Oleh : Dr. Syamsuddin Arif
Gugatan orientalis terhadap hadits dimulai pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bagian Dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).
Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir, orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad SAW dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan (“…the name of Mahomet was abused to support all possible lies and absurdities”). Oleh sebab itu, katanya lebih lanjut, dari 4000 hadits yang dianggap shahih oleh Imam Bukhārī, paling tidak separuhnya harus ditolak. Tulisan Muir ini kemudian dijawab oleh Sayyid Ahmad Khan dalam esei-eseinya.
Selang beberapa lama setelah itu muncul Ignaz Goldziher. Yahudi kelahiran Hungaria ini sempat “nyantri” di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, selama kurang lebih setahun (1873-1874). Setelah kembali ke Eropa, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun dan justru karena tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negatif dan distortif, mengelirukan dan menyesatkan.
Dibandingkan dengan para pendahulunya, pendapat Goldziher mengenai hadits jauh lebih negatif. Menurut dia, dari sekian banyak hadits yang ada, sebagian besarnya ―untuk tidak mengatakan seluruhnya― tidak dapat dijamin keasliannya alias palsu dan, karena itu, tidak dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah awal Islam.
Menurut Goldziher, hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam.
Ini berarti, menurut dia, hadith adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau. Pendapat menyesatkan ini telah disanggah oleh sejumlah ilmuwan seperti Syaikh Musthafā as-Sibā‛ī, Muhammad Abū Shuhbah dan ‛Abd al-Ghanī ‛Abd al-Khāliq.
Tetapi oleh konco-konconya dari kalangan misionaris, pendapat Goldziher disetujui seratus persen. David Samuel Margoliouth, misalnya, turut meragukan otentisitas hadits. Alasannya, pertama, karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hadits telah dicatat sejak zaman Nabi SAW, dan kedua karena alasan lemahnya ingatan para perawinya. Masalah ini telah dijawab dan dijelaskan oleh Muhammad ‛Ajjāj al-Khathīb.
Jika Henri Lammens (misionaris Belgia) dan Leone Caetani (misionaris Italia) menganggap isnād muncul jauh setelah matan hadits ada dan merupakan fenomena internal dalam sejarah perkembangan Islam, maka Josef Horovitz berspekulasi bahwa sistem periwayatan hadits secara berantai (isn d) baru ā diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama Hijriah. Selanjutnya orientalis Jerman berdarah Yahudi ini mengatakan bahwa besar kemungkinan praktek isnād berasal dari dan dipengaruhi oleh tradisi oral sebagaimana dikenal dalam literatur Yahudi: “Esliegt nahe, in diese Gleichstellung den Einfluss der jüdischen Theorie zuvermuten, um so mehr als sich im Hadīt selbst Reminiszenzen an die Stellungerhalten haben, welche das Judenthum der mundlichen Lehre zuerkennt.”
Spekulasi Horovitz ini belakangan digaungkan kembali oleh Gregor Schoeler. Diantara yang turut mengamini pendapat Goldziher adalah orientalis Inggris bernama Alfred Guillaume. Dalam bukunya mengenai sejarah hadits, mantan guru besar Universitas Oxford ini mengklaim bahwa sangat sulit untuk mempercayai literature hadits secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari semua perkataan dan perbuatan Nabi SAW.
Karena gugatan orientalis terhadap hadits pada awalnya mempersoalkan ketiadaan data historis dan bukti tercatat (documentary evidence) yang dapat memastikan otentisitas hadits, maka sejumlah pakar pun melakukan penelitian intensif perihal sejarah literatur hadits guna mematahkan argumen orientalis yang mengatakan bahwa hadits baru dicatat pada abad kedua dan ketiga Hijriah.
Profesor Muhammad Hamidullah (Hyderabad – Paris), Fuat Sezgin (Frankfurt), Nabia Abbot (Chicago), dan Muhammad Mustafa Al-Azami (Cambridge – Riyadh), dalam karyanya masing-masing telah berhasil mengemukakan bahwa terdapat bukti-bukti konkrit yang menunjukkan pencatatan dan penulisan hadits sudah dimulai semenjak kurun pertama Hijriah sejak Nabi SAW masih hidup.
Namun demikian oleh orientalis bukti-bukti ini diabaikan begitu saja dan bahkan ada yang menolaknya mentah-mentah. Spekulasi Goldziher dan rekan-rekannya tersebut diatas kemudian ditelan dan diolah lagi oleh Joseph Schacht, orientalis Jerman yang juga keturunan Yahudi. Dalam bukunya yang cukup kontroversial, Schacht menyatakan bahwa tidak ada hadits yang benar-benar asli dari Nabi SAW, dan kalaupun ada dan bisa dibuktikan, maka jumlahnya amat sangat sedikit sekali: “we shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic.”
Senada dengan Goldziher, ia mengklaim bahwa hadits baru muncul pada abad kedua Hijriah dan baru beredar luas setelah zaman Imam Syāfi‛ī (w. 204 H/820 M), yakni pada abad ketiga Hijriah.
Lebih jauh Schacht seenaknya mengatakan bahwa bahkan hadits-hadits yang terdapat dalam al-kutub as-sittah sekalipun tidak dapat dijamin keasliannya: “even the classical corpus contains a great many traditions which cannot possibly be authentic.” Masih menurut dia, sistem periwayatan berantai alias isnād merupakan alat justifikasi dan otorisasi yang baru mulai dipraktekkan pada abad kedua Hijriah: “there is no reason to suppose that the regular practice of using isnāds is older than the beginning of the second century.”
Semua pernyataan Schacht ini telah dibantah antara lain oleh Profesor Muhammad Abū Zahrah dari Universitas Kairo, Mesir, oleh Profesor Zafar Ishaq Ansari dari Islamic Research Institute Islamabad, Pakistan, dan oleh Profesor Muhammad Mustafa al-Azami dari Universitas King Saud Riyadh, Saudi Arabia.
Dikalangan orientalis sendiri, teori-teori Schacht menimbulkan reaksi pro dan kontra. Pengukuhan dan pembelaan datang dari Brunschvig, Crone, Powers dan Calder. Sementara kritik atas asumsi dan kesimpulan-kesimpulannya muncul dari Coulson, Cook, Motzki, dan Rubin.
Sebagaimana telah disinggung di muka, gugatan orientalis dan para pengikutnya terhadap hadits telah ditolak dan dijawab oleh sejumlah ulama pakar. Berikut ini akan diungkapkan beberapa kelemahan-kelemahan metodologis dan kesalahan-kesalahan epistemologis yang terdapat dalam tulisan-tulisan orientalis dan para pengikutnya. Sebagai contoh karya Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford, 1950). Menurut Profesor Muhammad Musthafā al-A‛zamī, kekeliruan dan kesesatan Schacht dalam karyanya itu disebabkan oleh lima perkara: (1) sikapnya yang tidak konsisten dalam berteori dan menggunakan sumber rujukan, (2) bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah, (3) salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta, (4) ketidaktahuannya akan kondisi politik dan geografis yang dikaji, dan (5) salah faham mengenai istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama Islam.
Karena dipandu oleh niat buruk ini, maka kajiannya pun diwarnai oleh sikap purapura tidak tahu (wilful ignorance) dengan sengaja mengabaikan data yang tidak mendukung asumsi-asumsinya dan memanipulasi bukti-bukti yang ada demi membenarkan teori-teorinya (abuse of evidence). Hasilnya, kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya tidak cukup valid, karena “main pukul rata” secara gegabah (hasty generalizations) dan menduga-duga (conjectures) belaka.