Oleh: Kholili Hasib
Pendahuluan
Ilmu dalam Islam menempati posisi sangat penting. Salah satunya al-Qur’an menyebut kata ‘ilm dan deravisanya lebih dari 700-an kali. Dalam Islam, orang berilmu menempati posisi mulya. Allah swt berfirman: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadalah: 11).
Dalam satu hadis, mencari ilmu juga mendapatkan tempat yang mulya; “Barang siapa yang mencari ilmu maka ia di jalan Allah sampai ia pulang” (HR. Tirmidzi).
Definisi ilmu menurut para ulama umumnya mengacu pada satu hakikat dan makna realitas yang tidak berubah. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali mendefinisikan: “Ilmu adalah pengenalan (ma’rifah) sesuatu atas dirinya[1]. Pengertian ini mengandung pemahaman bahwa, seseorang dikatakan memiliki ilmu jika ia mengenal sesuatu itu apa adanya, mengetahui esensi yang sebenarnya. Al-Raghib al-Isfahani berpendapat, ilmu adalah persepsi suatu hal dalam hakikatnya[2]. Pengertian ini hampir sama dengan apa yang telah didefinisikan Imam al-Ghazali bahwa ilmu merupakan segala hal yang menyangkut hakikat yang tak berubah. Defini lebih filosofis diberikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, bahwa ilmu adalah tibanya makna dalam jiwa sekaligus tibanya jiwa pada makna[3]. Jika menurut al-Ghazali dan al-Isfahani, ilmu merupakan hakikat, maka al-Attas mengatakan bahwa ilmu merupakan makna sesuatu. Benda atau sesuatu apapun jika diketahui dan bermakna bagi dirinya, maka itu disebut ilmu.
Wahyu pertama yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad Saw berkaitan dengan perintah membaca (iqra’). Tetapi, sejak awal, sudah diingatkan bahwa proses membaca tidak boleh dipisahkan dari ingat kepada Allah Swt. Harus dilakukan dengan mengingat nama Allah Swt (Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). Konsepsi Ilmu dalam Islam tidak memisahkan secara dikotomis antara iman dan ilmu pengetahuan. Tidak memisahkan unsur dunia dan unsur akhirat. Karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dipelajari bermuara pada satu tujuan penting, mengenal Allah, beribadah kepada-Nya dan untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat.
Ilmu dan Iman
Sehingga dalam Islam, ilmu terkait dengan akidah. Syeikh Abdul Qohir al-Baghdadi mengatakan; “pilar pertama (dari ciri akidah Ahlussunnah wal Jama’ah) adalah menetapkan realitas dan ilmu. Menyesatkan orang yang menolak ilmu seperti kaum Sufastoiyyah”[4]. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan “Mengawali akidah (yang disusun oleh al-Nasafi) dengan pernyataan yang jelas tentang ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat penting, sebab Islam adalah agama yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Penyangkalan terhadap kemungkinan dan objektifitas ilmu pengetahuan akan mengakibatkan hancurnya dasar yang tidak hanya menjadi akar bagi agama, tetapi juga bagi semua jenis sains”[5].
Orang yang bertambah ‘informasi pengetahuannya’, namun tidak bertambah imannya, maka orang tersebut dijauhkan dari petunjuk Allah Swt. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuknya, maka tidak akan bertambah kecuali dia akan makin jauh dari Allah Swt” (HR. al-Dailami). Beriman mensyaratkan untuk berilmu. Seperti firman Allah Swt: “Hanya orang-orang berilmu (ulama’) yang betul-betul takut kepada Allah” (QS. Al-Fathir: 28).
Iman, menurut al-Attas di atas ilmu. Yang namanya beriman adalah usaha melaksanakan amanah yang dibebankan kepada manusia sebagai perintah Tuhan kepadanya, bukan sekedar ikrar dengan lisan. Tapi harus mengakui kebenaran (tasdiq) dengan hati dan melaksanakan amalan. Pengakuan kebenaran ini dikenal seorang Muslim melalu ilmu. Kejahilan tidak mampu mengetahui kebenaran[6].
Sementara kaum sofis berkeyakinan bahwa mengetahui hakikat sesuatu itu tidak mungkin. Dalam konteks beragama, manusia tidak mengetahui hakikat yang benar itu. Dalam Islam, pandangan ini ditolak. Manusia secara lahir, batin, mental dan spritiual diberi kemampuan untuk mengetahui. Dalam Islam, mengetahui itu tidak mustahil. Persoalannya, — yang membedakan dengan Barat – darimana kita mengetahui? Inilah persoalan sistem, dan kaidah mengetahui.
Dr. Syamsuddin ‘Arif dalam tulisannya Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam, sumber ilmu dalam Islam ada tiga; persepsi indera (idrak al-hawas), proses akal sehat (ta’aqqul), intuisi sehat (qalb) dan khabar shadiq. Syamsuddin Arif menulis:
“Persepsi inderawi meliputi yang lima (indera pendengar, pelihat, perasa, penyium, penyentuh), daya ingat atau memori (dzahkirah), penggambaran (khayal) dan estimasi (wahm). Proses akal mencakup nala (nadzar) dan alur piker (fikr). Dengan alur piker kita bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan. Selanjutnya dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan isyarat ilahi, fath, ilham, kasyf dan sebagainya. Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar shadiq, yang berasal dari dan bersandar pada otoritas. Sumber khabar shadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai ke akhir zaman”[7].
Dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu yang primer karena ia berkaitan langsung dengan realitas absolute, yaitu Allah Swt. Bahkan penggalian ilmu pengetahuan dapat ditemukan di dalam wahyu. Hal ini berbeda dengan Barat yang menolak sama sekali wahyu sebagai sumber ilmu. Wahyu tidak dapat diverifikasi secara ilmiah. Dalam konteks epistemologi, sebenarnya konsepsi Islam lebih komprehensif daripada Barat yang membatasi pada ranah empirik saja.
Dari sisi ontologis, Tuhan merupakan aspek sentral dalam ilmu pengetahuan Islami. Pengetahuan Tuhan yang absolut ini dibutuhkan ketika indera dan akal manusia tidak mampu menerjemahkan realitas non-fisik. Maka di sini diperlukan pemahaman tentang konsep Tuhan yang benar.
Pemahaman yang keliru tentang konsep Tuhan beserta aspek-aspek teologis lainnya berimplikasi terhadap epistemologi. Jika Tuhan yang diyakini itu hanya aspek transenden saja yang memiliki sifat absolut, sedangkan Tuhan itu tidak immanen, maka tidak akan menghasilkan apa-apa terhadap ilmu pengetahuan Islam. Sebab, Tuhan diyakini tidak lagi berhubungan dengan realitas empirik di dunia dan pengetahuan social dan empiris.
Secara aksiologis, pemahaman tentang konsep Tuhan, wahyu, agama dan lainnya dijadikan sebagai sumber nilai. Sistem nilai tidak diambil dari pengalaman manusia atau fenomena sosial yang selalu berubah-ubah. Nilai dalam Islam tidak ‘on going proses’. Ia bersifat tetap dan harus termanifestasikan dalam setiap kerja-kerja ilmiah. Sehingga, Ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan harus memiliki visi nilai. Nilai ini membimbing ilmuan dari kedzaliman. Ia mengontrol kerja-kerja ilmiahnya dari tujuan dasar dari berpengetahuan adalah untuk kebahagian dunia akhirat.
Karena teologi mengimplikasikan epistemologi, maka teologi beserta aspek-aspeknya mempengaruhi proses berpikir seorang ilmuan. Teologi yang benar akan menghasilan sistem epistemologi yang tepat pula sesuai dengan nilai Islam.
Klasifikasi Ilmu
Kategorisasi ilmu dalam Islam bersifat hierarkis tidak dikotomis. Dilihat dari kegunaannya bagi manusia, ilmu pengetahuan dibagi menjadi ilmu yang baik (al-mahmudah) dan tidak baik (al-madzmumah). Ilmu madzmumah seperti ilmu perbintangan atau ilmu-ilmu pemikiran sesat. Menurut al-Ghazali, kendatipun ilmu ini tidak baik, hendaknya ada sekelompok ilmuan Muslim untuk mempelajarinya. Bukan untuk mengamalkan ilmu tersebut, tetapi untuk menjaga orang awam dari kerancuan[8].
Kategorisasi utama dari segi kewajiban mencari ilmu adalah pembagian ilmu menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang wajib bagi tiap-tiap individu muslim mengetahuinya. Mencakup ilmu yang berkenaan dengan i’tiqad (keyakinan). Ilmu-ilmu yang menyelamatkan dari keraguan (syakk) iman. Tujuan ilmu ini untuk menghilangkan kekeliruan iman, dan bisa membedakan antara yang haq dan bathil. Dimensi lain – dari ilmu fardhu ‘ain – adalah ilmu-ilmu yang berkenaan dengan perbuatan yang wajib akan dilaksanakan. Misalnya, orang yang akan berniaga wajib mengetahui hukum-hukum fiqih perniagaan, bagi yang akan menunaikan haji wajib baginya memahami hukum-hukum haji. Dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang harus ditinggalkan seperti sifat-sifat tidak terpuji dan lain-lain.
Sedang ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya. Dalam fardhu kifayah, kesatuan masyarakat Islam secara bersama memikul tanggung jawab kefardhuan untuk menuntutnya.
Dinamisasi konsep fardhu ‘ain dan fardlu kifayah sangat signifikan menunjang pembaharuan pendidikan yang lebih beradab. Dalam perspektif Imam al-Ghazali, pengajaran yang baik itu bukan bersifat juz’i (parsial) tapi kulli (komprehensif). Kulli maksudnya, kurikulum yang membentuk kerangka utuh yang menggabungkan seluruh ilmu agama seperti tauhid, tasawuf, dan fikih. Menggabungkan antara ilmu agama dengan keterampilan duniawi. Tujuan kurikulum ini adalah membentuk mental ilmuan yang holisitik – pakar di bidang ilmu aqli sekaligus tidak buta ilmu syar’i[9]. Kekeliruan dalam pendidikan, menurut al-Attas disebabkan oleh ketimpangan dalam memahami ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Sehingga menyebabkan kekacauan intelektual.
Al-Attas menyatakan bahwa fardhu ‘ain bukanlah suatu kumpulan ilmu pengetahuan yang kaku tertutup. Cakupan fardhu ‘ain sangat luas sesuai dengan perkembangan dan tanggung jawab spiritual, sosial dan professional sesesorang. Hal ini berarti bahwa Muslim diwajibkan menguasai ilmu-ilmu yang membantu memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi seperti ilmu dan ketrampilan membaca, menulis dan menghitung. Sedang ilmu fardhu kifayah al-Attas membagi menjadi delapan disiplin ilmu; ilmu kemanusiaan, ilmu alam, ilmu terapan, ilmu teknologi, perbandingan agama, ilmu kebudayaan Barat, ilmu linguistik dan ilmu sejarah[10].
Secara umum, ilmu dalam Islam tidak memisahkan antara ilmu, iman dan amal. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Hazm, ilmu dan iman berasal dari Tuhan untuk tujuan yang sama, yaitu menerima secara totalitas kebajikan sebagaimana ditentukan Tuhan dalam al-Qur’an dan Hadis. Karena itu, ilmu yang ber-worldview sekuler harus diislamkan.
Mengembalikan Tradisi Ilmu Keislaman
Berdasarkan penjelasan di atas, ilmu adalah motor penggerak pemikiran dan aktifitas manusia. Tinggi rendahnya martabat manusia ditentukan oleh faktor ilmu. Karena itu, ilmu memiliki perhatian penting dalam tradisi Islam. Hal tersebut misalnya, dapat dilihat, Nabi Muhammad Saw dan generasi gemilang setelahnya, dalam setiap episode historisnya selalu memberi titik berat kepada pengembangan tradisi keilmuan. Sebabnya, epistemologi – yang menjadi kerangka ilmu – adalah sentra aktifitas manusia.
Ilmu dan ilmuan dalam hal ini menjadi prioritas paling utama. Karena sebagaimana dalam hadis: ”Dua macam golongan dari umatku (yang memegang peran penting). Bila mereka baik, maka baiklah umat manusia, dan bila mereka rusak maka rusakklah umat manusia. Ingatlah, mereka adalah pemimpin pemerintah dan ulama (HR. Ibn Abdil Barr dalam Ihya Ulum al-Din).
Hasil pemikiran manusia yang berasas epistemologi kokoh tentu tidak lah sama dengan produk pemikiran manusia yang kerangka keilmuannya tidak jelas, atau bahkan salah. Oleh karena itulah, sejak zaman Nabi Muhammad, tradisi ilmiah tumbuh dan berkembang. Salah satunya yang terkenal adalah, komunitas Ilmiah Ashabu al-Suffah. Tradisi intelektual zaman Nabi Muhammad tersebut dapat dibuktikan dengan wujudnya madrasah Ashabu al-Suffah yang diikuti oleh sekitar 70 orang sahabat Nabi saw.
Sekolah Rasulullah yang pertama tersebut didirikan sekitar kurang lebih 17 bulan sesudah Hijrah telah melahirkan generasi sahabat yang memiliki tingkat intelektualitas yang hebat, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Abdullah bin Mas’ud. Peran madrasah ini begitu sentral, sebab, dari komunitas kajian ilmu inilah pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) tersistemasi yang berasas al-Qur’an dan al-Sunnah. Ada sesuatu yang berbeda di madrasah itu ketika bulan suci datang. Kajian-kajian ilmu itu, memberi tekanan khusus pada pendalaman al-Qur’an setiap bulan suci Ramadlan. Memasuki bulan Ramadlan, kajian-kajian tentang al-Qur’an menjadi semakin meningkat dan diikuti oleh para sahabat lain. Hingga, tradisi ini turun-temurun dicontoh oleh kaum muslimin di penjuru dunia hingga generasi sekarang.
Tradisi keilmuan di madrasah Ashabu al-Suffah tersebut diteruskan dan dikembangkan, sampai akhirnya peradaban Islam mampu menghegemoni dunia yang membentuk mental keilmuan seorang muslim. Seorang Orientalis, Fitcha, menggambarkan tradisi ilmu di Cordoba begitu hebat, hingga ia menyimpulkan, Islam itu gemar membaca dan menulis dan Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk memperolah pengetahuan. Kekagaman Fitcha cukup beralasan, sebab di Cordova itu terdapat sebuah tempat untuk menyalin buku, yang menggunakan 200 lebih gerobak, yang digunakan untuk memindahkan buku-buku, yang diperuntukkan kepada mereka yang membutuhkan buku-buku langka untuk disalin.
Kegiatan ilmu adalah aktifitas sangat tinggi nilainya di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Melalui ilmulah manusia dapat mengenal Allah dan memahami cara beribadah kepada-Nya dengan benar.
Tradisi keilmuan ini perlu dibiasakan, mengingat tantangan terbesar muslim kontemporer menurut Syed Naquib Al-Attas adalah rusaknya Ilmu. Rusaknya konsep ilmu akan berkonsekuensi pada kerusakan pemikiran dan metode memahami Islam. Apalagi, sebagaimana difatwakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, kerusakan umat diakibatkan oleh kejahatan intelektual muslim (ulama’). ”Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk”, kata Rasulullah.
Oleh sebab itu, diskusi ilmu dan kajian ilmiah tak kalah mulyanya dengan ibadah shalat dan sedekah di bulan Ramadlan. Bahkan pada masa dimana kerusakan ilmu merajalela, kajian ilmiah barangkali lebih utama. Ditegaskan oleh Ibnu Abbas ”Mendiskusikan ilmu pada sebagian malam lebih saya sukai daripada menghidupkan malam itu.” Apalagi pada masa kini, kejahilan tidak sama dengan kejahilan yang pernah dialami oleh ulama’-ulama dahulu.
Kini, kejahilan bukan saja kekurangan ilmu, akan tetapi kekacauan ilmu (confusion of knowledge). Kekacauan ilmu ini akibat invasi konsep-konsep sekular yang menghegemoni studi-studi Islam.
Menurut al-Attas, invasi Barat ke dunia Islam menyebabkan kerugian tidak sekedar fisik, tapi juga pergeseran cara pandang, utamanya cara pandang keilmuan. Salah satu isu penting dalam keilmuan adalah sumber-sumber ilmu.
Jalur utama mendapat ilmu menurut Barat modern adalah panca indera dan nalar belaka. Karena sumber ilmu menurut Barat hanya terbatas pada panca indera dan akal saja, maka produk-produk keilmuan yang dianggap layak sebagai sarana hidup juga terbatas kepada yang bisa dicerna oleh panca indera dan dinalar oleh akal.
Dengan pola pikir seperti ini, ilmu-ilmu yang berbasis wahyu teriliminasi dan dianggap tidak layak menyelesaikan masalah kehidupan manusia. Ironisnya, pemikiran ini juga menjangkiti umat islam. Sebagai bukti, ketika melihat pendidikan misalnya, maka jurusan yang dipilih adalah jurusan yang menjanjikan pekerjaan. Hingga seakan-akan tujuan pendidikan bukan lagi mendidik, tapi dunia kerja.
Ini juga tidak saja terjadi pada jurusan-jurusan berbasis umum, jurusan agama juga mengalami hal yang sama, yaitu orientasi bukan ilmu, tapi orientasi materi. Inilah yang kata al-Attas telah terjadi pergeseran tentang posisi ilmu yaitu, mana yang utama dan yang sampingan. Al-Attas menyebutnya ilmu fardu ‘ain dan fardu kifayah. Umat tidak paham mana yang pertama dan mana yang kedua. Kalaupun paham, masih juga mengutamakan yang kedua dan meninggalkan yang pertama karena yang nampak di depan mereka materi yang akan diperoleh nantinya
Lalu bagaimana sebaiknya memahami sumber-sumber ilmu ini? Al-Attas merangkum dari beberapa arus pemikiran keilmuan para ulama, mulai dari para ulama mutkallimin, ulama tasawwuf, dari ulama falsafah, seperti al-Nasafi, Ibn Arabi, al-Ghazali, Ibn Sina dan lain-lain. Maka bagi al-Attas, manusia boleh mendapatkan ilmu itu melalui: informasi yang benar (khabar shadiq), intuition (hads dan ilham), intelek (’aql), dan indera (hawas).
Bagi Islam, semua sumber ilmu tidak bertentangan satu sama lainnya dan saling berhubungan. Namun demikian, masing-masing sumber ilmu itu mempunyai otoritasnya dan posisi serta derajatnya. Yang tertinggi adalah informasi yang benar, yang dalam kategori ini adalah wahyu. Sedangkan yang terendah adalah indera. Diantara yang tertinggi dan terendah, disitulah letaknya akal dan intuisi.
Niat mencari ilmu juga harus benar. Imam al-Ghazali menerangkan tipologi ilmu ketika dipelajari, ilmu akan mengkristal menjadi dua fenomena besar, menurut niatnya masing-masing. Pertama, ilmu yang dipelajari tidak karena Allah (li ghari lillah) memiliki karakteristik zann dan syakk (keragua-raguan). Orangnya akan puas dengan tujuan-tujuan eksternal, fisik atau material. Akibatnya, timbul kegelisahan dalam jiwa:khawf (takut pd prasangka yang tidak diketahui); huzn; khusr; (kesempitan hidup, derita dalam diri dan akal, depresi); hamm (risau pada bencana yang akan menimpa); ghamm; ‘usr; khasrah (penyesalan tanpa kesudahan). Kedua, ilmu yang dipelajari semata karena Allah (lillah). Ilmunya akan menanamkan i’tiqad imani yang kuat dalam hati. Sehingga orang dengan niat ini memiliki semangat yang tinggi, tidak cepat puas dalam pencapaian ilmunya. Hasilnya adalah yaqin, sukun nafs (ketenangan jiwa) , khasyatullah (takut pada Allah).
Penutup
Dengan kesepaduan sumber ilmu dalam Islam, ulama terdahulu telah menghasilkan berbagai macam keilmuan yang kaya raya, yang membuat decak kagum manusia seluruh dunia. Maka tak heran kalau orang mengatakan, ”Ex Oriente Lux” (Dari Timur Muncul Cahaya).
Sebaliknya, dengan terpengaruh oleh arus cara hidup dan cara pikir modern yang memporak porandakan sumber-sumber ilmu dalam Islam, umat Islam kini terbelakang dan oleh karenanya miskin produktifitas ilmu. Dengan demikian, salah satu jalan keluar terpenting bagi keterbelakangan umat ini adalah kembali lagi kepada sumber ilmu yang betul, lengkap dan mapan sesuai dengan yang dicontohkan oleh para pendahulu umat Islam.
[1] Imam al-Ghazali,Ihya Ulumuddin I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), hal. 33
[2] Al-Isfahani,Mufradat al-Fadzi al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), hal. 580
[3] Syed, Muhammad Naquib al-Attas,Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hal. 14
[4] Abdul Qohir al-Baghdadi,Al-Farqu Bainal Firaq,(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), hal. 249
[5] Wan Mohd Nor Wan Daud,Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat, dalam Jurnal Islamia No. 5 Thn II April-Juni 2005, hal. 52
[6] Syed Muhammad Naquib al-Attas,Ma’na Kebahagiaan dan Pengamalannya dalam Islam,(Kuala Lumpur: ISTAC, 2005), hal. 6
[7] Syamsuddin Arif,Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam dalam Jurnal Islamia No. 5 Thn II April-Juni 2005, hal.
[8] Wan Mohd Nor Wan Daud,Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,terj. (Bandung: Mizan,2003), hal. 270
[9] ibid
[10] Ibid, hal. 282