Lihatlah ketimpangan itu! Mereka -para pemimpin itu- bicara berapi-api tentang hukum yang harus ditegakkan untuk menjamin rasa keadilan. Tapi, apa yang kemudian dirasakan rakyat? Lihatlah ‘balada sandal jepit’ di Palu!
Di pekan pertama Januari 2012 bisa kita ikuti berita bahwa lantaran dituduh mencuri sandal jepit bekas, AAL diadili di Pengadilan Negeri Palu. Siswa SMK kelas I itu didakwa mencuri sandal jepit butut milik seorang polisi. Jaksa mendakwanya dengan Pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman sekitar lima tahun.
Banyak pihak yang terkejut dengan kasus AAL yang berusia 15 tahun itu. Banyak yang menyesalkan kejadian itu dengan bersandar kepada kenyataan yang kerap terjadi bahwa koruptor kakap sering lolos dari jerat hukum, tapi pencuri kelas sandal jepit malah dengan mudah diadili. Maka, tak aneh, jika kasus ini juga menyita perhatian masyarakat internasional.
Ironi di atas bisa dijuduli ‘Hukum masih tebang pilih’. Hukum masih seperti sebilah pisau, yang hanya tajam ‘mengiris’ bagian yang di bawah (baca: rakyat kecil) dan tumpul saat berhadapan dengan yang di atas (baca: rakyat besar alias pemimpin atau pejabat).
Kecuali itu, mereka –para pemimpin kita- gemar berjanji untuk menyegerakan datangnya kesejahteraan yang merata. Namun, apa yang dihadapi rakyat sehari-hari? Lihatlah ‘kisah jembatan maut’ di Lebak!
Di pertengahan Januari 2012, banjir merusak sejumlah jembatan di Lebak – Banten, termasuk jembatan gantung di atas Sungai Ciberang di wilayah Desa Sangiangtanjung, Kecamatan Kalanganyar, Kabupaten Lebak. Tingkat kerusakannya tergolong berat.
Namun, karena masih dianggap sebagai pilihan paling cepat menuju tujuan, jembatan yang rusak parah itu tetap dilintasi warga, termasuk pelajar yang bersekolah di lokasi seberang sungai itu. Maka, di banyak media, tersebarlah foto-foto dramatis yang memerlihatkan bagaimana saat murid-murid meniti ‘sisa jembatan’ itu. Tangan mereka menggelayut pada sebuah pegangan, sementara kaki mereka berpijak pada sesuatu yang tak rata dan tampak rapuh. Di lain gambar, tampak juga mereka berjalan di atas kawat sling jembatan, yang jika itu putus maka entah akan bernasib seperti apa mereka. Sebab, di bawahnya, air Sungai Ciberang deras mengalir. Dan –sebagaimana ‘balada sandal jepit’- berita dan foto dari ‘kisah jembatan maut’ itu juga mendunia.
Publik heboh! Bahwa betapa jembatan gantung yang -kata sebagian orang- ala ‘Indiana Jones’ itu tetap dilintasi banyak warga, mulai dari anak-anak sekolah hingga nenek-nenek lanjut usia. Padahal, itu tindakan yang sangat berbahaya.
Adakah solusi? Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Lebak -Wawan Kuswanto- mengatakan, pemerintah daerah saat ini membangun jalan alternatif yang menghubungkan antardesa di wilayah itu dengan biaya sekitar Rp. 400 juta, seperti yang dikutip sebuah situs pada 23/01/2012.
Coba perhatikan angkanya, Rp. 400 juta. Bandingkanlah hal itu dengan biaya renovasi ruang Banggar DPR yang menelan Rp. 20 miliar. Dua keadaan itu sangat ironis, terutama karena terjadi pada waktu yang hampir bersamaan. Di satu sisi para pelajar mesti ‘berakobrat’ bertaruh nyawa dengan melintasi ‘jembatan maut’ untuk bersekolah. Di sisi lain, uang rakyat dihambur-hamburkan untuk sekadar mendongkrak fasilitas para ‘wakil rakyat’ di DPR. Bayangkan, untuk kursinya saja diimpor dari Jerman dan berharga Rp. 24 juta sebuah!
Untuk kali ke sekian, uang rakyat dalam jumlah besar digunakan tanpa prioritas, tanpa melihat kondisi di sekelilingnya. Maka, mencermati ini, terasa sekali tumpulnya empati dari rata-rata pemimpin atau pejabat kita.
Andai mereka punya empati, pasti mereka akan bekerja sesuai dengan skala prioritas. Misal, tentang urgensi renovasi ruang Banggar DPR itu. Berdasar laporan sebuah media, ruang Banggar yang lama ternyata masih sangat layak digunakan. Lalu, jika demikian, masih patutkah mereka disebut sebagai wakil rakyat?
Empati –rupanya- harus terus diasah oleh para pemimpin atau pejabat kita. Sebab, masalah ini –yaitu ketiadaan empati- telah berlangsung lama dan menyentuh berbagai ‘lapisan’ pemimpin. Misal, pada 2010, dikabarkan bahwa baru bekerja sekitar dua bulan, para menteri (plus sejumlah pejabat tinggi lain) mendapat fasilitas mobil dinas baru yang disebut-sebut berharga Rp. 1,3 miliar.
Saat itu, publik ramai menyoal. Intinya, publik ‘berteriak’ menolak praktik ketidakadilan yang kasat mata. Bukankah para pejabat itu baru bekerja? Bukankah mobil dinas yang lama masih bagus dan masih berfungsi dengan baik? Dan, bukankah mobil dinas yang baru itu berharga sangat mahal?
Menangkap Pesan
Sampai kapan berbagai ironi ini akan berakhir? Mana empati Anda, wahai para pemimpin? Baiklah, kita akui: negeri ini kaya-raya, tapi miskin pemimpin berkategori teladan.
Namun, sekalipun demikian, optimisme wajib kita kedepankan jika memang kita punya kesadaran untuk berubah. Syarat untuk itu relatif sederhana: para pemimpin harus belajar untuk malu jika tak bisa menyejahterakan rakyatnya. Para pemimpin harus belajar untuk malu jika berbuat salah, termasuk ketika mereka menciderai janji-janji manisnya terutama di masa-masa kampanye dulu.
Duhai para pemimpin, semoga kita bisa mengambil hikmah dari berbagai ‘tanda-tanda alam’ di sekitar kita. Dan, untuk kali ini, terutama pesan dari ‘kisah jembatan maut’ harus kita tangkap dengan cerdas. []