Oleh: Muhammad Ardiansyah
Belakangan ini, diskursus seputar ide pembaharuan (tajdid) kembali mencuat. Namun, di balik ide tajdid itu, sejumlah tokoh yang coba menggusur ilmu tafsir, menggugat syariat, bahkan menyuarakan pluralisme agama diusung sebagai mujaddid. Ini tentu saja masalah besar, bagaimana mungkin orang yang coba menghancurkan bangunan agama diberi gelar mujaddid?
Jika agama digambarkan seperti bangunan bersejarah, maka konsep tajdid yang benar adalah dengan mempertahankan esensi, simbol, dan kekhasan bangunan itu, lalu memperbaiki fasilitas lainnya yang bisa memudahkan akses menuju lokasi bangunan itu. Bukan malah merobohkan bangunannya, lalu menggantinya dengan bangunan baru, yang menghilangkan esensi dan ciri khasnya yang orisinil. Karena itu, pemahaman tentang konsep tajdid ini menjadi penting, agar umat Islam bisa membedakan antara pembaharu sejati dan orang yang coba membuat agama baru.
Sepanjang sejarah peradaban Islam, sudah banyak mujaddid yang muncul di setiap masa. Namun dalam tulisan kali ini saya hanya mengangkat tiga tokoh pembaharu (mujaddid). Mereka adalah Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204 H), Imam Abul Hasan al-Asy’ari (260-330 H) dan Imam Hujjatul Islam Abu Hamid, Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, al-Thusi (450-505 H). Pengakuan bahwa ketiga ulama ini adalah para mujaddid telah ditulis oleh para ulama sesudahnya dalam karya-karya mereka. (Lihat misalnya, Muatadha al-Zabidi, Ittihaf Sadat al-Muttaqin, Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, (Beirut:Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012), Juz I, hlm.35-37)
Pemilihan ketiga tokoh ini karena pemikiran mereka telah memberi pengaruh besar sepanjang sejarah peradaban Islam. Di masa kepemimpinan Nizham al-Mulk, pemikiran ketiga tokoh ini memainkan peran penting dalam membangkitkan semangat kaum Muslimin. (Lihat ‘Ali Muhammad al-Shallabi, Dinasti Bani Saljuk, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2007). Pemikiran mereka juga memberikan pengaruh besar di Nusantara. Banyak para ulama abad ke-17 dan 18 M seperti Syekh Abdus Shamad al-Falimbani, Syekh Arsyad al-Banjari dan ulama lainnya yang dalam masalah fiqh mengikuti madzhab Syafi’i, aqidah mengikuti madzhab Asy’ari dan tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali. Bahkan sampai saat ini kajian pemikiran ketiga tokoh pembaharu ini masih terus ramai dan belum selesai. Muslim atau non-Muslim, yang pro maupun yang kontra, merasa tertarik untuk membahasnya. Inilah bukti bahwa pemikiran ketiga tokoh ini masih tetap relevan dan tidak kadaluwarsa. Mari kita bahas satu per satu secara singkat.
Di abad ke-2 ada Imam Syafi’i yang tampil sebagai pembaharu. Imam Ahmad ibn Hanbal mengomentari hadits riwayat Abu Daud di atas dengan menyatakan bahwa “Mujaddid (pembaharu) di abad pertama adalah Umar ibn Abdil Aziz, dan di abad kedua adalah al-Syafi’i” (al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Kairo:Maktabat Dar al-Turats, tanpa tahun), Juz I, hlm. 55). Pembaharuan yang beliau lakukan salah satunya dengan merumuskan disiplin ilmu ushul al-fiqh dalam karya monumentalnya, al-Risalah.
Ilmu ushul al-fiqh adalah benteng untuk menjaga al-Qur’an dan Sunnah. Dengan ilmu ini, seseorang bisa membedakan mana ayat dan hadits yang bersifat qath’i, zhanni, umum (amm), khusus (khas), mutlaq, muqayyad dll. Dengan demikian dia tidak akan terjebak pada dua sikap ekstrem. Pertama, gegabah memvonis saudaranya yang Muslim dengan kata-kata sesat, ahli bid’ah bahkan syirik ketika terjadi perbedaan. Kedua, kebablasan toleran, dengan mendukung pernikahan lintas agama, hubungan sejenis atau ikut merayakan hari besar agama lain, padahal semua itu jelas penyimpangan.
Jasa besar Imam Syafi’i ini telah diakui oleh para ulama. Fakhruddin Al-Razi menyatakan bahwa “penyandaran Syafi’i kepada ilmu ushul al-fiqh sama halnya dengan penyandaran Aristoteles kepada ilmu logika dan penyandaran al-Khalil ibn Ahmad kepada ilmu ‘arudh. (Ahmad Nahrawi ‘Abdussalam, al-Imam al-Syafi’i fii Madzhabaihi al-Qadim wa al-Jadid, (Mesir:Dar al-Fikr, 1994), hlm. 52). Sementara Ibrahim al-Fayumi menyatakan “Jika silogisme Aristoteles bertujuan mengatur dan mensistematisasikan sebuah pemikiran, maka silogisme Imam Syafi’i bertujuan mengatur hubungan antara kekuatan akal dan teks. Sehingga teks-teks ketuhanan tidak dipahami secara bebas, tanpa kontrol, dan tanpa etika.” (Muhammad Ibrahim al-Fayumi, Imam Syafi’i Pelopor Fiqh dan Sastra, terj oleh Misbakhul Khaer, (Jakarta:Erlangga, 2009), hlm. vii-viii).
Dengan demikian, ilmu ushul al-fiqh ini adalah warisan keilmuan dan peradaban yang harus dijaga. Mengabaikan ilmu ini berarti membuka pintu masuk kehancuran peradaban Islam.
Mujaddid abad berikutnya adalah Imam Abul Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ari. Pendiri madzhab Asy’ariyah ini adalah keturunan dari sahabat yang mulia Abu Musa al-Asy’ari. Terhadap sahabat ini, Rasulullah SAW pernah bersabda “mereka (keluarga al-Asy’ari) bagian dariku, dan aku bagian dari mereka” (HR Bukhari). Sejarawan Muslim ternama, Ibn Khaldun mencatat sepak terjang Imam Ahlussunnah ini dalam membentengi umat Islam dari serangan berbagai aliran yang menyimpang. (‘Abdurrahman Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Kairo:Dar Ibn al-Jauzi, 2010), hlm. 394)
Meski pernah menjadi juru bicara kelompok Mu’tazilah selama 40 tahun, namun kemudian al-Asy’ari justru berbalik menjadi penentang utamanya. Setelah taubat dari paham Mu’tazilah yang kebabalasan menggunakan akal, al-Asy’ari lahir kembali dengan paham moderat yang memadukan antara akal dan wahyu. Untuk menebus kesalahannya, al-Asy’ari berani datang ke tempat lawan diskusinya untuk meluruskan kekeliruan mereka.
Madzhab yang dibangun oleh Imam al-Asyari ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama di dunia untuk menjawab berbagai tantangan yang datang dari kelompok menyimpang seperti Mu’tazilah, Jabariyah, Syiah dan kelompok lainnya di setiap masa. Begitu gigihnya para ulama Asy’ariyah membela Islam dari sekte-sekte menyimpang itu sampai membuat Syaikhul Islam Ibn Taimiyah memuji madzhab Asy’ariyah dengan sangat indah, “Para ulama adalah pembela cabang-cabang agama (anshar furu’ al-din), dan Asy’ariyah adalah pembela pokok-pokok agama (anshar ushul al-din). (Lihat Majmu’ al-Fatawa, Bab Man la’ana ahadan min al-muslimin, dikutip dari program al-Maktabat al-Syamilah).
Sedangkan di abad kelima tampil Imam al-Ghazali sebagai mujaddid yang terpilih secara aklamasi. Satu-satunya ulama yang dikenal dengan gelar Hujjatul Islam (pembela Islam). Ensiklopedia zamannya dengan berbagai karya monumental, dalam berbagai disiplin ilmu. Sepertinya, sosok dua mujaddid sebelumnya, Imam Syafi’i dan Imam Asy’ari, menyatu dalam dirinya.
Ulama yang diberi gelar “lautan yang menenggelamkan” (bahrun mughriq) oleh Imam al-Haramain ini adalah pemikir agung dan lokomotif peradaban yang hebat. Pengaruh pemikiran al-Ghazali tidak terbatas di dunia Islam saja. Dunia luar Islam pun merasakan pengaruhnya yang begitu besar. Sejumlah tokoh luar Islam seperti St. Thomas Aquinas, Dante Alighieri, Rene Descartes, Renan dan tokoh Barat lainnya juga ikut terpengaruh dan merasa berhutang budi dengan pemikiran al-Ghazali. (Lihat Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis al-Ghazali, (Jakarta:Riora Cipta, 2000) lihat juga (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, (Surabaya:Pustaka Progresif, 1997).
Dalam dunia Islam, al-Ghazali memainkan peran penting dalam membangkitkan peradaban Islam, khususnya pada masa perang Salib. Gerakan pembaharuan al-Ghazali pada masa itu telah dicatat dengan sangat komperhensif oleh Majid Irsan al-Kilani. Ada delapan langkah pembaharuan yang dilakukan al-Ghazali. Pertama, membangun generasi baru yang terdiri dari para ulama dan tenaga pengajar. Kedua, merumuskan metode dan strategi baru dalam pendidikan. Ketiga, menghidupkan gerakan amr ma’ruf dan nahi munkar. Keempat, mengkritik para pemimpin yang zhalim. Kelima, mengobati masyarakat dari penyakit materialisme (hubbud dunya). Keenam, menyerukan keadilan sosial. Ketujuh, memerangi aliran-aliran pemikiran yang menyimpang. Dan kedelapan, mereformasi bidang pemikiran. (Selengkapnya baca buku Majid Irsan al-Kilani, Hakadza Zhahara Jilu Shaahiddin wa Hakadza ‘Adat al-Quds, Mekkah:Maktabat Dar al-Istiqamah, 1999).
Inilah sosok mujaddid sejati. Ketiga ulama ini telah mengerahkan seluruh tenaga dan usahanya untuk menegakkan kembali bangunan peradaban Islam. Mereka telah mewakafkan dirinya untuk menjawab berbagai tantangan yang datang. Mereka dipilih sebagai juru bicara umat karena kedalaman ilmunya, kesalehan amalnya, dan kemuliaan akhlaknya. Jika pemikiran ketiga tokoh mujaddid ini disatukan, dan dikemas ulang dengan kondisi saat ini, in syaaAllah bangunan peradaban Islam saat ini akan tetap berdiri kokoh, meskipun banyak tantangan yang datang silih berganti.
Sebagai manusia, ketiga ulama pembaharu ini tentu saja tidak ma’shum. Mungkin terjadi kesalahan dalam pribadi atau pemikiran mereka. Sejak dulu sampai saat ini, dari kalangan ulama atau juhala sudah menyampaikan kritik kepada mereka. Sehingga tidak perlu diulangi lagi dalam tulisan yang kecil ini.
Yang perlu dicatat, jasa dan sumbangan mereka terhadap peradaban Islam terlalu besar dibanding dengam kesalahannya. Daripada sibuk membahas kekurangan mereka, lebih baik membicarakan jasa baik mereka, dan berusaha mengimplementasikannya di masa kini. Itulah adab. Dan Adab terdiri dari kearifan terhadap jasa-jasa dan bukan kesalahan, karena jasa-jasa itu menentukan tempat mereka dalam tingkatan hierarkis. (SMN Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj oleh Khalif Muammar dkk, cetakan kedua, (Bandung:PIMPIN, 2011), hlm. 142.
Oleh karena itu, beradablah kepada para ulama. Karena mereka adalah pelanjut estafet dakwah para Nabi (waratsat al-Anbiya’). Jangan gegabah melempar kritik sebelum memahami dengan baik pemikiran mereka. Dan jangan mencela mereka hanya bermodal dalil “katanya”. Sekali lagi, saya tegaskan, Jas Lama! Jangan sekali-kali mencela ulama.Cilodong, 2 September 2016.