement; difference, diversity), Old French diversite (difference, diversity, unique feature, oddness; wickedness, perversity) – diversity (quality of being diverse, fact of difference between two or more things or kinds; variety, separateness; that in which two or more differ)”.

Pada abad pertengahan muncul istilah diversit, “variasi, keragaman;” kemudian dimaknai dengan, “kualitas menjadi beragam, fakta perbedaan antara dua atau lebih hal atau jenis; ragam; keterpisahan; yang di mana dua atau lebih hal berbeda,” sebagian besar dalam arti netral, dari bahasa Prancis Kuno divaritasi “perbedaan, keragaman, fitur unik, keanehan:” juga “kejahatan, penyimpangan” (Modern French diversité), dari Latin diversitatem (nominative diversitas) “kontrariety, kontradiksi, ketidaksepakatan;” juga, sebagai pengertian sekunder, “perbedaan, keragaman,” dari diversus “berbalik dengan cara yang berbeda” (dalam bahasa Latin Akhir “bermacam”), past participle dari divertere (lihat divert).

Arti negatif, “sesat, bertentangan dengan apa yang menyenangkan atau benar; konflik, perselisihan; perversity, evil” ada dalam bahasa Inggris. Keragaman sebagai kebajikan dalam suatu bangsa adalah gagasan dari kebangkitan demokrasi modern pada tahun 1790-an, di mana hal itu membuat satu faksi tidak menyombongkan semua kekuasaan (tetapi ini bukan pengertian modern, sebagai etnis. Fokus khusus (dalam arti positif) pada ras, jenis kelamin, dll., “inklusi dan visibilitas orang-orang dari identitas minoritas yang sebelumnya kurang terwakili” adalah pada tahun 1992.

Dalam Oxford English Dictionary, “keberagaman” didefinisikan sebagai “praktik atau kualitas memasukkan atau melibatkan orang-orang dari berbagai latar belakang sosial dan etnis yang berbeda dan jenis kelamin, orientasi seksual, dll.”

Definisi diversity menunjukkan adanya problem bahwa barat tidak memahami adanya keberagaman dalam kehidupan sebagaimana konflik yang selama ini terjadi dengan berbagai kepentingan individu dan kelompok. Konflik borjuis – proretal dengan perbudakannya menegasi adanya penolakan terhadap keragaman etnis, persekusi gerejawan romawi terhadap kaum intelektual yunani menunjukkan adanya penolakan terhadap keragaman cara pandang, Islamopobia di barat juga merupakan penolakan terhadap perbedaan agama, bahkan isu-isu gender yang menjadi diskursus dibarat menggambarkan penolakan terhadap kodrat penciptaan. Problematika itu semua bermula dari cara pandang (worldview) yang dikotomis sebagai ciri khas worldview barat.

Worldview di barat diartikan sebagai cara pandang sebatas pada empiric rasional semata yang membentuk deskripsi global dalam menafsirkan dunia dan berinteraksi dnegannya sebagai realitas sosial[1]. Menurut Ninian Smart dalam bukunya Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief[2] menyimpulkan bahwa Worldview didefinisikan sebagai Kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Sedangkan Thomas F Wall[3] memaknai worldview “An integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of existence (sistim kepercayaan dasar yang integral tentang diri kita, realitas, dan pengertian eksistensi).

Worldview barat pada zaman ini mendominasi segala aspek kehidupan. Peradaban barat adalah campuran dari peradaban Yunani kuno yang di kawinkan dengan peradaban Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa Eropah terutamanya Jerman, Inggeris dan Perancis. Prinsip-prinsip asas dalam Filsafat, seni, pendidikan dan pengetahuan diambil dari Yunani; prinsip-prinsip mengenai hukum dan ketatanegaraan diambil dari Romawi. Sementara agama Kristen yang berasal dari Asia Barat disesuaikan dengan budaya Barat[4]. Worldview barat banyak memunculkan kontradiksi dari zaman ke zaman yang dikenal dengan tesis dan antitesis, klasik, modern dan postmodern. Pemikiran klasik barat masih berkutat pada doktrin ortodoks, sedangkan pemikiran modern mulai memberikan antitesis terhadap pemikiran klasik, sehingga lahir aliran pemikiran sekularisme, rasionalisme, emperisisme, pragmatisme. Kemudian terjadi pergeseran pemikiran ketika para ilmuwan barat menamakan cara pandangnya sebagai aliran postmodernisme yang melahirkan aliran pemikiran nihilisme, anti otoritas, relativisme, pluralisme dan liberalisme. Sekian banyak pemikiran yang lahir dari barat tidak ada satupun konsep pemikiran yang bersandarkan pada ideologi keagamaan yang bersifat metafisik dengan tujuan ketauhidan atau ukhrowi.

Worldview barat yang sebatas pada emperik dan rasional menyebabkan pemahaman terhadap keberagaman sebatas pada kepentingan semata yang bersifat pragmatis, sehingga selama memberikan keuntungan dan kemanfaatan terhadap suatu kepentingan individu atau kelompok, maka eksistensi keberagaman tidak akan menjadi problem atau konflik. Namun worldview keberagaman yang pragmatis tidak akan pernah kekal. Karena akan menjadi duri dalam interaksi sosial, eksploitasi kepentingan politik dan kekuasaan, sebagaimana konflik-konflik yang telah terjadi di barat baik konflik ras, gender, etnis, geografis, dan agama.

Keberagaman juga diartikan sebagai kemajemukan yang mencakup berbagai perbedaan yang ada di masyarakat, baik dari segi budaya, etnis, agama, maupun pandangan hidup. Makna keberagaman lebih dalam dari sekadar variasi; ia melambangkan kekayaan pengalaman manusia yang harus dihargai dan dipahami. Menerima keberagaman berarti mengakui hak setiap individu untuk dihormati tanpa memandang latar belakang mereka[5]. Dalam konteks ini, keberagaman bukanlah penghalang, melainkan jembatan untuk meningkatkan saling pengertian dan toleransi antar individu. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang menghargai keberagaman cenderung memiliki tingkat konflik yang lebih rendah dan lebih mampu berkolaborasi dalam mencapai tujuan bersama.

C. BHINEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI WORLDVIEW KEBANGSAAN

Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu,” adalah semboyan yang mencerminkan semangat persatuan dalam keberagaman di Indonesia. Sebagai worldview kebangsaan, Bhinneka Tunggal Ika menekankan bahwa meskipun kita memiliki berbagai suku, budaya, dan agama, kita tetap satu bangsa dengan tujuan yang sama. Nilai-nilai ini sangat penting untuk membangun kohesi sosial dan mengurangi ketegangan antara kelompok. Dengan menginternalisasi prinsip Bhinneka Tunggal Ika, masyarakat dapat menciptakan rasa persaudaraan yang lebih dalam, di mana perbedaan dihargai sebagai bagian dari kekayaan bangsa[6].

Konteks keberagaman dalam worldview kebangsaan menjadi longgar salama tidak bertentangan dengan hokum-hukum Negara. Indonesia dengan keberagamannya, baik budaya, adat, ras, agama, suku, bahkan keanekaragaman hayatinya menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang kaya. Pemahaman kebangsaan dalam keberagaman berdasarkan pada kesatuan dan persatuan, gotong royong dan toleransi. Ada batasan-batasan yang diatur dalam toleransi terhadap keberagaman, selama tidak mengganggu akidah, prinsip-prinsip agama, suku, adat dan budaya maka akan tercipta persatuan dan kesatuan dalam keragaman bangsa Indonesia ini.

Namun terkadang sebagian manusia memaknai keberagaman dalam konteks kebangsaan menjadi terlampau bebas karena mengedepankan rasionalitas dan empiric, sehingga menerobos batas-batas yang telah ditetapkan agama. Dalam merawat persatuan kebangsaan tidak harus menerobos aturan-aturan agama, karena agama dan bangsa tidak dapat terpisahkan secara substansi. Agama menekankan pada cinta tanah air dan merawat kebangsaan. Sedangkan kebangsaan menjaga kerukunan antar umat beragama, agar terwujud persatuan dan kesatuan terajut dengan baik. Membangun toleransi tidak harus mengikuti kehendak sekuler dan liberal, namun agama dan bangsa bisa menjadi satu kesatuan dengan saling menjaga aturan-aturan yang berlaku baik secara hokum syariat maupun hokum Negara.

Sebab pemahaman sekuler yang dikotomis inilah menyebabkan pemisahan antara agama dan bangsa dalam memahami keberagaman. Dan pemahaman liberal yang menyebabkan kebebasan yang kebablasan dalam melaksanakan aturan-aturan agama dan bangsa. Sehingga terjadi kerancuan dalam berfikir.

Dengan kondisi keberagaman yang ada di Indonesia, membuat Indonesia sangat bergantung terhadap perilaku masyarakat yang dapat menjadikan perbedaan menjadi sebuah kekayaan bangsa atau memandangnya sebagai pemecah karena ketidaksamaan yang diinginkan[7]. Will Kymlicka dalam pandangannya menggambarkan “Akan sulit berada pada masyarakat yang dilandasi dengan keberagaman yang luas untuk tetap dalam persatuan. Kecuali masyarakat menanamkan sikap untuk saling menghargai dan toleransi serta ingin hidup disuatu negeri yang beragam bentuk keanggotaan budaya, suku, adat istiadat, agama dan lain-lain[8].

Memahami keberagaman tidak harus melepaskan aturan-aturan yang ada dalam agama dan bangsa. Selogan bhineka tunggal ika telah mengajarkan bahwa dalam keberagaman budaya, adat, suku, ras, etnis, agama dan bahasa, bahwa agama bukan suatu penghalang dalam menciptakan persatuan dan kesatuan dari keberagaman yang ada pada bangsa ini.

Merawat persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan dengan meletakkan dasar nilai-nilai dalam interaksi baik secara individu maupun kelompok. Para pemikir bangsa dan ulama’ telah membangun nilai-nilai dalam masyarakat yang beragam ini dengan sikap gotong royong, tepo seliro (saling menghormati), toleransi, bahkan aturan bersikap dengan tatakrama (sopan santun) yang tinggi.

D. KEBERAGAMAN DALAM BINGKAI RAHMATAN LIL’ALAMIN

Konsep Rahmatan Lil’alamin—rahmat bagi seluruh alam—merupakan landasan penting dalam memahami keberagaman. Dalam perspektif ini, setiap individu dianggap sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang harus dihargai dan dihormati. Keberagaman dalam bingkai Rahmatan Lil’alamin mengajak kita untuk bersikap inklusif dan empatik terhadap sesama. Prinsip ini menegaskan bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk hidup berdampingan secara harmonis, tetapi sebuah anugerah yang memperkaya kehidupan kita bersama. Dengan mengadopsi pandangan ini, kita dapat membangun masyarakat yang tidak hanya toleran, tetapi juga saling mendukung dalam mencapai tujuan bersama[9].

Wordview Islam dalam mempersepsikan keberagaman diintegrasikan dengan konsep ketauhidan sebagai dasar berfikir. Maka sebelum membahas lebih lanjut terkait pemahaman keberagaman dalam Islam, perlu dipahami makna worldview Islam. Menurut Hamid Fahmi Zarkasyi untuk mempermudah pengertian dalam konteks islam istilah bahasa inggrisnya menjadi The Worldview of Islam. Istilah worldview zaman modern menjadi populis untuk menggambarkan sebuah cara pandang, ideologi, peradaban dan kata worldview sudah banyak digunakan dikalangan ilmuwan.

Terlepas dari problematika istilah, asumsi dasar yang akan kita bahas secara singkat dalam tulisan ini adalah dasar-dasar dari worldview. Islam berdiri sebagai sebuah peradaban tersendiri dengan memproyeksikan al Qur’an sebagai dasar berfikir dan tolak ukur dalam bersikap (beramal) dengan kekayaan pandangan hidup dan berbagai konsep seminal (khususnya tentang ilmu pengetahuan).

Perlu dipahami bahwa di dunia terdiri berbagai peradaban, pada umumnya orang memahami peradaban melalui bukti-bukti fisik, sehingga peradaban dinisbatkan kepada bangunan, gedung, masjid, candi, prasasti dan sebagainya. Yang terlupakan dari kebanyakan orang adalah bahwa bangunan tak kan berwujud tanpa adanya pikiran, kepercayaan, agama, ideologi dan yang terpenting adalah ilmu pengetahuan yang memberikan diskursus terhadap fenomena dan suatu konsep sampai terwujud pada kemajuan fisik.

Alparslan Acikgence[10] sebagai ilmuwan muslim kontemporer memaknai worlview dalam bukunya The Framework for A history of Islamic Philosophy bahwa Asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup. Sejalan dengan makna yang diberikan oleh Prof. M. Naquib al Attas terhadap worldview, yaitu pandangan hidup Islam adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang menjelaskan tentang hakekat wujud.

Pemahaman tentang keragaman dalam islam dengan konsep rahmatan lil’alamin akan tepat ketika sudah memahami worldview dalam Islam. Tidak bisa memahami Islam dengan menggunakan worldview barat yang notabenenya sekuler dan liberal, karena sifatnya yang mendikotomi dan hanya akan menyebabkan distorsi makna keragaman. Bahkan rahmatan lil’alamin ketika dimaknai dengan pandangan sekuler dan liberal, akan terjadi pengkaburan makna rahmatan lil’alamin itu sendiri, artinya akan menghilangkan syari’at, sedangkan syari’at sebagai batasan dalam berfikir dan berperilaku. Pemahaman rahmatan lil alamiin yang salah dalam mempersepsikan, memaknai maka akan terjadi distorsi dan benturan dengan konsep-konsep lain dalam islam misalnya seruan amar makruf nahi munkar, orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan al Qur’an dan Hadis seakan-akan tidak rahmatan lil alamiin[11].

Sedangkan untuk memahami rahmatan lil’alamin harus merujuk pada pemahaman mufassir yang kredibel, tidak dapat memaknai rahmatan lil’alamin dengan worldview barat sebagai dasar berfikir. Sebagaimana faham liberalisme, sekularisme dan pluralisme memahami rahmatan lil’alamin. Apabila tidak sepakat dengan LGBT, Moderasi beragama, Gender dan komunis dianggap tidak rahmatan lil’alamiin. Karena dianggap tidak memberikan rahmat bagi manusia yang berfaham tersebut.[12]

Rahmatan lil’alamin sebagaimana firman Allah surat al-Anbiya ayat 107 “wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil’aalamiin”, Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Pemahaman tentang ayat ini, para mufassir sepakat bahwa ayat ini tertuju kepada Nabi Muhammad sebagai utusan pembawa risalah dan sifat Islam sebagai ajaran dan pendoman hidup yang dibawa oleh Rasululloh Saw.[13]

Merujuk pada surat al-Anbiya ayat 107 bahwa agama Islam yang dibawa Rasululloh diperuntukkan bagi umat manusia tidak terbatasi geografi, suku, bangsa, dan ras, bahkan agama ini juga diserukan untuk para jin. Dan Rasululloh pun diutus untuk memperbaiki kondisi umat yang tidak dibatasi pada umat muslim saja, tetapi kepada seluruh umat dizamannya dan zaman setelahnya.

Rahmatan lil ‘alamin menunjukkan adanya kepedulian untuk menjadikan umat selamat dari berbagai kerusakan dan kekacauan, dan berlaku secara universal dalam keberagaman makhluk ciptaan dengan berbagai adat, ras, suku, dan agama. Semua makhluk berhak mendapatkan ketenangan, kedamaian bahkan perlindungan dari Rasululloh selama patuh pada aturan-aturan Islam. Islam sendiri tidak melakukan penindasan terhadap manusia yang tidak mengikutinya. Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam menyatakan:” Kemenangan kaum Muslimin berarti kebebasan beragama (bagi non-Muslim), sesuatu yang telah berabad-abad mereka dambakan”.

Sejarah telah membuktikan Ketika pasukan Muslim dibawah pimpinan Abu Ubaidah mencapai lembah Jordan, pendukuk Kristen setempat menulis surat kepadanya. Isinya “kami lebih bersimpati kepada suadara daripada orang-orang Romawi, meskipun mereka seagama dengan kami… Pemerintah Islam lebih adil daripada pemerintah Byzantium”.

Pada waktu Umar memasuki Yerussalem ia menandatangai perjanjian. Diantara isinya:”…gereja tidak akan dirubah menjadi tempat kediaman, tidak akan dirusak, ….salib-salib atau harta mereka tidak akan diganggu…dan tidak seorangpun diantara mereka akan dianiaya”. Orang tidak pernah konflik dengan umat Kristen. Justru konflik antar sekte di di Gereja Holy Sepulchre, atau the Church of the Resurrection didamaikan orang Islam.

Abdul Aziz Marwan Gubernur Mesir memberi izin orang-orang Kristen pegawai istana untuk mendirikan gereja di Halwan. Di Andalus Islam, Kristen dan Yahudi hidup damai bertahun-tahun. Seorang specialist sastra Iberia di Universitas Yale, Maria Rosa Mencoal dalam karyanya berjudul The Ornament of the World (2003) berterus terang. Ia menulis “Toleransi merupakan aspek melekat pada masyarakat Andalus dan nasib non-Muslim lebih baik daripada dibawah Kristen Eropah”. Tapi berakhirnya kekuasaan Islam, berakhir pula toleransi itu.[14]

Artinya bahwa Islam benar-benar membawa pada persatuan dan kesatuan dalam keberagaman suku, budaya, adat, agama, etnis dan perbedaan yang lain. Wujud rahmatan lil’alamin menjadi realitas dalam kehidupan selama worldview yang dibangun tidak dengan kecurigaan dan prasangka serta statemen negative terhadap islam.

Islam tidak hanya sekedar menjaga dan merawat keberagaman suku, budaya, adat, agama, dan etnis, tetapi juga menjaga keragaman hayati yang lain seperti hewan, tumbuhan, lingkungan dan segala yang ada di alam semesta ini. Sebagaimana difirmankan dalam al Qur’an surat Ar Rum: 40-41, “Allahlah yang menciptakanmu, kemudian menganugerahkanmu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara mereka yang kamu persekutukan (dengan Allah) yang dapat berbuat sesuatu yang demikian itu? Mahasuci dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” Dan kerusakan atas keanekaragaman hayati ini pula disebabkan oleh tangan jahil manusia sebagaimana ayat selanjutnya “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Hal ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama yang logis menuntut manusia untuk saling menjaga alam semesta ini dengan cara pandang yang benar sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Alloh melalui rasulNya. Maka pandangan-pandangan yang bersumsi bahwa Islam adalah agama yang radikal tertolak dengan akal rasional yang sehat setelah mengetahui realitas sejarah dan kemampuan baca serta analisis yang bersih dan kuat terhadap fakta-fakta kehidupan yang telah ditunjukkan oleh Islam melalui pembawa risalah (Rasululloh). Wallahu a’lam bissawaf.

Catatan kaki : 

[1] Palmer, Gary B. Toward A Theory of Cultural Linguistics. University of Texas Press, 1996.114.

[2] Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, Charles Sribner’s sons, New York, 1-2

[3] Thomas F Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem,  A Modern Introduction, Wadsworth, Thomson Learning, Australia, 2001, 532.

[4] SMN, Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin,  ISTAC, 2000, hal. 164-165

[5] Putnam, R. D. E Pluribus Unum: Diversity and Community in the Twenty-first Century. Scandinavian Political Studies, 30(2), 2007. 137-174

[6] Morris, M. Unity in Diversity: The Challenge of Building a Cohesive Society. Journal of Social Issues, 70(4), 2014. 703-721.

[7] Gina Lestari, “Bhinneka Tungal Ika: Khasanah Multikultur Indonesia di tengah Kehidupan sara,” Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th 28, Nomor 1,Februari 2015. 34

[8] Ibid, 289

[9] Hamka. Islam dan Kebudayaan. PT. Pustaka Alvabet. 1997. 53.

[10] Alparslan Acikgence, “The Framework for A history of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civlization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6.)

[11] Ainul Yaqin, “Meluruskan Makna Islam Rahmatan Lil ‘alamin”, pada website https:// inpasonline.com/ meluruskan-makna-islam-rahmatan-lil-alamiin/, Jun 26, 2016

[12] Ainul Yaqin, Meluruskan Makna Islam Rahmatan lil’alamin,  https://inpasonline.com/meluruskan-makna-islam-rahmatan-lil-alamiin/

[13] Ibid.

[14] Margono Muhadi, “Rahmatan lil’alamin”,  https://insists.id/rahmatan-lil-alamin/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *