Oleh: Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Menyusul musibah -seperti longsor di Banjarnegara pada 12/12/2014-, kita tundukkan kepala tanda duka: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un”.Berikutnya, bisakah kita menangkap pelajaran dari musibah itu?
Sebagian Tanda
Di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah, pada Jumat petang 12/12/2014 terjadi longsor dahsyat. Lebih dari setengah penduduknya tewas ditelan longsor. Rumah-rumah luluh-lantak, puluhan hektar sawah dan ladang hilang tak berbekas. “Ini tragedi mendalam bagi kami yang ditinggalkan. Desa dan keluarga kami hilang dalam sekejap, semuanya tertimbun tanpa tahu dosanya apa,” ujar Kepala Desa Sampang Purwanto (www.viva.co.id 19/12/2012).
Di berita di atas, ada yang menarik. Sang Kepala Desa berkata, bahwa “Semuanya tertimbun tanpa tahu dosanya apa”. Terkait ini, ada baiknya dia membaca berita di www.panjimas.com edisi 15/12/2014 yang berjudul: “Astaghfirullah, Ternyata, Ini Kisah di Balik Bencana Tanah Longsor Dusun Jemblung Banjarnegara”. Berikut petikannya:
Romi -relawan dari LSM Emergency and Crisis Response (ECR) yang turut melakukan evakuasi korban di lokasi bencana- menyingkap kisah. Bahwa berdasarkan informasi dari warga, di desa tersebut merajalela kemaksiatan dan kemusyrikan. “Di sana terkenal dengan klenik dan judi sabung ayam. Malah, akhir-akhir ini juga marak berdiri karaoke. Jadi tempat itu sudah terkenal dengan kondisi seperti itu,” kata Romi.
Apa yang disampaikan Romi, sepertinya terbukti. Pada 14/12/2014 Jokowi meninjau lokasi longsor di Banjarnegara. Saat itu, warga memperebutkan air dalam ember yang sebelumnya digunakan Jokowi untuk mencuci tangan dan kaki, serta membersihkan lumpur yang melekat di sepatunya.
Mereka ngalap berkah dengan membasuh muka dari air sisa cuci tangan Jokowi. “Buat barokah. Ini kan tadi sudah dipakai Presiden. Siapa tahu nasib berubah,” ujar salah seorang warga yang tampak kuyup kepala dan badannya.
Selain itu, kata Romi, bahwa dari cerita salah seorang warga yang selamat, longsor yang terjadi menjelang Maghrib itu tak seperti lazimnya. Tanah yang longsor itu seperti di-mixer.
Apakah ini yang pertama di Banjarnegara? Mari buka sejarah. Pada 22/11/2013 harian Kedaulatan Rakyat Jogjakarta lewat situsnya –www.krjogja.com– menurunkan feature: “Mengenang 58 Tahun Lenyapnya Dusun Legetang”. Berikut petikannya:
Di tengah sebuah hamparan ladang di Desa Pekasiran, sebuah desa di pegunungan Dieng Kecamatan Batur Banjarnegara, berdiri sebuah tugu beton menjulang tinggi. Pada salah satu sisinya, tertempel plat logam bertuliskan huruf kapital: TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955.
Beberapa orangtua di Pekasiran, masih ‘merekam’ kejadian itu. Suhuri (75), warga Pekasiran, merupakan salah satu saksi. Menurutnya, musibah terjadi malam hari pada musim hujan, sekitar pukul 23.00.
Suhuri mengaku melihat ada hal menarik. Katanya, antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman di dusun itu, sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter. “Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh tepat di pemukiman. Sangat aneh,” ujar Suhuri.
Atas cerita longsor di Banjarnegara pada 1955 itu, kini bandingkan dengan berita di www.republika.co.id 15/12/2014. Bahwa, di kejadian longsor Banjarnegara pada 12/12/2014 itu ada “Loncatan Tanah Mencapai 600 Meter,” kata Wahyu Pilopo dari Fakultas Geologi UGM.
Masih penasaran dengan bencana di Banjarnegara pada 1955 dan pernyataan pakar UGM pada 2014 di atas? Bacalah www.rumahbelajarku.wordpress.com yang pada 04/08/2010 menurunkan judul, “Kisah Desa yang Hilang di Daerah Dieng”. Situs itu menulis:
“Dukuh Legetang adalah sebuah daerah di lembah pegunungan Dieng, sekitar 2 km ke utara dari kompleks pariwisata Dieng Kabupaten Banjarnegara. Dahulunya masyarakat dukuh Legetang adalah petani-petani yang sukses sehingga kaya. Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya, apabila di daerah lain tidak panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah/sayur yang dihasilkan juga lebih dari yang lain. Namun barangkali ini merupakan ‘istidraj’ (disesatkan Allah dengan cara diberi rizqi yang banyak dan orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan)”.
“Masyarakat dukuh Legetang umumnya ahli maksiat dan bukan ahli bersyukur. Perjudian di sana merajalela, begitu pula minum-minuman keras (yang sangat cocok untuk daerah dingin). Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger (sebuah kesenian yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering berujung kepada perzinaan). Anak yang kawin sama ibunya dan beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di Dukuh Legetang”.
“Pada suatu malam turun hujan yang lebat dan masyarakat Legetang sedang tenggelam dalam kemaksiatan. Tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara ‘buum’, seperti suara benda yang teramat berat berjatuhan. Pagi harinya masyarakat di sekitar dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun sudah terbelah (bahasa Jawa-nya: tompal) dan belahannya itu ditimbunkan ke Dukuh Legetang”.
“Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tetapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Gegerlah kawasan Dieng. Seandainya gunung Pengamun-amun sekadar longsor, maka longsoran itu hanya akan menimpa di bawahnya. Akan tetapi kejadian ini bukan longsornya gunung”.
“Antara dukuh Legetang dan gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Jadi kesimpulannya, potongan gunung itu terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang. Siapa yang mampu mengangkat separo gunung itu kalau bukan Allah?”
Jangan Abai
Mari, jangan pernah lupa dengan ayat ini: “Perhatikanlah bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap berpaling (juga) (QS Al-An’aam [6]: 46). []