Ide Sekularisasi, Kecerobohan Intelektual Nurcholishh Madjid

Sejak JIL  (Jaringan Islam Liberal) melakukan penetrasi dalam pemikiran Islam di Indonesia, muncul istilah SePILIS (Sekularisme,  Pluralisme, dan Liberalisme). ‘Sekularisme’ atau ‘sekularisasi’ menjadi kata kunci pertama yang disebutkan. Artinya, sekularisasi menjadi prawacana sebelum pluralisme dan liberalisme menggelinding dalam jagat pemikiran Islam di tanah air. 

Lewat sebuah penelitian pada medio 1990-an yang berjudul Sekularisme dalam Polemik, Pardoyo mengemukakan tesis bahwa proses liberalisasi itu menyangkut proses lain seperti sekularisasi dan kebebasan berpikir.

Peletakan batu pertama pemikiran sekularisasi dilakukan oleh Nurcholish Madjid pada tahun 1970. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam. Bagi Nurcholish, gerakan pembaruan pemikiran Islam tidak bisa tidak, mesti dimulai dari menumbuhkan sikap liberal dalam menafsirkan ajaran Islam, karena itu diperlukan liberalisasi pandangan terhadap ajaran Islam. Gagasan semacam ini merupakan konsekuensi logis dari pemikiran tradisionalisme dan konservatisme Islam  yang menurut pendapatnya telah menimbulkan kejumudan berpikir, terutama pemikiran yang tidak relevan lagi terhadap realitas tantangan umat Islam di zaman modern.

Konsep sekularisasi yang dirumuskan Nurcholish Madjid adalah menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Bertolak dari ide yang dia klaim sebagai sekularisasi itu, Nurcholish berdalih bahwa Islam sebenarnya dimulai dengan proses sekularisasi dan tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran.

Ide ini mendapat kritikan tajam dari intelektual Muslim berkelas semacam Prof. HM. Rasjidi. Kritik Prof. HM. Rasjidi tersebut – meski benar dan ilmiah – namun tidak membuat Nurcholish mengubah apalagi mencabut idenya tersebut.

Meskipun demikian, kritikan tidak berhenti menggelinding. Tujuh tahun sesudah kematian lokomotif sekularisasi di tanah air tersebut, Prof. Dr. Faisal Ismail,MA, seorang doktor yang menghabiskan masa studinya di Islamic Studies di McGill University, Montreal, Kanada menulis sebuah buku berjudul Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu sekularisasi dalam Islam.

Buku ini menjadi salah satu kritik penting terhadap pemikiran Cak Nur – panggilan Nurcholish Madjid – di tengah beragam sanjungan serta pujian terhadapnya. Tidak banyak yang mau dan mampu  memosisikan diri sebagai pengkritik Cak Nur, apalagi pengkritik yang datang dari “pesantren”  McGill; sementara sanjungan dan pujian terhadap ide Cak Nur ditopang oleh media serta institusi yang memadai.

Dalam buku setebal 347 halaman ini Prof. Faisal banyak memberikan sanggahan dan kritikan ilmiah terhadap ide sekularisasi Cak Nur, yang dimulai dari ketidakilmiahan konsep sekularisasi Cak Nur, semantic confusion dan scientific confusion saat ide tersebut dikaitkan dengan ajaran Islam, sampai pada wacana hubungan negara dan agama yang menjadi pintu gerbang liberalisme.

Secara tegas dan bernas, Prof. Faisal mempertanyakan rujukan ilmiah konsep sekularisasi Cak Nur. Dengan membandingkan definisi ‘sekularisasi’ yang digulirkan oleh berbagai pakar, Prof. Faisal sampai pada kesimpulan bahwa konsep sekularisasi Cak Nur (menduniawikan masalah-masalah yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya) sangat tidak memadai, sangat lemah, dan tidak memiliki dasar rujukan ilmiah.

Menjadi lebih kontroversial lagi ketika Cak Nur menisbatkan ide sekularisasinya dengan ajaran Islam. Cak Nur secara gegabah mengatakan bahwa Islam sebenarnya dimulai dengan sekularisasi dan ajaran tauhid merupakan pangkal tolak proses sekularisasi secara besar-besaran. Sedangkan sekularisasi yang diperintahkan oleh Islam banyak sekali.

Struktur berpikir, cara berpikir, muatan pemikiran sekularisasi Cak Nur membawa kita mengawang ke pengembaraan yang jauh dan masuk ke dalam rimba semantic confusion (kerancuan semantik) dan mengarungi belantara scientific confusion (kerancuan ilmiah) dengan olahan dan racikan idenya yang dia klaim sebagai sekularisasi yang diperintahkan oleh Islam.

Semantic confusion dan scienific confusion yang termuat dalam ide Cak Nur dijabarkan oleh Prof. Faisal lewat dua pertanyaan. Pertama, manakah ayat al-Qur’an atau hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam yang secara jelas dan eksplisit menyatakan bahwa Islam itu dimulai dari proses sekularisasi dan tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran? Apakah nash al-Qur’an atau hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam yang Cak Nur gunakan sebagai dasar pemikirannya bahwa sekularisasi yang diperintahkan itu banyak sekali? Kedua, bagaimanakah bentuk serta contoh kongkret sekularisasi yang diperintahkan itu?

Seandainya Allah benar-benar memerintahkan kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan sekularisasi, tentunya Nabi, para sahabat, dan kaum Muslimin pada masa awal Islam (periode Mekkah dan Madinah) sudah melaksanakan sekularisasi, walaupun pelaksanaan sekularisasi masih bersifat atau bertaraf embrional. Tetapi, tidak ada satupun bukti-bukti empiris-historis-sosiologis yang mengindikasikan Nabi dan umatnya pada masa itu telah melaksanakan sekularisasi.

Suatu hal yang lebih prinsipil lagi adalah tidak ada satupun nash al-Qur’an dan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan umat Islam untuk melakukan sekularisasi. Yang selama ini umat Islam yakini adalah Islam dimulai dengan akidah-tauhid dan fondasi ajaran tauhid merupakan inti, jiwa, semangat, dasar, dan pangkal tolak Islamisasi.

Pemikiran dikotomis Cak Nur seputar hubungan negara dan agama bisa dikatakan menjadi pintu gerbang masuknya pemikiran liberalisme dalam ranah pemikiran Islam di tanah air. Cak Nur memiliki pandangan, ukhrawi dan duniawi berada pada dua dimensi yang berbeda yang jika disatukan akan menimbulkan distorsi. Pandangan semacam ini, tegas Prof. Faisal, merupakan kecerobohan intelektual seorang Nurcholish Madjid. Islam tidak pernah mendikotomikan antara dimensi ukhrawi dan duniawi. Keduanya bagai dua sisi mata uang, tidak dapat dipisahkan.

Iman yang berada dalam lubuk kesadaran batin kita yang terdalam pada kenyataannya dapat menjadi motor penggerak raksasa kaum Muslimin untuk beramal, baik amal individual maupun amal sosial-kemasyarakatan. Iman juga menjadi kekuatan rasional-kolektif yang dapat menggerakkan perjuangan dan perlawanan umat Islam mempertahankan tanah air dari agresi dan serangan musuh, melawan dan menghancurkan kolonialisme, merebut kemerdekaan dari kaum penjajah, mengisi kemerdekaan, memelihara, mempertahankan, dan mencintai tanah air.

Manifestasi iman dalam kehidupan bernegara bahkan telah melahirkan visi dan misi pendirian negara Islam, yang prototipenya telah ada pada masa Nabi di Madinah, hal yang Cak Nur anggap tidak lebih dari sekadar apologi umat Islam mensikapi kemajuan peradaban Barat.

Menurut Cak Nur, desakralisasi politik merupakan konsekuensi logis dari sekularisasi. Tentu saja, desakralisasi politik tidak bisa diterima karena bertentangan dengan pandangan hidup Islam, dimana agama sangat berperan dalam pemerintahan dan kepemimpinan. Kekuasaan politik didasarkan atas Kuasa ilahi (Divine Authority) dan kuasa suci Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang merefleksikan Kuasa Tuhan. Kuasa yang sama juga ada pada mereka yang meneladani dan mengikuti sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Desakralisasi juga menafikan peran ulama yang berwibawa dalam sistem pemerintahan. Padahal, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sudah mencontohkan dirinya sebagai pemimpin negara. Hal ini juga diikuti oleh para penggantinya, khulafa al-Rasyidin yang semuanya ‘alim dalam masalah agama.

Menceraikan Islam dari politik akan menghalangi penyebaran pandangan hidup Islam di dalam masyarakat. Agama hanya akan menjadi urusan pribadi, bukan publik.

 

 

*Peresensi adalah peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS)

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *