Oleh Kholili Hasib
Imam al-Ghazali pernah dianggap mengabaikan perjuangan jihad. Di masa perang Salib ia tidak turun ikut perang. Kesibukannya memperbaiki ilmu bukan menyiapkan militer untuk merebut al-Quds. Benarkah? Yang jelas sejarah tidak bisa berbohong, bahwa generasi kader-kader didikan Imam al-Ghazali-lah yang mengusung bendera kemenangan merebut al-Quds. Peran sang Hujjatul Islam tidak mungkin dinafikan. Mereka (pasukan penegak panji Islam) sebagian besarnya adalah alumni madrasah yang diasuh oleh para murid imam al-Ghazali. Karena itu, tidak salah mengambil ibrah dari strategi perjuangan al-Ghazali ini.
Nidzamul Muluk, seorang menteri dari Dinasti Saljuk, selama 30 tahun menjabat, mencurahkan segala kekuasaan dan kemampuannya untuk menyokong para ulama’. Tidak lain untuk menghidupkan kembali ilmu. Meski ia tidak memegang jabatan puncak dalam kesultanan, namun kekuasaan berada di tangannya. Ia memiliki pemikiran yang lurus. Tidak fanatik pada madzhab tertentu, berusaha mengakomodasi seluruh madzhab yang ada dan menghormatinya. Salah satu keunikannya, majelis Nidzamul Muluk tidak pernah sepi dari ulama’ dan fuqaha (ahli fikih).
Ada seseorang yang mempertanyakan kebiasaan ini kepadanya: “Sesungguhnya para ulama’ tersebut telah menyibukkanmu dari banyak urusan kenegaraan”. Nidzamul Muluk menjawab: “Mereka (para ulama’) itulah perhiasaan dunia dan akhirat. Sekiranya mereka duduk di atas kepalaku, maka aku tidak akan menganggapnya berlebihan”(Majid Irsan al-Kilani, Hakadza Dzahara Jil Shalhuddin wa Hakadza ‘Adat al-Quds, hal. 69).
Nidzamul Muluk adalah contoh penguasa yang mencintai ilmu dan menghormati ulama’. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali diangkat olehnya menjadi Guru Besar di Madrasah Nidzamiyah, Madrasah milik pemerintahan Nidzamul Muluk. Imam al-Ghazali diberi gelar kehormatan, Zainuddin Syaraf al-Aimmah. Kedudukan al-Ghazali sangat dihormati dan berpengaruh di kesultanan.
Imam al-Ghazali tidak segan-segan nahi munkar di dalam pemerintahan. Ia pernah menolak secara terbuka dan tegas rencana pelantikan Malik Mahmud sebagai sultan. Al-Ghazali melihat Malik Mahmud tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin negara. Ketika, pemerintahan telah berbelok dari syariat, al-Ghazali menarik diri. Bagaimanapun, kedudukan tinggi tidak menghalangi Imam al-Ghazali mengkritisi fenomena formalitas di pemerintahan, kejahatan negara ia buka, dan melakukan islah. Ia pernah menulis kitab al-Tibr al-Masluk fi Nasihati Muluk, dihadiahkan kepada Sultan berisi nasihat dan kritikan.
Antara Nidzamul Muluk dan Imam al-Ghazali adalah gambaran baik tentang adab seorang penguasa dan tugas seorang ulama’. Seorang kepala negara harus mencintai ilmu dan menempatkan ulama’ sebagai poros utama dalam melakukan perbaikan masyarakat. Seorang ulama’ haruslah memiliki visi amar ma’ruf nahi munkar, tidak menjual agama, tidak penjilat, dan berani berkata ‘tidak’ pada kebijakan negara yang menyalahi syariat. Sebuah kolaborasi yang porosnya adalah tradisi ilmu. Dan ternyata, kolaborasi dua komponen inilah menjadi penentu kebangkitan Islam.
Al-Ghazali mengingatkan seorang khalifah tidak boleh meninggalkan Ulama. Namun, seorang sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus dimintai nasihat. Ulama Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Ciri Ulama Suu’, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebaliknya, seorang ulama sejati (ulama al-akhirah) sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja. Dia memberi nasihat murni ikhlas karena menginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.
Imam al-Ghazali hidup di masa Perang Salib. Beliau hidup antara tahun 1058 M-1111 M. Ketika kesultanan mengalami kekacauan, baik politik maupun akhlak, al-Ghazali menarik diri dan melepas jabatan guru besar madrasah Nidzamiyah. Al-Ghazali mengamati segenap tujuan dan perilaku pejabat dan ulama’. Dia mendapati bahwa agama menjadi sekedar simbol kosong yang digunakan untuk mendapatkan kedudukan terhormat. Sementara afiliasi kepada madzhab tidak lebih dari alat untuk memperoleh jabatan politis dan keuntungan duniawi. Dua faktor ini dilihat sebagai penyebab matinya ilmu. Matinya ilmu merupakan tanda matinya peradaban Islam. Matinya peradaban zaman itu salah satunya ditandai dengan kekalahan dalam Perang Salib I dan perang saudara antar-penguasa Muslim.
Selain aliran Mu’tazilah dan Syiah Batihiniyah, permusuhan dan fanatisme madzhab termasuk yang diperangi sehingga melahirkan hasud dan pertikaian antar-pengikut madzhab fikih. Masyarakat terpecah sehingga melupakan persoalan genting yang sedang dihadapi. Penyakit jiwa ini berlanjut pada pengkafiran terhadap pengikut madzhab lainnya.
Kitab Al-Fashlu al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah mendeskripsikan pengkafiran terhadap pengikut madzhab lain. Imam al-Ghazali mengajukan kritik terhadap pengikut Hanbaliyah dan Asy’ariyah yang saling mengkafirkan dalam persoalan furu’. Kelompok utama yang ia kritik adalah para ulama, terutama yang menjual agama demi meraup keuntungan duniawi dan pribadi.
Imam al-Ghazali menulis kitab Ihya’ Ulumuddin, artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Dalam kitab tersebut, Imam al-Ghazali melakukan reformasi intelektual dan moral kaum Muslim dalam perspektif yang luas dan lengkap. Ia menemukan kelemahan kaum Muslimin yang ternyata bermuara kepada kelemahan moral dan jiwa. Krisis politik dan militer disebabkan rusaknya jiwa kaum Muslimin. Kehancuran jiwa diakibatkan kekacauan ilmu.
Upaya al-Ghazali tersebut ternyata diakui oleh penulis Barat, Nikita Elissef. Elissef mengatakan, kelemahan spiritual kaum Muslimin pada Perang Salib I berhasil diperbaiki oleh al-Ghazali yang ketika itu mengajar di Damaskus. Ia menekankan jihad melawan nafsu untuk mereformasi jiwa. Ternyata, kata Elissef, 50 tahun kemudian, yaitu di masa Sultan Nuruddin Zanki, kaum Muslimin mampu bangkit dan melakukan jihad melawan Salib secara efektif. Satu persatu kota kunci berhasil ditaklukkan. Zanki membuka kota Edessia dan Aleppo, kota kunci menuju al-Quds. Diceritakan, Nuruddin Zanki juga membangun rumah-rumah sufi dan madrasah di sekitar negeri Syam.
Strategi Imam al-Ghazali untuk kebangkitan Islam tidak lepas dari poros perbaikan ilmu dan ulama’. Ia fokus pada dua tugas; Pertama, melahirkan generasi baru ulama’ dan elit pemimpin yang mampu berbuat dengan pemikiran yang bersatu dan tidak terpecah-pecah, usaha mereka saling melengkapi dan tidak saling menjegal. Kedua, lebih memfokuskan perhatian untuk mengatasi penyakit-penyakir krusial yang menggerogoti umat dari dalam daripada sibuk dengan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut, yang di antaranya adalah ancama agresi militer musuh yang datang dari luar.
Kembali kepada ilmu dan ulama’ adalah kuci utamanya. Pejuang-pejuang yang jiwanya rusak dan kotor dikarenakan ilmu yang tidak mapan. Terhadap kelompok ini tentu Allah tidak ridha memberi amanah Islam. Allah hanya memberi amanah kepada kaum Muslimin yang jiwanya ridha atas ketentuan Allah. []