Pancasila Menurut Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo

Oleh: Suidat

20110120102346monumenpancasilasaktiInpasonline.com-Bulan Juni 2017 ini Pemerintah RI mengeluarkan Perpres nomor 54/2017 tentang pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi pancasila (UKP PIP). Sejumlah nama terkenal diangkat menjadi mengarah dan pelaksana UKP-PIP. Berbagai wacana tentang Pancasila kembali mengemuka.

Tetapi, bagaimana sebenarnya dan mendudukkan Pancasila ? berikut ini disajikan pemikiran dan pandangan dua tokoh nasional yang di dalam sejarahnya tercatat turut serta dalam perumusan dasar negara Indonesia. Kedua tokoh tersebut adalah Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo.

Ki Bagus adalah tokoh Islam Indonesia yang berperan besar bahkan bisa dikatakan tokoh kunci dalam mencari jalan keluar dari kebuntuan dan perdebatan yang cukup alot atas perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila yang paling menyedot perhatian dan menjadi perdebatan dikalangan tokoh-tokoh pendiri negeri menjelang dan pasca kemerdekaan, khususnya dari kelompok nasionalis-sekular, kelompok Kristen, dan Islam. Mengapa demikian? Sebab di dalam sila itu mengandung prinsip yang paling pokok yaitu tentang konsep Ketuhanan dan hal-hal yang berhubungan dengan agama.

Dalam sidang BPUPKI ada beberapa rumusan dasar negara yang disampaikan oleh beberapa tokoh nasional. Yang tercatat dalam Risalah Sidang hanya rumusan Muhammad Yamin, Soepomo, dan Sukarno. Sementara Ki Bagus Hadikusumo yang berasal dari kelompok Islam secara tegas mengusulkan agar yang menjadi dasar negara adalah Islam.

Dalam Pidatonya Ki Bagus menyampaikan: “Jika tuan-tuan bersungguh-sungguh menghendaki negara Indonesia mempunyai rakyat yang kuat bersatu padu berdasar persaudaraan yang erat dan kekeluargaan serta gotong royong, didirikanlah negara kita ini di atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan al-Hadits seperti yang sudah saya terangkan tadi”. Ki Bagus menekankan lagi, “bangunlah negara kita ini dengan bersendi agama Islam yang mengandung hikmah dan kebenaran’. (Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI): 1998).

Dengan penuh semangat dan keteguhannya, Ki Bagus menyampaikan bahwa Islam merupakan agama bagi mayoritas bangsa Indonesia, bahkan hukum Islam sudah hidup dan berlaku di Indonesia sebelum Belanda datang menjajahnya. Sehingga banyak sekali hukum Islam yang kemudian menjadi adat istiadat bangsa Indonesia. Oleh karena itu menurut Ki Bagus untuk menyesuaikan dasar negara Indonesia dengan jiwa rakyatnya, maka para perumus dasar negara harus mengetahui betul-betul adanya jiwa ke-Islaman rakyat.

Ki Bagus menegaskan:“Selamilah jiwa rakyat sedalam-dalamnya untuk menjadi dasarnya tata negara kita. Supaya negara kita dapat menjadi negara yang kuat dan sentosa.Demikian usulan Ki Bagus tentang dasar negara.

Sementara usulan dasar negara yang disampaikan Muhammad Yamin pada 29 Mei 1945 adalah: 1). Peri-Kebangsaan, 2). Peri-Kemanusiaan, 3). Peri-Ketuhanan, 4). Peri-Kerakyatan, 5). Kesejahteraan rakyat. Rumusan dasar negara menurut Soepomo dapat disarikan sebagai berikut: 1). Persatuan, 2). Kekeluargaan, 3). Keseimbangan lahir bathin, 4). Musyawarah, 5). Keadilan rakyat.

Pada tanggal 1 Juni 1945, giliran Soekarno menyampaikan pandangannya tentang dasar negara. Menurut Soekarno untuk menuju Indonesia merdeka harus memiliki dasar. Dasar inilah yang disebut oleh Sukarno sebagai Philosofische grondslag.

Soekarno pun mengemukakan lima prinsip dasar sebagai philosofische grondslag,yaitu: 1). Kebangsaan Indonesia, 2). Internasionalisme, atau perikemanusiaan, 3). Mufakat, atau demokrasi, 4. Kesejahteraan sosial, 5). Ketuhanan. Soekarno menamakan lima asas ini adalah Pancasila. Di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi. (dalam Soekarno, Tudjuh Bahan Pokok Indoktrinasi: 1961)

Kalau melihat rumusan dasar negara yang ada, hanya Yamin dan Sukarno yang mencantumkan tentang Ketuhanan. Yamin meletakkannya pada bagian ketiga dengan sebutan Peri-Ketuhanan. Sukarno menempatkannya pada bagian kelima yaitu Ketuhanan. Sementara Soepomo tidak menyebut istilah Ketuhanan dalam rumusannya.Hal itu menjadi faktor pembeda dengan Pancasila saat ini, yang meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa berada pada sila pertama. Padahal prinsip Ketuhanan adalah bagian yang paling penting. Menurut Kasman Singodimedjo, Ketuhanan itu sebagai sokoguru atas sila-sila yang lain.

Selanjutnya dalam rangka menggali lebih dalam lagi mengenai dasar negara, pada 22 Juni 1945 Panitia Sembilan sebagai bentukan BPUPKI berhasil merumuskannya, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (The Jakarta Charter). Dasar negara yang tertuang dalam Piagam Jakarta disebutkan:

(1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Yang menciri-khaskan Piagam Jakarta ini terletak pada kalimat Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kalimat inilah yang kemudian menjadi polemik dan ditolak oleh kalangan Kristen. Mereka menyebut hal itu adalah bentuk diskriminasi terhadap  mereka yang minoritas. Padahal dalam laporannya di sidang BPUPKI Sukarno mengatakan bahwa hal itu merupakan hasil kompromis antara dua pihak (nasionalis-sekular dan nasionalis-religius) yang didasarkan atas memberi dan mengambil (geven dan nemen).

Sejak saat itu Piagam Jakarta disepakati sebagai dasar negara Indonesia. Namun pada tanggal 18 Agustus 1945, sebelum digelar sidang PPKI terjadi perubahan mendasar pada bagian pertama Piagam Jakarta. Tujuh kata yang ada telah hilang dan berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengapa bisa terjadi ?

Berdasarkan informasi yang diterima Mohammad Hatta bahwa  ia mendapat berita dari opsir Kaigun ( Angkatan Laut Jepang) yang menyampaikan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di wilayah Indonesia yang dikuasai Angkatan Laut Jepang keberatan terhadap kalimat tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Mereka (wakil-wakil Kristen dan Katolik) mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Jika kalimat yang diskriminatif itu tetap ada dalam Piagam Jakarta, dikatakan bahwa mereka lebih suka (memilih) berada di luar Republik Indonesia (Mohammad Hatta, Sekitar Peroklamasi: 1969).

Karena hal itu sangat serius, maka sebelum sidang Panitia Persiapan dimulai, Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Muhammad Hasan untuk mengadakan rapat pendahuluan untuk membahas hal itu. Untuk menjaga agar tidak terjadi perpecahan, akhirnya disepakati oleh kelima tokoh itu dengan mengganti kalimat yang menurut Hatta menusuk hati kaum Kristen itu, dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Semula lobbying itu mengalami kegagalan, karena Ki Bagus tetap berpendirian menolak usul perubahan itu. Melihat kemacetan itu Kasman atas kehendak sendiri menemui Ki Bagus dan meminta agar beliau bersedia berunding. Kasman menjelaskan bahwa situasi telah gawat, karena itu perlu negara terbentuk Undang-Undang Dasar serta berdirinya negara Republik Indonesia merdeka. Setelah enam bulan nanti Majelis Permusyawaratan akan bersidang membentuk Undang-Undang Dasar yang baru, sebagaimana yang dikatakan Sukarno dalam sidang BPUPKI.Pada akhirnya Ki Bagus bersedia menerima tidak dimuatnya kalimat “. . . dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebaliknya Hatta dan Teuku Muhammad Hasan bersedia pula memenuhi usul Ki Bagus, yaitu Ketuhanan ditambah dengan Yang Maha Esa, yang waktu itu Ki Bagus sendiri menyatakan bahwa arti Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid.(Suhatno, Ki Bagus Hadikusumo, Hasil Karya dan Pengabdiannya: 1982/1983)

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Tauhid. Tauhid berbeda dengan monoteisme, dan monoteisme bukanlah tauhid. Inilah peran besar Ki Bagus dalam mencari jalan keluar dari persoalan ideologi.

 

Kasman Singodimedjo

Kasman Singodimedjo adalah juga dikenal sebagai salah satu tokoh Islam yang turut andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kasman memang tidak masuk dalam keanggotaan BPUPKI, dan baru masuk dalam diskusi-diskusi mengenai dasar negara pada rapat-rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sejak 18 Agustus 1945.

Setelah tujuh kata dalam Piagam Jakarta diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian disepakati menjadi Pancasila, ada dari tokoh-tokoh Islam dalam memaknakan Pancasila. Di antaranya adalah Kasman Singodimedjo.

Menurut Kasman Pancasila yang berisi lima sila itu terdapat juga dalam ajaran Islam. Oleh karena itu umat Islam dapat atau harus menyetujui kelima sila itu sebagai falsafah negara Republik Indonesia. Akan tetapi bagi Kasman bila ada dari umat Islam yang beranggapan bahwa Islam lebih sempurna dari pada Pancasila, hal itu tidak boleh dianggap salah oleh siapapun. Justru akan salah apabila umat Islam menganggap Pancasila itu melebihi (dalam bahasa Kasman: berlebih-lebihan) dari Islam. Karena Islam itu “didekritkan” oleh Allah S.W.T. sebagai satu-satunya agama yang diridhai-Nya, sesuai dengan QS. Al-Maidah ayat 3.

Bagi Kasman Islam itu serba sila, yang berisikan sila-sila yang jumlahnya tidak terhitung dan lebih banyak dari Pancasila. Tetapi lima sila dari Pancasila itu juga termasuk di dalam serba silanya Islam.

Menurut Kasman bahwa Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila, maka hal itu adalah baik, pun baik sekali untuk/bagi Pancasila itu sendiri dan pasti tidak dilarang oleh Pancasila. Bahkan menguntungkan Pancasila, karena Pancasila dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa seorang muslim sejati otomatis adalah Pancasilais, sedangkan Pancasilais tidaklah dan belum tentu muslim.( Kasman Singodimedjo:Renungandari Tahanan: 1967

Bagi umat Islam teruslah berusaha menjadi muslim yang baik, mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Ajaran Islam harus menjadi pedoman amal (pedoman hidup). Kalau ajaran Islam itu dapat diamalkan,dalam konteks berbangsa dan bernegara otomatis sudah menjadi seorang yang Pancasilais.

Pancasila adalah falsafah atau dasar negara. Pancasila bisa dijadikan sebagai perekat kebangsaan dari warga bangsa yang memiliki beragam perbedaan, seperti bahasa, etnis, kultur, dan lain sebagianya. Namun Pancasila tidak bisa dijadikan sebagai pedoman amal (petunjuk hidup) sehari-hari, seperti bagaimana cara makan, tidur, mandi, buang air menurut Pancasila. Itu semua hanya ada dan diatur di dalam Islam. Oleh karena itu  Pedoman amal dan petunjuk hidup bagi umat Islam hanyalah agamanya.

 

Ketuhanan Yang Maha Esa

Menurut Kasman Ketuhanan Yang Maha Esa itu mengandung serba Maha. Perubahan yang yang terjadi sebagai perubahan yang amat penting sekali. Perubahan itu sungguh-sungguh dianggap sebagai karunia dan nikmat Allah yang harus disyukuri oleh semua orang, terutama ummat Islam. Mengapa demikian? Sebab menurut Kasman “Yang Maha Esa” menentukan arti dari Ketuhanan. Pancasila yang kini secara geruisloos menjadi Filsafat Negara kita ini, tidak mengenal Ke-Tuhanan sembarang ketuhanan seperti barang sakti, patung, berhala, kuburan keramat, guru kebatinan, guru klenik, buatan manusia yang dianggap ampuh atau sakti, pelajaran kebatinan atau klenik, dogma, teka-teki gaib, perhitungan-perhitungan spekulatif, intelektualisme, diletantisme dan lain sebagainya; bukan! Sekali lagi bukan ketuhanan-ketuhanan, tetapi yang dikenal oleh Pancasila itu ialah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

 

Ketuhanan Yang Maha Esa bukan kebebasan beragama dan bukan anti Tuhan

Kasman begitu apik memberikan makna bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa tidak boleh diartikan sebagai kebebasan beragama dan bukan anti Tuhan.

Kebebasan beragama tidak merujuk dan menunjuk kepada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Kasman kebebasan beragama itu adalah soal lain. Dalam Islam tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Tetapi bagi muslimin yang telah masuk Islam, maka mereka itu tidak lagi bebas, tidak lagi memiliki kebebasan untuk beragama atau tidak, tidak boleh lagi murtad. Bagi muslim yang telah masuk Islam, hanya diwajibkan untuk mengamalkan ke-Islamannya. Apabila mereka murtad, maka mereka itu diancam oleh Allah dengan hukuman yang berat sekali di akhirat nanti.

Berikutnya Kasman menolak terhadap pemikiran kelompok komunis dan Marxis yang menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa itu sebagai kebebasan beragama. Sebabnya adalah “karena mudah benar oleh golongan tertentu kebebasan beragama itu diartikan: kebebasan untuk tidak beragama. Dan kebebasan untuk tidak beragama mudah sekali diartikan menjadi: kebebasan untuk anti agama. Dan akhirnya kebebasan untuk anti agama diartikan menjadi: kebebasan untuk anti Tuhan. Dan kesimpulannya ialah: Ketuhanan Yang Maha Esa sama dengan anti Tuhan. Hal ini lantas membikin Pancasila menjadi “Pentjaksilat” atau menjadi Pancasila yang di-Pentjaksilatkan oleh golongan tertentu itu.

Demikan pandangan dua tokoh Islam Indonesia tentang Pancasila. Pandangannya memberi kesadaran bagi kita bagaimana sesungguhnya memaknakan dan memosisikan Pancasila dengan adil. Untuk menjadi seorang yang Pancasilais sejati tetaplah berpegang pada ajaran agama, inilah sikap yang adil dan beradab.

 

Mudir Pesantren Adab dan Ilmu-YPI At-Taqwa Depok

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *