Acara yang rutin dilaksanakan InPAS tiap dua bulan sekali ini mengangkat tema STUDI ISLAM DAN PLURALISME DALAM PANDANGAN ORIENTALIS. Tema ini sangat tepat dengan kedua nara sumbernya. Dr Anis pernah mendapat penghargaan Gold Medal di Islamabad atas disertasinya tentang pluralisme agama. Di samping itu, bukunya Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, terbitan Gema Insani Pres (GIP) mendapat penghargaan buku non-fiksi terbaik dalam book fair 2007 di Jakarta. Oleh karena itu, sangat tepat jika Dr. Anis berbicara pluralisme dalam DIR InPAS ke-6 ini. Dr. Adian Husaini menyematkan gelar Pakar Pluralisme Agama kepada mantan ketua Dept. Usuludin dan Comparative Religion IIUM ini karena perannya dalam menjelaskan kedudukan pluralisme dalam berbagai forum international.
Pemateri kedua, Dr. Syamsuddin Arif, pun tidak kalah pakarnya dengan Dr. Anis. Dr. Syam, begitu biasa dipanggil, beken dengan kepakarannya di bidang orientalisme. Hal itu dibuktikan oleh bukunya Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran terbitan GIP 2007. Meskipun hanya kumpulan tulisan, banyak pengamat berdecak kagum dengan kemampuan penulisnya menyandarkan tulisannya pada ratusan referensi berbagai bahasa. Tidak hanya sampai di situ, keseriusannya di bidang orientalisme ini juga dibuktikan oleh kuliah doktoral keduanya di Orientalisches Seminar, Johann Wolfgang Goethe-Universität Frankfurt/Main, Germany. Dari sanalah alumni Gontor ini banyak mengetahui lebih dalam bagaimana orientalis mengkaji Islam.
Dalam paparannya, Dr. Anis menyoroti banyaknya kalangan yang masih belum paham arti sebenarnya konsep pluralisme. Rata-rata para sarjana di Indonesia memahami pluralisme sebagai toleransi dalam beragama. “Hal ini sangat tidak tepat mengaitkan pluralisme dengan toleransi beragama,” tegasnya. Menurutnya, para pengusung ide pluralisme tingkat dunia tidak berbicara dalam tataran itu, tapi jauh di atasnya, yaitu kesamaan semua agama di dunia. Hal inilah yang sebenarnya menjadi konsen utama pluralisme agama, tegas direktur IIUM Press ini.
“Saya heran dengan pemahaman mereka ini, apakah mereka memang sengaja tidak menjelaskan pokok utamanya ini atau memang tidak mampu menjelaskan persoalan utamanya? Masak buku bermasalah seperti ini mendapat sanjungan di mana-mana dari para cendekiawan muslim kita, “jelas nya sambil mengangkat buku pluralisme karangan Abd. Moqsith.
Dalam paparan selanjutnya, Dr. Anis menjelaskan bagaimana rapuhnya konsep pluralisme ini, yang mengusung jargon menyamakan semua agama, dari berbagai sudut pandang. Dalam makalahnya, ia menjelaskan bagaimana manusia telah menyimpang dari fitrahnya hingga melahirkan prinsip ketuhanan-peribadatan (penuhanan-penghambaan atau ulËhiyyah–ÑubËdiyyah) dan pernik-perniknya yang tidak sesuai dengan fitrah tadi. Laki-laki kelahiran Demak ini mendasarkan berbagai statemennya ini dengan ayat-ayat al-Qur’an, Hadits dan tinjauan sejarah agama-agama besar dunia. “Dari berbagai kajian pakar comparative religion, hanya Islam lah yang sesuai dengan fitrah manusia dan tidak mengalami perubahan dalam perjalanan sejarahnya,”jelas pria yang hafal al-Qur’an ini.
Sedangkan Dr. Syam mefokuskan paparannya pada kajian-kajian orientalis yang berusaha meruntuhkan agama Islam. Menurutnya, berbagai segi konstruksi bangunan Islam mau dirobohkan oleh orientalis, seperti al-Qur’an, Hadits, Aqidah, Syariat, sejarah, dan lain-lainnya. Pria yang fasih berbahasa Jerman ini, menyebutkan beberapa karya kajian dan pernyataan para orientalis yang jarang diketahui oleh para cendekiawan muslim. Dengan bekal kemampuan 7 bahasa, selain bahasa ibu, ia mampu mengungkapkan kajian-kajian orientalis yang serius terhadap agama Islam. Salah satunya, yang disoroti adalah kajian orientalis terhadap Fiqh dan Syari’at Islam.
Dr. Syam menjelaskan betapa seriusnya orientalis mengkaji syariat Islam di beberapa negara Islam yang pernah dijajahnya. Beliau menulis dalam makalahnya,
“Ada tiga pendekatan yang lazim digunakan oleh orientalis dalam studi-studi mereka. Pertama, pendekatan filologis atau penelitian naskah, kedua, pendekatan historis atau kesejarahan, dan ketiga, pendekatan empiris atau pola penelitian sosiologi-antropologi,”katanya.
Dengan menggunakan ketiga pendekatan tersebut, orientalis banyak memberikan kesimpulan yang sangat menyakitkan bagi umat Islam. Setidaknya erdapat lima teori tentang syari’ah dalam karya-karya orientalis.
Pertama, adalah pendapat yang menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam kenyataannya. Kedua, menyifatkan Syariat Islam itu yang sewenang-wenang. Ketiga, dari sejak awal telah terjadi perceraian antara Syari’ah (yakni ulama yang mewakili sistem perundangan dan kehakiman) dan Negara (yakni umara atau penguasa yang menentukan sistem perpolitikan). Keempat, Hukum Islam itu dianggap kacau-balau, karena menurut mereka bersumber dari budaya dan adat istiadat, tidak memiliki standar rasional seperti Hukum Barat (common law Anglo-Amerika atau civil law Eropa) yang tersusun rapi lagi rasional. Kelima, Syari’at Islam hanya berjalan selama lebih kurang dua abad untuk kemudian mandek gara-gara Imam Syafi’i.
Kelima teori tersebut, menurut pria kelahiran Jakarta ini, dipegang erat-erat oleh para orientalis hingga sekarang melalui karya-karya mereka yang sangat terkenal. Oleh karena itu, kajian-kajian orientalis terhadap syariah Islam tidak akan keluar dari teori ini.(mm)