Oleh M. Anwar Djaelani
Karikatur Jawa Pos 20/08/2013 mengungkap secara gamblang masalah yang telah lama menjadi rasan-rasan publik. Bahwa, untuk mendengar nasihat keagamaan dari seorang ‘pendakwah kondang’, pihak pengundang harus menyiapkan ‘amplop tebal’.
Wah, Gawat!
Mari kita lihat karikatur itu. Ada dua orang sedang berhadapan. Orang pertama sangat kita kenal wajahnya karena sering tampil di televisi untuk memberi ceramah keagamaan. Di dagu orang itu bergantung sehelai label harga. Tampak mata dia mengerling kepada seseorang yang berbadan kecil dan berkopiah, yang dengan penuh harap berkata: “Kapan-kapan kami minta tarif diskon ya Ustad …”
Atas karikatur itu, publik paham bahwa ada seseorang yang sedang ‘dicubit’ oleh Jawa Pos. Jika melihat wajah dan materi kritiknya, jelas bahwa secara khusus karikatur itu ditujukan kepada seorang ‘pendakwah kondang’ yang di sekitar pekan kedua sampai keempat Agustus 2013 terlilit masalah.
Cermatilah, pada 24/08/2013 publik masih melihat tayangan di televisi ‘perseteruan’ sang pendakwah dengan pihak pengundang yaitu sebuah Kelompok Pengajian BMI (buruh migran Indonesia) di Hongkong. Sejauh yang dapat kita ikuti, rencana pengajian dari sang pendakwah di Hongkong -di September 2013- dibatalkan karena ketidakcocokan harga atau tarif yang dipatok sang pendakwah.
Kasus pendakwah di atas lebih menyadarkan kita bahwa ada yang harus kita benahi. Kasus itu seperti mengonfirmasikan kepada kita bahwa belakangan ini memang bermunculan banyak ‘pendakwah kondang’ yang memasang tarif tinggi.
Popularitas mereka terdongkrak cepat karena ‘jasa’ televisi. Dalam kaitan ini, sering publik tak peduli dengan kapasitas keilmuan dan ketinggian akhlaq dari sang pendakwah. Yang penting, pendakwahnya beken!
Ketika pendakwah ‘masuk’ televisi, maka dia –suka atau tidak suka- akan masuk juga dalam wilayah komersial. Sebab, dalam industri di dunia pertelevisian, semua acara didesain sebagai komoditas penarik iklan. Semakin banyak pemirsa di sebuah acara, semakin banyak pula iklan yang didapat. Dari biaya penayangan iklan-iklan itulah asal ‘amplop tebal’ yang diterima si pendakwah.
Sebagai akibat dari seringnya muncul di televisi, jadilah si pendakwah berlabel sebagai ‘pendakwah kondang’. Permintaan ceramah-pun deras datang mengalir kepadanya. Maka, untuk mengurus jadwal dakwah dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya si pendakwah membentuk ‘tim manajemen’.
Biasanya, ‘tim manajemen’ inilah yang berhubungan dengan pengundang. Dari berbagai sumber, tarif dari ‘pendakwah kondang’ itu variatif. Ada yang Rp. 15 juta, Rp. 20 juta, Rp. 25 juta, dan bahkan jauh di atas itu. Harga itu ‘bersih’, artinya belum termasuk tiket pesawat dan akomodasi pendakwah serta ‘tim manajemen’-nya.
Sungguh, dalam waktu yang cukup lama umat Islam direpotkan oleh fenomena ‘Pendakwah dan Tarifnya’ itu. Sering di rapat-rapat panitia yang akan mengadakan ‘Tabligh Akbar’ sebagian waktu dipakai hanya untuk membahas siapa yang akan diundang sebagai penceramah dan bisakah kas panitia menanggung tarifnya.
Atas kenyataan itu kita bersedih. Sebab, sebenarnya berdakwah itu amal yang mulia, yang pahalanya sudah disiapkan Allah. Untuk itu contohlah para Nabi. Pertama, tirulah Nabi Nuh a.s.! “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam” (QS Asy-Syu’ara`[26]: 109). Atas ayat itu, di Tafsir Al-Azhar HAMKA menulis, bahwa rupanya di mana-mana sejak dulu orang yang memperhambakan dirinya kepada benda, mengukur cinta dan maksud baik orang lain dengan benda pula. Sebab itulah Nuh mengatakan, “Pekerjaanku ini bukanlah meminta upah darimu. Tuhan yang mengutus aku, maka Dia-lah yang menyediakan upah untukku. Bukan upah benda, tetapi upah yang lebih tinggi dari benda.”
Kedua, contohlah Nabi Huud a.s.! “Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?”(QS Huud [11]: 51).
Ketiga, teladanilah Nabi Muhammad SAW! “Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS Saba’ [34]: 47).
Dengan demikian, bagi pendakwah yang aktif menyampaikan risalah Islam, mestinya tiga ayat di atas menjadi pedoman bahwa tak patut kiranya mengharap upah dari aktivitasnya. Lebih tidak patut lagi jika sampai mematok tarif yang sangat tinggi.
Kembali ke ‘Khiththah’
Berdakwah itu salah satu hakikatnya adalah memberi ilmu kepada orang lain. Di saat kita memberi sesuatu –entah ilmu atau yang lainnya- jangan pernah berharap balasan dari pihak yang kita beri. Cukuplah ridha Allah yang kita harapkan. “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS Al-Insaan [76]: 9).
Lalu, seperti apa sebaiknya pendakwah menempatkan diri? Pertama, dia sama sekali tak perlu menerima ‘amplop’. Untuk itu dia harus memiliki mata pencaharian yang hasilnya bisa menjamin kehidupan dia dan keluarganya plus keberlangsungan dakwahnya. Sekadar menyebut satu contoh, tirulah Imam Muslim. Kecuali sibuk mencari ilmu, menulis buku, dan aktivitas dakwah lainnya, Imam Muslim tetap aktif berusaha mencari nafkah. Dia termasuk di antara banyak ulama yang menghidupi diri dan dakwahnya dari hasil berdagang. Imam Muslim dikenal sebagai seorang pedagang pakaian yang sukses. Dia juga memiliki sawah-sawah yang menjadi sumber penghasilan keduanya.
Kedua, jikapun dia perlu menerima ‘amplop’ untuk menghormat ‘sebentuk apresiasi’ dari pengundang, maka terimalah jika besarannya tidak ditarif sebelumya dan besarannyapun wajar. Ukuran wajar, misalnya, ‘amplop’ itu sekadar cukup untuk biaya transportasi (jika dia tidak dijemput-antar oleh pengundang), untuk membeli buku-buku sebagai media penambah keilmuan dia, dan sejumlah keperluan lain yang sejenis dengan itu. Wallahu a’lam. []