Oleh : Bambang Galih Setiawan

inpasonline.com – Isu anti Pancasila, Kebhinekaan, NKRI dan sebagainya, pada beberapa momentum sering digulirkan dan ditujukan lebih banyak kepada umat Islam. Di lain sisi, wacana anti Islam, komunis dan kapitalis juga dipasangkan kepada pihak lainnya yang dianggap bersebrangan dengan pendapat yang ada. Meskipun disadari sikap berlebihan dan mudah memvonis terkadang juga menghinggapi keduanya untuk tidak dapat bersikap adil sehingga kontra produktif dengan kemajuan negara.

Wacana anti Pancasila dan negara memang telah lama berlangsung di setiap masa. Hamka menyebutkan tentang hal ini sebelum dan sesudah masa kemerdekaan yang didapatkan di Indonesia. Beliau menjelaskan, bahwa bangsa Belanda menjajah negeri ini 350 tahun, beratus tahun lamanya itu diajarkan bahwa Islam berbahaya, Islam itu suka berontak melawan kekuasan yang ada, kalau tidak sesuai dengan Al Qur`an, niscaya akan ditentangnya.

Setelah merdeka, dan setelah Soekarno berkuasa kemudian disokong oleh kaum komunis, ajaran membenci dan memfitnah Islam itu lebih diaktifkan lagi. Ditekankan dalam doktrin komunis bahwa Islam itu kontra revolusi, subversif, kemudian digambarkan bawah Islam itu seperti Kartosoewiryo, Kahar Muzakkar, bahwa Islam itu anti Pancasila. Orang Islam hendak mendirikan Negara Islam dengan kekerasan, dan akan melakukan kudeta. Padahal hal tersebut tidak diterima oleh Hamka dan bersebrangan dengan sebagian besar tokoh Islam di Indonesia.

Ketika datang masa Orde Baru, Jenderal Nasution sendiri telah mengakui dalam beberapa kali pidatonya bahwa isu-isu anti Pancasila semacam itu di Zaman Orde Baru ini bukanlah tambah sepi, bahkan tambah seanter yang diarahkan pada Islam. Maka Hamka menambahkan dan menjawab:

“Meskipun telah kita jawab dan akan terus kita jawab bahwa kaum Muslimin tidaklah anti-Pancasila, seperti yang telah terpancang pada mukaddimah Undang-Undang Dasar 45, adalah hasil yang ditanda tangani oleh Sembilan pemimpin bangsa, termasuk lima diantaranya ulama-ulama dan pemimpin Islam, tetapi keterangan kita tersebut tidak juga akan dipedulikan orang. Meskipun kita kemukakan 1001 penjelasan lagi bahwa tidak mungkin orang Islam anti-Pancasila sebab kelima dasar itu sebagian dari ajaran Islam, kebencian yang telah masuk ke dalam bawah sadar (indoktrinasi) tidaklah mungkin dihilangkan. Ia akan memakan waktu bertahun-lama-.” (Hamka, Dari Hati ke Hati, Jakarta: Gema Insani, 2016, hlm. 230)

Menurut Hamka, tidaklah logis bahwa umat Islam yang mayoritas memperjuangkan kemerdekaan dan merumuskan dasar negara, namun dituduh anti NKRI dan Pancasila, padahal ialah yang paling berperan dalam menjaga dan membela negara. Stigma negatif itu sebenarnya lebih karena kebencian dan propaganda suatu oknum atau ideologi yang ingin mencoba memperpecah belah kesatuan dan menguji kesetian umat Islam pada negara.

Hamka mengutip pernyataan seorang ahli hukum Indonesia, Prof. Dr. Hazairin S.H, yang telah terkenal dan dalam pengetahuannya tentang hukum di Indonesia, bahwasanya Piagam Jakarta yang disebut Presiden Soekarno menjiwai keseluruhan Undang-Undang Dasar 1945, adalah sebab utama dan hukum yang kuat bagi timbulnya Proklamasi 17 Agustus 1945. Ia laksana suatu kontrak sosial dari wakil-wakil tiga golongan Indonesia pada 22 Juni 1945, yaitu golongan Nasionalis yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, Mohammad Yamin dan Soebardjo. Golongan Islam yang diwakili oleh Haji Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso dan Abdulkahar Muzakir. Serta golongan Kristen yang diwakili oleh A.A. Maramis. Yang kemudian membuka jalan diproklamasikannya kemerdekaan 54 hari setelahnya pada 17 Agustus 1945, dan salinan kalimatnya termuat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada Khutbah Iedul Fitri yang dibawakan oleh Hamka di Istana Negara 1 Syawal 1387 H atau 1 Januari 1968, beliau di hadapan para penguasa, pejabat dan berbagai elemen masyarakat dan pemerintah, pernah dengan tegas mengatakan pandangannya sebagai seorang muslim tentang dasar Negara.

Hamka menyampaikan bahwa Pancasila itu seperti bilangan angka 10.000, angka satu sebagai angka pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan keempat sila lainnya adalah angka nol yang menjelaskan bilangan puluhan berikutnya. Kalau angka satu ini dihapuskan atau dikaburkan, maka keempat angka nol di belakangnya pun akan menjadi kosong, tidak berharga dan tidak ada nilainya. Artinya keempat sila berikutnya tidak akan dapat berdiri kecuali karena adanya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pada dasar Negara, yaitu falsafah Pancasila yang menjadi konsensus para ulama, tokoh, dan mayoritas ummat Islam di Indonesia, ditentukan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Hal ini telah ditafsirkan dan disepakati bersama, bermakna keimanan atau ketauhidan kepada Allah Subhanuwata`ala. Ia merupakan jalan tengah atau hak konstitusi bagi umat Islam yang mewakili mayoritas rakyat Indonesia.

Hamka kemudian menekankan, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila pokok yang tidak bisa ditafsirkan lain, dan tidak bisa diletakkan secara sejajar atau lebih tinggi dari empat sila lainnya, sebagaimana yang dipropagandakan atau ingin ditafsirkan oleh sebagian kalangan yang berusaha memisahkan negara dengan agama Islam, dan ingin menghapus makna dan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pancasila atau “Allah” dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hamka menyebutkan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa merupakan konsekuensi logis dari keempat sila lainnya:

“Orang yang percaya kepada Tuhan pasti berperikemanusiaan. Orang yang percaya kepada Tuhan pasti mempertahankan persatuan Indonesia, pasti melakukan keadilan sosial, karena dia beriman kepada Tuhan. Sebab Persatuan Indonesia itu adalah janji kita sebagai bangsa yang sadar.” (Disampaikan HAMKA sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, pada pertemuan dengan Wanhankammas tanggal 25 Agustus 1976, dalam Yayasan Nurul Islam, Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, Jakarta: Slipi Baru, 1978, hlm. 275-276)

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah urat tunggang atau akar tujuan dari Pancasila dan bangsa Indonesia, sedangkan keempat sila lainnya adalah akibat dari sila pertama. Hamka misalnya menjelaskan, kemanusiaan adalah hasil yang timbul secara sadar dari keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan ia mengkritik berbagai teori tentang peri-kemanusiaan yang tidak dapat dijamin kejujurannya, selama tidak didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab kemanusiaan dalam pandangan ummat yang Berketuhanan Yang Maha Esa adalah ditentukan dari ketaqwaannya. Bukan karena kepentingan ras, suku, pangkat atau jabatannya.

Hamka kemudian berkesimpulan dan menyarankan bahwa Pancasila sebagai Falsafah Negara Indonesia, akan hidup dengan subur dan terjamin, jika sekiranya kaum Muslimin sungguh-sungguh memahami agamanya, sehingga ia menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh perbuatan hidupnya. Dan tidaklah ada menurut Hamka, suatu agama ataupun ideologi lain yang dapat menjamin kesuburan Pancasila di Indonesia, melainkan Islam.

Dikutip oleh Hamka apa yang pernah diucapkan oleh Bung Karno pada saat pertemuan Pegawai-pegawai Kementerian Penerangan pada tanggal 28 Maret 1952, “Pancasila itu telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, sejak lahirnya Sarikat Islam yang dipelopori oleh Almarhum H.O.S. Tjokroaminoto…” Hamka lalu menambahkan:

“Pantjasila telah lama dimiliki  oleh bangsa Indonesia, jaitu sedjak seruan Islam sampai ke Indonesia dan diterima oleh bangsa Indonesia. Kita tak usah kuatir Falsafat Pantjasila akan terganggu, selama urat tunggangnya masih tetap kita pupuk, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.” (Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, Djakarta: Pustaka Keluarga, 1951, hlm.14-15)

Awal mula dan pangkal perjuangan kemerdekaan Indonesia juga terletak pada satu sila pertama dalam Pancasila. Hamka menyebutkan, perjuangan kemerdekaan Indonesia ini dipelopori oleh manusia-manusia besar yang senantiasa berkeyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Tjik di Tiro, adalah orang-orang yang berjuang karena Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga membuat jiwa mereka hidup dan berkobar untuk berjuang bagi tanah airnya, sebagaimana terukir dalam sejarah. Bahkan Hamka menyinggung akan sosok kepahlawanan ini, hadir dalam setiap sendi umat Islam:

“Rakyat djelata tampil kemuka dengan bambu runtjing, begitupun Kijai-kijai serta santrinja tampil kemuka. Pondok dan surau berobah mendjadi markaz perdjuangan gerilja. Tidak ada perhitungan, hanya satu sadja, Ketuhanan Jang Maha Esa. Tjobalah tanjai kepada Bung Karno, kepada Bung Hatta, bukanlah hanya itu sadja modal jang ada dalam hati mereka diwaktu itu?”  (Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, Djakarta: Pustaka Keluarga, 1951, hlm.14-15)

Maka pesan penting Hamka, sosok ulama besar yang juga pernah terlibat dalam panggung sejarah dan jalan perpolitikan di Indonesia, sebagai anggota majelis konstituante –sebuah majelis yang berupaya merumuskan dasar-dasar negara pada masa awal kemerdekaan Indonesia- pada tahun 1957, bahwa perhatian dan keterlibatan para ulama atau tokoh agama, tidak boleh terlepas dalam memandang permasalahan negara. Mereka harus tetap aktif dalam ber`amar ma`ruf nahi mungkar kepada siapa saja, khususnya kepada masyarakat dan pemerintah. Adapun Pancasila merupakan dasar negara yang sudah disepakati dan harus dijaga bersama. Golongan yang hendak membuat fitnah dan penafsiran untuk memisahkan dan membenturkan Islam dan Pancasila, hal itu tidak lebih karena ketidak mampuannya sendiri untuk menjalankan Pancasila, sehingga melemparkan kelemahannya tersebut kepada umat Islam yang telah terbukti lebih mampu menghidupkan Pancasila sebagaimana dalam kepribadian dan sejarah panjang umat Islam di Indonesia. Hamka menegaskan:

“Karena itu di masa orde baru sekarang ini, kita mubaligh-mubaligh, imam-imam, khatib apalagi ulama wajib memperbarui jiwa kita. Kita wajib aktif menegakkan agama dalam negeri ini. Kita tidak akan mengganggu Pancasila, dan Pancasila tidak perlu diganggu. Kalau ini saja pun benar-benar di jalankan, tidak sedikit kemenangan Islam dalam negeri ini. Bahkan, boleh dikatakan bahwa kita difitnah hendak merombak Pancasila ialah karena yang memfitnah itu sendiri tidak berani menjalankan Pancasila dengan sungguh-sungguh.” (Hamka, Dari Hati ke Hati, Jakarta: Gema Insani, 2016, hlm. 231)

Nunukan, 26 Maret 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *