Oleh: Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Kasman Singodimedjo ”Selalu mengisi jiwanya dengan agama,” kata HAMKA. “Dalam menetapkan pendiriannya, senantiasa dia dipimpin oleh dua hal, ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan agama yang dianutnya – Islam,” tutur Deliar Noer.
Pemanggul Amanat
Dua kesaksian di atas ada di buku “Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun”. Buku setebal 594 halaman itu berisi riwayat hidup Kasman, testimoni sejumlah sahabat, dan naskah pidato-pidatonya.
Lewat buku tersebut, menarik mengikuti serangkaian fragmen dari tokoh yang lahir pada 25/02/1904 itu. Jejak kepejuangan Kasman sangat panjang. Mulai dari “Menjadi Ketua Jong Islamieten Bond” sampai “Menjadi Ketua PP Masyumi”. Mulai dari “Menjadi Prajurit Pembela Tanah Air” sampai ke pengalaman “Konfrontasi dengan PKI”. Mulai dari kejadian di seputar “Piagam Jakarta Diubah” sampai “Menagih Janji Gentlemen’s Agreement atau Piagam Jakarta”.
Bagian paling menarik dari buku itu adalah di soal Piagam Jakarta. Bahwa, Piagam Jakarta sebenarnya merupakan “Gentlemen’s Agreement” dari bangsa ini terkait rumusan Pembukaan UUD 1945. Piagam Jakarta telah diterima secara bulat pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan ditandatangani pada 22/06/1945.
Hanya saja, dalam perkembangannya, pada 18/08/1945 di sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ada yang memasalahkan dasar “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”. Konon, ada yang mengajukan keberatan, bahwa ‘Tujuh Kata’ yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dianggap potensial merusak keutuhan NKRI. Tentu saja, wakil Islam di PPKI menolaknya karena telah menjadi kesepakatan sebelumnya.
Merasakan bahwa situasi politik kala itu sedang membutuhkan keputusan yang cepat dan ditambah adanya janji untuk membuat UUD yang permanen pada kurun enam bulan berikutnya serta dengan mengakomodasi Islam sebagai dasar negara, Kasman ikut meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo –anggota PPKI- untuk mengalah sementara. Singkat cerita, Ki Bagus Hadikusumo lalu bisa menerima.
Ternyata, janji untuk membuat UUD yang permanen sebatas janji saja. Tentu saja, keadaan ini membuat Kasman merasa bersalah atas apa yang telah dikerjakannya dahulu. Kasman menyadari bahwa dirinya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memerbaiki kembali semua itu.
Seperti ingin menebus kesalahan pada peristiwa hilangnya ‘Tujuh Kata’, maka pada sidang Dewan Konstituante pada 02/12/1957, Kasman memanfaatkannya untuk menuntut dijadikannya Islam sebagai dasar negara. Berikut petikan pidatonya:
“Saudara Ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tentu itu ialah Dewan Kosntituante ini! Justru itulah yang menjadi way out dari pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung pada akhir pidato saya dalam pandangan umum babak pertama”.
“Saudara Ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan ke dalam muqaddimah dan Undang-undang Dasar 1945. Begitu ngotot Saudara Ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta tidak dapat mengatasinya sampai-sampai Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr. TM Hassan sebagai putera Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam Undang-undang Dasar, yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti”.
“Saudara Ketua, kini Juru Bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke Rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai wafatnya.
Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta dalam Dewan Konstituante ini untuk memasukkan materi Islam ke dalam UUD yang kita hadapi sekarang ini”
“Gentlemen’s agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan dari “janji’ yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. TM Hassan, Bung Karno, dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini”.
“Saudara Ketua, janji ini telah dengan resmi diucapkan oleh yang terhormat Saudara Soekarno, Kaichoo dari PPKI pada 18/08/1945”. ….
“Saudara Ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini. Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam dapat menuntut penunaian ‘janji’ tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof. Mr. Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof. Mr. Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!”
“Saudara Ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah di-fait-a-compli dengan suatu janji dan/atau harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan permanen, Saudara Ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante sekarang ini di-fait-a-compli lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh diganggu-gugat, sebab fait-a-compli semacam itu sekali ini, Saudara Ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”
Menyala Terus
Kasman telah wafat di Jakarta pada 25/10/1992. Tapi, pidato dia di Dewan Konstituante yang petikannya terbaca di atas sulit untuk kita lupakan. Pidato itu sangat berapi-api, sangat bersemangat, tegas menagih janji terkait ‘Gentlemen’s agreement’ berupa Piagam Jakarta. Sungguh, Kasman Singodimedjo kuat memerjuangkan agar Islam secara formal menjadi Dasar Negara ini. []