Ilmu Nafi’ Menurut Imam al-Ghazali

Oleh: Muhammad Ardiansyah

ilmu nafiInpasonline.com-Sungguh indah untaian kata-kata tentang Tujuan Pendidikan di Indonesia. UU No 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, menyatakan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga menyebutkan, bahwa Pendidikan Tinggi bertujuan: (a). berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; dan seterusnya.

Menyimak tujuan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi di Indonesia, maka sepatutnya semua pihak –khususnya pemerintah sebagai pelaksana Undang-undang- bertungkus lumus untuk mewujudkanya. Para peserta didik bukan sekedar “dipaksa” untuk lulus Ujian Nasional –dengan nilai akademik tinggi- tetapi juga “dipaksa” untuk meraih ilmu yang bermanfaat. Sehingga pemegang ilmu itu pun menjadi manusia yang bermanfaat.

Kenapa harus dipaksa? Sebab, tugas Undang-undang adalah memaksa. Undang-undang adalah peraturan yang memuat tentang keharusan dan sanksi bagi pelanggarnya. Sepatutnya pemerintah sudah menerapkan sistem pendidikan yang memaksa anak didik untuk memahami dan menjalankan agamanya dengan baik. Sebab itulah modal menjadi manusia yang baik. Semua itu berawal dari ilmu. Hanya ilmu yang benar dan bermanfaat yang dapat mengantarkan peserta didik untuk menjadi manusia yang baik dan bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, masyarakat dan bangsanya. Itulah urgensi ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’)

Ilmu Nafi’

Di dalam satu doa Nabi Muhammad SAW mengucapkan “Allâhumma innî as’aluka ‘ilman nafi‘an, wa a’ûdzu bika min ‘ilmin lâ yanfa’.” Artinya “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat”(HR Ibn Hibbân). Di dalam hadits lain beliau juga memerintahkan umatnya “Salû-Llâha ‘ilman nâfi‘an, wa ta‘awadzû biLlâhi min ‘ilmin lâ yanfa’. Artinya “mohonlah kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan mohonlah perlindungan kepada-Nya dari ilmu yang tidak bermanfaat” (HR Ibn Mâjah).

Doa dan perintah Nabi Muhammad SAW dalam hadits di atas penting untuk diingat dan diamalkan. Di dalamnya ada isyarat bahwa ilmu bukan dinilai dari banyaknya, tetapi dari manfaatnya. Ilmu yang bermanfaat akan menghantarkan seseorang meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, ilmu yang tidak bermanfaat akan menjerumuskan seseorang ke jurang kebinasaan. Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa “ilmu terbagi dua. Pertama ilmu yang hanya di lisan yang merupakan hujjah Allah kepada manusia, dan ilmu yang meresap sampai ke hati itulah ilmu yang bermanfaat” (HR al-Darimi).

Pandangan Imam al-Ghazali Tentang Ilmu Nafi’

Begitu pentingnya masalah ilmu nafi’ ini banyak ulama ikut merumuskan konsepnya. Imam al-Ghazali (450-505 H) adalah satu dari sekian banyak ulama besar yang menekankan pentingnya ilmu nafi’. Ulama dengan banyak karya monumental seperti Ihya’ Ulumiddin, Bidayatul Hidayah, Ayyuhal Walad, al-Munqidz min al-Dhalal dan Tahafut al-Falasifah memang dikenal dengan pemikirannya yang sangat fundamental. Buah pemikirannya bahkan mampu membangkitkan generasi hebat sekaliber Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi. Tidak berlebihan jika Imam al-Ghazali disebut sebagai pembaharu (mujaddid) abad kelima.

Menurut Imam al-Ghazali umat Islam harus memahami ilmu nafi’. Sebab seseorang yang tidak memahami ilmu nafi’ akan terjerumus pada ilmu yang berbahaya (al-ilmu al-dhar). Ilmu yang berbahaya ini akan digunakan sebagai alat mengeruk kepentingan duniawi. Ilmu seperti itu hakikatnya adalah sebuah kebodohan dan sumber kerusakan yang terjadi di alam semesta. (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Kairo: Dar Mishr Li al-Thiba‘ah, 1998, Juz IV, hlm. 438).

Melihat pentingnya ilmu nafi’ ini, Imam al-Ghazali merumuskan konsepnya lengkap dengan indikator-indikatornya. Menurutnya, “ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuatmu bertambah takut kepada Allah, membuat mata hatimu semakin tajam terhadap aib-aibmu, menambah ma’rifatmu dengan menyembah-Nya, mengurangi keinginanmu terhadap dunia, menambah keinginanmu terhadap akhirat, membuka mata hatimu tentang rusaknya segala amalmu sehingga engkau menjaga diri dari kerusakan itu, dan membuatmu teliti atas perangkap dan tipu daya setan (Al-Ghazâli, Bidâyat al-Hidâyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011, hlm. 19).

Konsep ilmu nafi’ yang dirumuskan Imam al-Ghazali ini begitu komperhensif. Konsep ilmu yang dirumuskan untuk membentuk manusia yang beradab. Diawali dengan adab kepada Allah. Menurut Imam al-Ghazali, rasa takut dan ketundukan merupakan buah utama dari ilmu nafi’. Kedua sifat ini kemudian membuahkan ketaaatan terhadap perintah Allah sekaligus mencegah dari maksiat kepada-Nya. (Al-Ghazali, Rawdhat al-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Sâlikîn, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), hlm. 48). Pendapat Imam al-Ghazali ini sesuai dengan QS Fathir:28 bahwa sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang berilmu (ulama). Dalam masalah ini Imam al-Ghazali juga mengutip pendapat Ibn Mas’ud yang menyatakan bahwa “ilmu itu bukanlah hanya banyaknya riwayat, sesungguhnya ilmu itu berbuah rasa takut kepada Allah (al-Khassyah).” (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Juz I, hlm. 88).

Seorang penuntut ilmu juga harus sibuk dengan aibnya sendiri daripada mengurus aib orang lain. Menurut al-Ghazali, orang yang merasa bebas dari aib adalah orang yang bodoh terhadap dirinya sendiri. Dan itu merupakan aib yang terbesar (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Juz 3, hlm. ). Ilmu nafi’ juga terlihat dari sikap semakin mengenal Allah (ma’rifat) yang dibuktikan dengan rajin beribadah. Sebab dalam pandangan Islam, ilmu dan amal menjadi satu. Ibadah adalah bukti pengamalan ilmu. Al-Ghazali sendiri mengingatkan muridnya bahwa “ilmu tanpa amal adalah gila, dan amal tanpa ilmu ada sia-sia.” (al-Ghazali, Ayyuhal Walad, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), hlm. 4).

Indikator ilmu nafi’ berikutnya adalah membuat seseorang semakin zuhud, bukan gila dunia. Dalam masalah ini al-Ghazali tegas mengingatkan bahwa menuntut ilmu dengan tujuan meraih keuntungan dunia semata, sama dengan merobohkan agama (al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah, hlm. 1). Sebaliknya, ilmu nafi’ semakin membuat seseorang menjadi termotivasi meraih kebahagiaan di negeri akhirat. Sebagai Muslim keyakinan adanya kehidupan akhirat menjadi satu kewajiban. Dan ia akan menyiapkan bekal terbaik sebelum kembali ke negeri akhirat.

Ilmu harus ada sebelum amal. Ilmu juga harus terus mengawal amal agar tidak rusak. Ketika rukun dan syarat amal sudah disempurnakan, maka seseorang harus menjaga amalnya itu dari “virus” mematikan yang bisa membinasakan amalnya. Imam al-Ghazali menyatakan “wahai saudaraku, setelah jalan ibadahmu bagus, maka kamu wajib menjaga amalmu dari perkara yang bisa merusaknya”. (al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin, Surabaya: Maktabat Ahmad ibn Sa‘ad ibn Nabhan, tanpa tahun), hlm. 71). Menurut Imam al-Ghazali yang perlu dikhawatirkan adalah kosongnya nilai ibadah. Jangan sampai seseorang gigih beribadah tetapi lengah terhadap cacat dan sifat buruk yang ada dalam dirinya. Sehingga ibadahnya tidak satupun yang diterima. Ibadah yang dibangun bertahun-tahun, hancur hanya dalam waktu sekejap. Yang paling mengkhawatirkan menurut Imam al-Ghazali adalah adalah sifat riya’. Secara zahir ibadahnya untuk Allah, tetapi batinnya ditujukan untuk makhluk. Akhirnya, Allah mengusirnya dan tidak lagi memandangnya. (al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin, hlm. 80).

Terakhir, ilmu nafi’ membuat seseorang jeli terhadap perangkap dan tipu daya setan. Dalam masalah ini banyak orang-orang berilmu menjadi korbannya. Menurut Imam al-Ghazali, setan menipu penuntut ilmu dengan menggiring mereka ke jalan keburukan yang dibungkus dengan kemasan kebaikan. Setan akan membisikkan keutamaan-keutamaan ilmu, dan kedudukan orang berilmu sebagaimana yang ada di dalam al-Qur’an, Hadits ataupun perkataan ulama. Pada saat yang sama, setan membuat mereka terbuai sehingga melupakan banyak ayat dan hadits yang mengancam orang berilmu tapi tidak beramal (al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah, hlm. 2).

Penutup

Sampai saat ini nilai Ujian Sekolah dan Ujian Nasional masih dianggap indikator suksesnya pendidikan. Padahal sejatinya pendidikan itu bukan hanya menghapal pelajaran dan menjawab soal. Sukses atau tidaknya juga tidak cukup diukur dengan nilai di atas kertas. Dalam pandangan Islam, nilai ujian yang tinggi tidak berarti jika tidak beradab kepada Allah. Hapalan yang banyak tidak akan bernilai jika tidak diamalkan dan tidak mau beribadah. Dan banyaknya ilmu tidak akan menambah kemuliaan seseorang di sisi Allah jika dalam dirinya ada penyakit gila dunia.

Konsep ilmu nafi’ yang dirumuskan Imam al-Ghazali masih sangat relevan untuk diterapkan dalam pendidikan di Indonesia. Karena itu, sepatutnya para perumus kebijakan pendidikan menjadikannya sebagai indikator kenaikan atau kelulusan, khususnya bagi pelajar Muslim.

Penerapan konsep pendidikan karakter yang sempat begitu menyita wacana pendidikan nasional, kini kembali senyap. Rezim baru memunculkan wacana “revolusi mental”. Padahal semua penguasa itu Muslim, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. mereka juga mengakui Nabi Muhammad SAW adalah teladan terbaik dalam pembentukan manusia berakhlak mulia. Sebab akhlak Nabi adalah al-Qur’an. Bahkan beliau menegaskan, diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak.

Oleh para ulama –seperti Imam al-Ghazali, Ibn Miskawaih, dan sebagainya- keteladanan Nabi Muhammad SAW itu kemudian dirumuskan dalam bentuk konsep-konsep ilmiah tentang pendidikan akhlak. Bahkan, di Nusantara ini, begitu banyak ulama yang menulis kitab tentang adab dan akhlak, seperti Mufti Betawi pada masanya Sayyid Utsman ibn Yahya menulis kitab Adabul Insan, dan KH Hasyim Asy’ari yang menulis kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim.

Anehnya, konsep-konsep hebat yang telah terbukti keampuhannya dalam sejarah itu seperti tidak ditengok sama sekali oleh penguasa pendidikan nasional Indonesia. Bahkan pemerintah kemudian memaksakan konsep yang tidak berbasis pada keimanan dan tradisi keilmuan Islam. Kita hanya mengimbau, jika ingin pendidikan kita sukses, ajarkan peserta didik kita ilmu nafi’, sebagaimana diajarkan oleh Imam al-Ghazali dan ulama-ulama lainnya. Wallahu a’lam bis shawab.

*Tulisan ini Islamia-Republika edisi 16 April 2015 dengan penyesuaian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *