Wafat Ulama dan Fatwa Juhala

Oleh: Muhammad Ardiansyah

ulama (1)Inpasonline.com-“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang berilmu, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya, kemudian mereka memberikan fatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan orang lain.” (Muttafaqun ‘alaih).

Pesan Rasulullah SAW ini mengandung peringatan adanya dua musibah yang akan menimpa umat ini. Musibah pertama yang disebut dalam Hadits ini adalah wafatnya ulama. Mereka kembali kepada Allah SWT dengan membawa ilmu yang mereka miliki. Sedikit demi sedikit ilmu terangkat. Cahaya yang menerangi umat semakin berkurang dan perlahan akan hilang. Oleh karena itu pantas jika ada ungkapan bahwa matinya orang berilmu sama dengan matinya alam semesta (maut al-‘aalim, maut al-‘aalam).

 

Beberapa hari yang lalu umat Islam, khususnya di Indonesia, berduka karena wafatnya Hadratusy Syekh KH Ahmad Hasyim Muzadi. Beliau adalah seorang ulama yang mendalam keilmuannya, berakhlak mulia, pemersatu umat, dan juga penasehat kritis para umara. Banyak petikan hikmahnya yang menyejukkan hati dan mencerahkan jiwa. Sikapnya jelas dan tegas terhadap berbagai pemikiran dan aliran sesat seperti syiah, ahmadiyah, sekularisme, pluralisme, liberalisme dan sebagainya.

 

Dalam bidang pendidikan almarhum meninggalkan Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an (STKQ), al-Hikam, lembaga pendidikan untuk mengkader para Huffazh al-Qur’an agar menjadi ulama yang berilmu dan beradab. Juga ada Pesantren Mahasiswa (Pesma) al-Hikam untuk para mahasiswa umum yang ingin belajar ilmu-ilmu agama (uluumuddin) lebih mendalam.

 

Besarnya jasa beliau terhadap Islam membuat ribuan orang rela berdesakan untuk menyalatkan jenazahnya, mendoakannya dan ikut menghadiri pemakamannya. Di beberapa negara sahabat juga diadakan shalat jenazah ghaib dan doa untuk almarhum yang dipimpin ulama setempat. Hal itu karena kiprah almarhum Abah Hasyim sebagai ulama sudah diakui bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia.

 

Sulit mencari pengganti beliau. Sosok ulama sejati pewaris para Nabi (waratsat al-anbiya’). Benar apa yang dikatakan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali “Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya.” (Hujjatul Islam, al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, Kairo:Dar Mishr li al-Thiba’ah, 1998, juz 1 halaman 16).

 

Namun ada musibah yang tidak kalah hebatnya dari wafatnya ulama. Dalam Hadits di atas, Rasulullah SAW menyebut bahwa musibah kedua yang menimpa umat ini adalah munculnya oknum ulama palsu (ulama’ suu’) yang berani memberikan fatwa yang sesat dan menyesatkan. Umat dibuat bingung dengan fatwa-fatwa aneh dari orang-orang yang dikenal sebagai Ulama, Kyai Haji, Gus, dan sebagainya.

 

Satu contoh fatwa aneh yang sedang hangat diperbincangkan adalah terkait dengan QS al-Maidah:51. Seorang yang dikenal dengan “KH” Ishomuddin, berpendapat bahwa konteks QS al-Maidah:51 tentang perang, sehingga tidak relevan lagi dalam konteks saat ini. (Lihathttp://m.cnnindonesia.com/nasional/20170321143236-12-201710/ahli-agama-konteks-al-maidah-ayat-51-tentang-perang/). Sedangkan seorang pluralis, Gus Nuril Arifin, berani memberi gelar santri kehormatan untuk cagub non-Muslim yang telah menista agama Islam. (Lihathttps://m.detik.com/news/berita/d-3450149/sekjen-pdip-dan-sukmawati-wakili-ahok-hadir-di-pengajian-gus-nuril).

 

Fatwa seperti ini jelas sangat aneh dan bertentangan dengan pandangan yang benar dari para ulama sejak dulu sampai saat ini. Tentang QS al-Maidah:51, baik ditinjau dari sisi bahasa, tafsir, fiqh, ushul fiqh dan sebagainya, para ulama sepakat tentang haramnya kepemimpinan non-Muslim atas umat Islam. Sebagai Muslim, harusnya Ishomuddin mengikuti metode tafsir para ulama. Sayangnya dia malah menggunakan metode historis kontekstual sebagaimana yang dilakukan sarjana Barat dalam memahami al-Qur’an. Dengan metodologi ini, maka teks al-Qur’an yang sangat jelas menjadi diabaikan karena mendahulukan konteks. Akibatnya, hukum Islam akan terus berubah karena dipaksa tunduk pada ruang dan waktu.

 

Hukum yang sudah jelas sejelas matahari dibuat menjadi samar-samar. Umat yang sudah yakin dengan masalah ini, dibuat menjadi ragu dengan menggunakan metodologi luar Islam dalam memahami nash hukum. Sementara pandangan yang benar dari para ulama ditolak sama sekali. Benarlah jika dikatakan bahwa argumen yang benar dan panjang lebar tidak akan bermanfaat bagi orang yang hatinya ingkar (al-munkir laa yufiiduhu al-tathwil wa law tuliyat ‘alaihi al-taurat wa al-injil).

 

Adapun tentang santri kehormatan untuk non-Muslim juga menjadi pemikiran yang menggelikan. Jika Nuril Arifin benar-benar seorang Kyai, harusnya dia tahu, bahwa istilah santri itu istilah khas dalam tradisi Islam, khususnya di Indonesia. Tidak dikenal istilah santri dalam agama lain, sebagaimana tidak dikenal istilah misionaris dalam Islam.

 

Hadratusy Syekh KH Hasani Nawawie memberi definisi santri dengan sangat indah. Menurutnya

 

والسنتري بشاهد حاله هو من يعتصم بحبل الله المتين، ويتبع سنة الرسول الامين، صلى الله عليه وسلم، ولا يميل يمنة ولا يسرة في كل وقت وحين. هذا معناه بالسيرة والحقيقة، ولا يبدل ولا يغير قديما وحديثا، والله اعلم بنفس الامر وحقيقة الحال

 

Santri, berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, dan mengikuti Sunnah Rasul SAW, serta teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar pada sejarah dan kenyataan, yang tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Allah Maha Mengetahui atas kebenaran dan kenyataannya. (Tim Penulis Pustaka Sidogiri, Mengapa Saya Harus Mondok di Pesantren?, Pasuruan, Pustaka Sidogiri, 2012, hlm. 193)

 

Dari definisi ini kita bisa bertanya, apakah seorang penista al-Qur’an bisa dikatakan berpegang teguh pada al-Qur’an? Apakah orang yang mulutnya kotor dan membentak ulama bisa dikatakan meneladani Rasulullah? Seorang Muslim pun, jika menista al-Qur’an, menghina ulama, tidak layak dijadikan santri kehormatan, apalagi seorang yang jelas-jelas statusnya sebagai seorang non-Muslim dan berakhlak buruk. Menjadikan non-Muslim penista agama sebagai santri kehormatam sama saja dengan menghina al-Qur’an, merendahkan Nabi dan juga para ulama. Muslim sejati tentu tidak akan melakukannya.

 

Yang paling penting, orang yang berilmu harusnya sadar, bahwa fatwa itu tugas yang sangat berat. Ada syarat-syarat intelektual dan moral yang harus dipenuhi oleh seorang pemberi fatwa (mufti). Abu Ishaq al-Syirazi menyebutkan sejumlah syarat intelektual seorang mufti, seperti memahami ilmu-ilmu tentang ayat hukum dalam al-Qur’an dan Hadits, sumber ucapan seperti hakikat dan majaz, amm dan khass, bahasa Arab, nasikh dan mansukh, masalah ijma’ dan ikhtilaf, juga keteraturan dalil (tartib al-adillah) yang ada. (Abu Ishaq al-Syirazi, al-Luma’ Hamisy Bughyat al-Musytaq, Beirut:Dar Ibn Katsir, 2011, hlm. 360-361)

 

Sementara itu Imam Ahmad ibn Hanbal menetapkan lima syarat moral seorang mufti, yaitu niat yang benar, memiliki kesabaran dan jiwa yang tenang, kekuatan mental, kecukupan hidup agar tidak dipengaruhi masyarakat dan memahami kondisi masyarakat. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr, tanpa tahun, hlm. 360). Dengan syarat-syarat yang ketat ini, para ulama sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa. Karena ada ancaman serius bagi orang yang nekad secara gegabah. Rasulullah SAW bersabda “Orang yang paling berani berfatwa, berarti orang yang paling berani masuk neraka”. (HR al-Darimi).

 

Imam Nawawi menyebutkan beberapa riwayat tentang ihtiyath (kehati-hatian) para ulama dalam berfatwa. Ada seorang bertanya satu masalah kepada seorang sahabat anshar, lalu yang ditanya merujuknya kepada sahabat lain untuk menjawabnya, terus begitu sampai pertanyaan itu kembali kepada sahabat pertama yang ditanya. Ada juga Imam Malik yang berkata, “aku tidak berani berfatwa kecuali ada tujuh puluh ulama yang bersaksi bahwa aku memang layak menjawab masalah itu. Begitu juga Imam Syafi’i pernah tidak menjawab ketika ditanya satu masalah, lalu dia berkata “sampai aku yakin, mana yang lebih baik antara diam atau menjawab.” (al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab, Kairo:Dar al-Hadits, 2010, juz 1, hlm. 166-168)

 

Lihatlah betapa tinggi adab para ulama itu. Mereka sangat berhati-hati dalam menjawab satu masalah, padahal seluruh syarat intelektual dan moral sudah terpenuhi. Inilah ciri ulama shaleh. Berilmu, pemikiran, sikap dan akhlaknya sesuai dengan ilmu. Orang seperti ini selayaknya kita ikuti (rajulun yadri wa yadri annahu yadri, fa huwa ‘aalimun, fattabiuuhu).

 

Bandingkan dengan sebagian oknum mufti palsu yang bergelar Kyai, Gus, Ustadz atau dosen tapi pemikiran, sikap dan akhlaknya sangat bertentangan dengan ilmu. Orang semacam ini harusnya diingatkan, bukan diikuti. (Rajulun yadri wa laa yadri annahu yadri, fa huwa ghaafilun, fanabihuuhu). Kalau sudah diingatkan tidak sadar juga, berarti mereka bukan orang berilmu, dan tidak menyadari kebodohan dirinya. Menghadapi orang semacam ini tidak ada jalan lain selain menolak berbagai kekeliruannya (rajulun laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri, fa huwa jaahilun, farfudhuuhu).

 

Oleh karena itu, di zaman fitnah seperti ini, umat Islam harus cerdas memilih dan mengikuti fatwa. Rasulullah SAW telah memberi panduan kepada umatnya, “tanya hatimu…meskipun banyak orang memberi fatwa” (HR Ahmad dan al-Darimi). Perhatikanlah latar belakang keilmuan dan keshalehan sang mufti. Jangan sampai salah mengikut, karena fatwa ulama berbeda dengan fatwa juhala (orang-orang bodoh). Fatwa ulama berdasarkan ilmu, berisi keselamatan dan berbuah maslahah (kebaikan), sedangkan fatwa juhala berdasarkan hawa nafsu, berisi kesesatan dan hanya menimbulkan masalah. Semoga Allah melindungi umat ini dari berbagai musibah yang akan menimpa agama.Wallaahu a’lam bis shawaab.(Depok, 23 Maret 2017)

Penulis adalah Pengasuh Ponpes at-Taqwa (Shoul Lin al-Islami)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *