Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Pada tanggal 21 Desember 1983 Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Situbondo Jawa Timur memutuskan satu poin penting tentang Pancasila. “Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam”. Demikian salah satu keputusan Munas Alim Ulama NU tersebut.
Keputusan ini bersejarah. Sebelumnya di kalangan umat Islam, bahkan internal NU masih pro dan kontra tentang asas tunggal Pancasila. Beredar juga beragam pendapat tentang tafsir-tafsir sila-sila Pancasila. Maka, diperlukan keputusan tentang Pancasila oleh NU. Namun, alim ulama NU memutuskan poin di atas bukan tidak memiliki dasar. KH. Muhammad Isa Ansori berpendapat bahwa nilai ketuhanan menjadi asas filsafat Pancasila. Penjagaan Pancasila haruslah dengan cara mengaplikasikan sila pertama ke dalam sila-sila lainnya.
Penafsiran Pancasila yang diputuskan Munas NU tahun 1983 tersebut sesungguhnya pernah dikemukakan oleh Bung Hatta. Pada tanggal 18 Agustus 1945 menjelang siding PPKI untuk mengesahkan UUD ’45, Bung Hatta bertemu dengan beberapa pemimpin Islam. Dalam pertemuan itu, perwakilan Islam dapat menerima penghapusan “tujuh kata” yang tercantum dalam Piagam Jakarta, karena dua alasan yang diterima dan dikemukakan oleh Bung Hatta. Pertama, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam. Kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah Negara yang baru diproklamasikan sehari sebelumnya (M. Ali Haidar,Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik, hal. 339).
Selain itu, yang menjadi dasar keputusan Munas NU itu adalah Pembukaan UUD ’45 dan batang tubuhnya sebenarnya dijiwai oleh Piagam Jakarta. Buktinya, perubahan kalimat “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam pembukaan dan pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bukan sekedar artifisial belaka tanpa memiliki kesinambungan makna. Bahwa hal itu ditegaskan “menjiwai” dan “merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi”, merupakan kesinambungan makna.
Mendiang Jendral A. H. Nasution dalam sebuah pidato peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta 22 Juni 1963 di Jakarta mengatakan, bahwa rumusan dasar negara muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim dari berbagai alim ulama itu berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 29-30).
Mantan Rais Am PBNU, KH. Achmad Siddiq pernah menyatakan: “Kata ‘Yang Maha Esa’ pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata ‘Yang Maha Esa’ merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu mencerminkan pengertian tauhid menurut akidah Islamiyah. Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa”.
Tetapi aspek histori seperti tersebut di atas, tidak serta merta dianut oleh semua elemen bangsa Indonesia. Buktinya, sampai kini masih ada ‘perebutan’ makna dan ideologi Pancasila. Bagi aktivis Islam Liberal, Pancasila memang dapat dimaknai sebagai pintu masuk ide-ide sekularisme dan pluralisme. Sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa secara filosofis mengandung kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan di sini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu tidak terkait dengan campur tangan Negara (Moh. Shofan dalam Esai-Esai Pemikiran Moh.Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis, hlm.180).
Sila-sila Pancasila sebagaimana dimaknai seperti tersebut secara eksplisit melihat agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan Negara. Tugas Negara hanya memfasilitasi pemeluk agama dan memberi jaminan keamanan menjalankan agama. Jelas tampak bahwa pemikiran tersebut akan menggiring agama kepada ruang yang lebih sempit yaitu ruang privat, nilai-nilai agama boleh saja masuk ruang publik, namun dengan syarat nilai moral religi yang sudah menjadi kesepakatan umum.
Bagaimana dengan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang sekarang ramai dibincangkan? Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan sikap pernyataan kritis terhadap RUU tersebut. Karena tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor 25/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunis/marxisme-Leninisme.
Terkait dengan Pancasila RUU HIP tidak berdasarkan sejarah. Sebab mendistorsi makna dan nilai-nilai Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 dengan cara memeras Pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila yaitu ”Gotong Royong”. Alasan ada pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 tentang Pancasila itu juga tidak berdasar. Sebab Pancasila dalam pidato Bung Karno 1 Juni itu belum menjadi keputusan bersama. Bisa dikatakan belum ada Pancasila pada tanggal tersebut, hingga tanggal 22 Juni 1945. Pada pada tanggal tersebut ditetapkan Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta, hasil kesepakatan bersama antara berbagai elemen bangsa. Tanggal ini sesungguhnya hari bersejarah dari Pancasila itu.
Pancasila yang dikukuhkan pada tanggal tersebutlah yang menjadi lambang rekonsiliasi Nasional. Roeslan Abdulgani 1976, pernah mengatakan bahwa secara politis Pancasila merupakan lambang rekonsiliasi nasional. Meski begitu, kata dia kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa itu yang paling penting dalam nasionalisme.
Rumusan Pancasila sebagaiman tertera dalam Pembukaan UUD 1945 sebenarnya dinyatakan pemerintah, Orde Lama dan Orde Baru hingga Reformasi, sebagai satu-satunya rumusan yang baku dan resmi. Pada tanggal 13 April 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan SK No. 12 yang menyatakan rumusan resmi dan baku Pancasila seperti yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 (H. Faisal Ismail,Panorama Sejarah Islam dan Politik di Indonesia Sebuah Studi Komprehensif, hal. 68-69).
Dengan demikian, membangun negara Pancasila ini harus dengan menegakkan nilai-nilai ketuhanan. Yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan berdasarkan sekularisme apalagi ateisme. Ateisme ataupun kebebasan untuk tidak bertuhan jelas tidak ada tempat hukum di dalam Pancasila maupun UUD 1945.
Karena itu, penafsiran Pancasila harus berdasarkan sejarah. Bukan kepentingan politik atau ideologi asing tertentu. Penafsiran harus sesuai dengan pendiri bangsa yang sudah disepakati itu. Sila Pertama Pancasila tidak bisa didamaikan dengan ateisme. Akar-akar ateisme tidak ditemukan dalam jati diri bangsa Indonesia sejak dahulu. Ideologi ateisme yang dalam catatan sejarah dunia banyak dilumuri oleh kekerasan dan radikalisme ini merupakan kategori ideologi ”transnasional” yang berbahaya.
Dengan mengamalkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, diharapkan bangsa Indonesia dapat memelihara keimanan dan ketakwaan yang menjadi nilai penting pembentukan etika bangsa yang baik. Karena sumber etika itu dari Tuhan Yang Maha Esa. Aplikasi nilai ketuhanan ini yang mendasarkan pada hablun minallah (hubungan dengan Allah) berkonsekuensi logis harus menyambung hablum minannas (hubungan sosial dengan manusia), yakni membangun harmonitas sosial dengan sesama manusia sebagai keseimbangan hidup di dunia.
Tulisan telah diterbitkan harian Republika rubrik ISLAMIA, Kamis 18 Juni 2020