Oleh : Wendi Zarman
Direktur Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN) Bandung
Seabad silam atau sebelumnya tidak dikenal istilah sains Islam atau Islamisasi sains. Isu ini memang baru bergulir di sekitar tahun 1970-an seiring dengan berkembangnya berbagai kritik terhadap filsafat dan praktik keilmuan Barat dari tokoh-tokoh Islam seperti Syed Naquib al-Attas, Seyyed Hossein Nasr, dan Ismail al-Faruqi. Wacana ini adalah respon umat Islam terhadap paradigma keilmuan Barat sebagai paradigma paling berpengaruh dalam seabad terakhir yang dianggap memiliki banyak perbedaan dan pertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan, Syed Muhammad Naquib al-Attas secara tegas menyebutkan bahwa paradigma keilmuan Barat saat ini merupakan paradigma yang paling merusak sepanjang sejarah manusia.[1]
Seiring dengan perkembangan waktu, gagasan ini terus berkembang baik dari sisi konseptualnya maupun aplikasinya, khususnya di dunia pendidikan. Meski demikian, gagasan ini hingga saat ini belum sepenuhnya mapan dan masih banyak menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman di kalangan pelaku pendidikan Islam.Kesalahpahaman ini dapat dimengerti karena gagasan ini harus berhadapan dengan dominasi worldview sains modern yang sudah mapan selama ratusan tahun dan telah menyusup serta mengakar di dalam sistem pendidikan dunia Islam. Maka, ada dua tantangan besar yang akan dihadapi dalam hal ini. Pertama, adalah ketidakmampuan ilmuwan Muslim untuk menerjemahkan gagasan ini ke tingkat operasional di lingkup kurikulum pendidikan sekolah dan perguruan tinggi. Kedua, penolakan terhadap gagasan ini sendiri yang muncul bukan hanya dari kalangan non-Muslim, tetapi juga dari umat Islam sendiri.
Oleh karena itu sebelum mewujudkan gagasan Islamisasi ke dalam kurikulum, adalah penting bagi para ilmuwan dan praktisi pendidikan untuk memahami konsep dasar sains Islam secara utuh dan menyeluruh. Di sinilah letak pentingnya memahami pandangan hidup Islam (worldview of Islam) sebagai kerangka berpikir (framework) bagi Islamisasi kurikulum pendidikan sains.Tulisan berikut ini mencoba menjabarkan konsep-konsep dasar sains Islam dan cara mengaplikasikannya ke dalam sistem pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.
Prinsip-Prinsip Dasar Sains[2]dalam Islam
Sains Islam adalah sains yang tumbuh dan berkembang dalam pandangan hidup Islam. Dengan pengertian ini Islamisasi sains pada dasarnya adalah sebuah proses menempatkan sains dalam kerangka pandangan hidup Islam (worldview of Islam). Dalam bahasa al-Attas Islamisasi merupakan sebuah gerakan membebaskan pemikiran umat Islam dari kendali worldview sekuler dan kepercayaan dan tradisi lainnya yang bertentangan dengan Islam[3] yang selama ini disusupkan melalui berbagai media, salah satunya adalah pendidikan. Oleh karenanya, upaya ini bukan sekedar bermakna praktikal, tetapi juga fundamental karena menyentuh aspek keyakinan hidup seorang Muslim dan masyarakat Islam pada umumnya.
Penting untuk dipahami bahwa gagasan Islamisasi sains bukanlah untuk menolak sains Barat secara keseluruhan, sebab tidak semua yang dari Barat itu bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan tidak sedikit darinya yang bermanfaat bagi kemajuan dunia Islam.Di masa lalu pengembangan sains dalam tamadun Islam banyak mengambil pelajaran dari tamadun non-Islam yang sudah lebih dahulu berkembang seperti Yunani, Cina, atau India dengan terlebih dahulu menyeleksinya menurut timbangan ajaran Islam. Meski demikian, mungkin saja ada ilmuwan tertentu terpengaruh dengan pandangan hidup tamadun tersebut, namun sebagai suatu umat yang diikat oleh pandangan hidup yang kuat berkat terpeliharanya wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah), selalu ada dari kalangan umat Islam yang mengoreksi kekeliruan tersebut kepada pandangan hidup Islam yang lurus.[4]Islamisasi sains juga bukanlah sekedar labelisasi seperti matematika Islam, fisika Islam, astronomi Islam, dan seterusnya atau turunannya dalam bentukteknologi Islam seperti pesawat Islam, komputer Islam, atau mobil Islam.[5]Islamisasi sains juga hendaknya tidak dipersempit oleh aneka perbantahan mengenai kesesuaian al-Qur’an dengan teori sains modern yang terkadang tidak produktif bagi perkembangan sains dunia Islam.[6]
Untuk memahami sains dalam Islam perlu dipahami terlebih dahulu makna alam sebagai objek ilmu sains. Dalam pandangan hidup Islam, alam memiliki makna yang khas yang tercermin dari makna kata alam itu sendiri. Ditinjau dari Bahasa Arab, kata alam (‘ālam) berasal dari kata yang sama dengan ilmu (‘ilm), yaitu ‘-l-m (‘ain-lam-mim) atau ‘alam, yaitu adalah segala sesuatu selain Allah[7]. Dalam pandangan Islam, segala sesuatu selain Allah itu merupakan makhluk (ciptaan) Allah. Oleh karena itu alam pada hakikatnya merupakan ciptaan yang menunjukkan adanya sosok Pencipta (Khalik) makhluk tersebut, yaitu Allah Subḥānahu wa Taʻālā.
Acikgenc mengatakan bahwa terdapat dua jenis alam di dalam pandangan hidup Islam, yaitu alam syahādah (indrawi) dan alam ghaib (non-indrawi).[8] Pembagian seperti ini berulang kali disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an untuk menegaskan eksistensi kedua alam ini, terutama alam ghaib yang memang tidak dapat dipersepsi oleh indra manusia.[9] Alam syahādah (atau juga alam materi atau alam tabiʻi) adalah segala sesuatu yang dapat dipersepsi oleh indra seperti manusia, hewan, tumbuhan, air, dan benda mati lainnya, serta keseluruhan langit dan bumi. Alam jenis ini dapat diketahui melalui pengalaman dan penyelidikan manusia dengan menggunakan sarana akal dan panca indranya.
Adapun alam jenis kedua atau alam ghaib adalah alam yang berada di luar kemampuan indra manusia untuk mempersepsinya seperti malaikat, jin, setan, iblis, surga, neraka, alam kubur, hari kebangkitan, dan lain-lain. Tidak ada seorang pun selain Allah yang mengetahui hal ghaib, termasuk Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wasallam sekalipun, melainkan sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada beliau.[10] Tidak ada perintah Allah agar manusia menyelidiki alam ini, karena semua informasi mengenai alam ini diberitahukan Allah melalui wahyu. Meskipun tidak dapat dirasakan oleh indra, semua hal ghaib yang diwahyukan ini wajib diyakini kebenarannya tanpa keraguan, bahkan keyakinan kepada hal yang ghaib merupakan salah satu pilar penting keimanan (rukun iman) bagi seorang Muslim. Penolakan terhadap alam ghaib yang diterangkan di dalam wahyu merupakan suatu bentuk kekufuran. Shihab mengatakan bahwa beriman kepada yang ghaib adalah tangga manusia untuk melewati tingkatan binatang yang tidak mengetahui kecuali yang bisa dicapai oleh panca indranya.[11]
Al-Qur’an menjelaskan bahwa alam ini disediakan Allah untuk memberi manfaat bagi manusia di dunia.[12] Sebagian dari manfaat alam itu masih berupa potensi-potensi dan baru bisa dimanfaatkan setelah melalui pengolahan tertentu. Hal ini menuntut manusia memiliki kemampuan untuk mengolah berbagai benda atau makhluk-makhluk di alam. Untuk dapat mengolah semua ini manusia memerlukan ilmu sains untuk mengetahui bagaimana cara kerja alam. Tanpa sains, banyak sekali potensi alam yang hanya akan menjadi bahan mentah yang masih terbatas manfaatnya. Itu berarti ilmu sains merupakan kunci bagi manusia untuk bisa mengaktualisasikan manfaat alam tersebut.
Ilmu sains tersebut dimungkinkan untuk berkembang karena Allah telah menciptakan alam ini dengan keteraturan sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh karena itu manusia disuruh Allah untuk memperhatikan dan mempelajarinya dengan mengembangkan sains agar bisa mengetahui pola-pola yang terdapat di alam. Semua manfaat-manfaat tersebut menunjukkan bahwa alammerupakan pengejawantahan kewujudan Allah berikut kebaikan-kebaikan-Nya sementara manusia tidak sedikit pun memiliki peran dalam penciptaan semua ini dan oleh karenanya ia berhutang kepada Tuhannya. Dengan merasakan manfaat alam ini diharapkan tumbuh rasa syukur manusia terhadap pemberian Tuhannya yang kemudian mendorongnya untuk menjadi hamba Allah yang baik.
Untuk memahami alam ini, manusia tidak hanya diberikan karunia berupa indra dan kecerdasan akal saja, tetapi juga wahyu. Melalui wahyu ini Allah membuka mata manusia mengenai berbagai isyarat ilmiah yang ada di alam. Dalam banyak kasus, informasi al-Qur’an dapat berperan memberikan informasi yang penting guna membantu manusia memahami pola-pola alam. Hal itu ditunjukkan al-Qur’an lewat berbagai ayat yang berbicara tentang isyarat-isyarat ilmiah diantaranya tentang proses penciptaan manusia[13], khasiat madu bagi kesehatan[14], pergerakan benda langit[15], pergerakan air[16], dan lain sebagainya. Hasil penelitian Maurice Bucaille, seorang ahli kedokteran Perancis, menunjukkan bahwa tidak terdapat kontradiksi antara ayat al-Qur’an dengan hasil penelitian sains modern.[17]
Shihab mengatakan bahwa al-Qur’an sejatinya bukan kitab sains sebagaimana kitab sains lainnya, melainkan kitab petunjuk bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Menurutnya, untuk mendukung fungsinya sebagai kitab petunjuk itu, maka tidak heran al-Qur’an memuat berbagai macam ilmu pengetahuan, termasuk pengetahuan sains, di dalamnya. Pengetahuan ini dipaparkan dalam redaksi yang singkat dan sarat makna yang dapat memuaskan akal siapapun, baik orang kebanyakan atau orang pemikir.[18]Itu berarti isyarat-isyarat ilmiah di dalam al-Qur’an membutuhkan pengkajian lebih lanjut untuk menguak rahasia-rahasia yang ada di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian sains dalam pandangan Islam tidak hanya dibatasi pada spekulasi rasional dan pengamatan terhadap fenomena awal sebagaimana yang dianjurkan dalam metode saintifik (scientific methods), tetapi juga melalui pengkajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Sifat finalitas al-Qur’an sebagai firman Allah telah membebaskan kitab itu dari segala bentuk koreksi dan kesalahan. Itu sebabnya al-Qur’an sebenarnya bukan saja dapat menjadi sumber maklumat awal untuk penelitian sains, melainkan juga harus menjadi ukuran untuk menilai keabsahan teori-teori sains. Oleh karena itu juga, teori-teori sains yang bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalam al-Qur’an dengan sendirinya tidak dapat diterima. Hal yang sama juga berlaku bagi hadits-hadits Nabi yang terpercaya, karena al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan dua sumber ilmu yang paling utama dan tidak terpisahkan. Meskipun sabda Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bukanlah kalam Allah, namun perkataan beliau juga merefleksikan wahyu Allah. Sebab, pada dasarnya perkataan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam merupakan pengetahuan yang berasal dari Allah juga dan bukan hasil pemikiran spekulatif Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam belaka.[19] Sejumlah kajian mengenai hadits-hadits Nabi (termasuk yang dipandang janggal bagi sebagian orang seperti membenamkan lalat yang jatuh ke dalam minuman) menunjukkan perkataan beliau dapat dibenarkan jika ditinjau berdasarkan ilmu pengetahuan modern.[20]
Meski demikian, al-Qaththan mengingatkan perihal kekeliruan yang banyak dilakukan orang yang mencoba menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dengan teori-teori sains yang baru.[21] Padahal teori-teori sains bersifat terbuka terhadap koreksi sehingga senantiasa berkembang dari waktu ke waktu, bahkan tidak jarang perubahan itu terjadi pada teorinya yang paling asas sekalipun. Sementara al-Qur’an adalah kitab yang final dan mutlak yang tidak mungkin salah karena berasal dari Allah sehingga tidak mungkin adanya koreksi terhadapnya di kemudian hari.[22] Menurutnya kemukjizatan al-Qur’an terletak pada dorongannya kepada manusia untuk berpikir dan menggunakan akal serta memikirkan alam yang mana dorongan ini tidak ditemukan pada kitab suci lainnya.[23] Selain itu, kemukjizatan al-Qur’an adalah berarti bahwa tidak adanya pertentangan antara al-Qur’an dengan kaidah ilmu pengetahuan yang telah valid dan mantap.[24]Dengan demikian, al-Qur’an dalam konteks ini berfungsi untuk membimbing manusia memahami alam secara benar sehingga dapat mengantarkannya pada keimanan kepada Allah. Al-Qaththan mengatakan, “Al-Qur’an menjadikan pemikiran yang lurus dan perhatian yang tepat terhadap alam dan segala apa yang ada di dalamnya sebagai sarana terbesar untuk beriman kepada Allah.”[25]
Al-Qur’an menjelaskan bahwa alam ini diciptakan Allah bukan untuk main-main, tapi memiliki tujuan[26]. Tidak ada satu makhluk pun yang diciptakan Allah sia-sia tanpa makna[27], bahkan hal-hal remeh seperti seekor nyamuk pun memiliki makna di sisi Allah.[28] Hal ini menunjukkan bahwa penciptaan semua benda dan kejadian di alam ini sebenarnya mengandung pelajaran, meskipun dalam pandangan lahiriah yang dangkal hal itu terkadang tidak disadari, kecuali oleh orang-orang yang memadukan kegiatan berpikir dan berzikir, atau antara kegiatan ilmiah dengan ibadah.[29] Dengan memadukan kedua aktivitas ini diharapkan makna-makna yang ada di balik kejadian-kejadian alam menjadi jelas sehingga manusia dapat semakin mengenal Allah dan mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan-Nya.
Di dalam al-Qur’an Allah berulang kali menyebut alam semesta sebagai ayat-ayat Allah.Sebagaimana diketahui, kata ini juga merupakan sebutan untuk kandungan al-Qur’an sendiri. Kesamaan penggunaan istilah ini menunjukkan eratnya kaitan antara kedua hal ini. Secara literal, kata ayat berarti tanda atau lambang. Lambang adalah sesuatu yang mencerminkan keberadaan sesuatu yang lain. Hal itu berarti realitas lambang tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan bergantung pada apa yang dilambangkannya itu. Penggunaan istilah ayat ini mencerminkan sebuah pandangan bahwa hal yang paling esensial dalam penelitian sains menurut al-Qur’an bukanlah memahami alam itu sendiri, tetapi menangkap makna yang berada di balik alam tersebut, yaitu kewujudandan kemahakuasaan Sang Khalik (Pencipta). Itu sebabnya al-Qur’an berulang kali mendorong manusia untuk menggunakan indranya untuk memperhatikan alam dan menggunakan akalnya untuk memikirkannya.
Bakar mengakui bahwa meskipun al-Qur’an bukanlah kitab sains, namun ia memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip sains dan mengaitkannya dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa perintah al-Qur’an untuk “membaca dengan nama Tuhanmu” bahwa pencarian ilmu, termasuk ilmu sains, harus didasarkan pada fondasi pengetahuan mengenai realitas Tuhan.[30]Hal ini menunjukkan bahwa pandangan Islam terhadap alam tidak semata-mata bersifat kebendaan (materialistik) tetapi juga terkait erat dengan keyakinan-keyakinan suprarasional. Dengan kata lain, sains dalam pandangan Islam haruslah semakin meneguhkan keimanan seseorang.
Di titik inilah konsep sains dalam paham modern dengan Islam berpisah jalan. Dalam paradigma sains modern, penelitian alam bertujuan memahami alam sebagai sebuah realitas yang berdiri sendiri yang tidak berkaitan dengan makna ruhani apapun. Fokus perhatiannya diarahkan kepada alam itu sendiri sebagai realitas yang berdiri sendiri, terlepas apakah Tuhan itu ada atau tidak. Oleh karena itu perhatian terbesar sains modern ditujukan untuk mengungkap rahasia alam itu sedalam-dalamnya, baik untuk diambil manfaatnya bagi kepentingan hidup manusia atau sekedar memenuhi rasa keingintahuan manusia saja. Sebaliknya di dalam Islam penelitian alam bukan hanya bertujuan untuk memperoleh manfaat praktisnya bagi kehidupan, tetapi juga bertujuan untuk menggali makna spiritual yang ada di baliknya. Oleh karenanya kedua tujuan ini harus berjalan beriringan. Indikasi kesepaduan tujuan ini dapat dilihat dari cara al-Qur’an dalam menggambarkan berbagai kejadian di alam dengan cara menyandingkan penggambaran kejadian tersebut dengan pengungkapan sifat-sifat Allah. Semua ini untuk memberitahukan dan menegaskan kewujudan, kekuasaan, kemurahan, dan keagungan-Nya, sehingga manusia memahami dan mengenal siapa yang berada di balik semua kejadian di alam ini.
Allah menyebutkan bahwa sebagian ayat al-Qur’an ada yang jelas (muḥkamāt) dan ada pula yang samar maknanya (mutasyābihāt).[31] Demikian juga kesamaan al-Qur’an dan alam sebagai ayat-ayat Allah menyiratkan pula bahwa alam pun juga tersusun dari ayat-ayat yang jelas dan yang samar maknanya.[32] Keduanya harus dilihat dalam kesatuan pandangan (tauhidik) yang saling melengkapi (komplementer) satu dengan lainnya. Sebab keduanya adalah ayat-ayat Allah yang di dalamnya terkandung berbagai petunjuk kehidupan. Ada ayat al-Qur’an yang mulanya masih samar maknanya dan baru dipahami di kemudian hari setelah diungkapkan oleh penelitian sains. Misalnya, al-Qur’an mengisyaratkan tentang gerakan benda-benda langit yang bergerak teratur pada suatu lintasan.[33] Ketika ayat itu turun, ilmu astronomi belum berkembang seperti sekarang sehingga konsep lintasan ini belumlah benar-benar dipahami. Namun ketika ilmu astronomi telah berkembang, maka ayat tersebut menjadi jelas maknanya. Demikian juga, ada isyarat-isyarat alam yang tidak begitu jelas maknanya menjadi dapat dipahami setelah diperoleh pemahaman terhadap pesan yang ada di dalam al-Qur’an (dan juga hadits). Misalnya, ilmuwan Muslim banyak merujuk al-Qur’an dalam mengembangkan teori tentang psikologi manusia. Begitu juga sabda Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam banyak dipakai sebagai rujukan ilmu kedokteran atau kesehatan.
Dengan cara pandang seperti di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu yang dihasilkan dari kegiatan memperhatikan dan merenungkan penciptaan alam ini sekurangnya memiliki dua tujuan pokok. Pertama, tujuan spiritual atau ruhaniah, yaitu agar menjadi sarana manusia mengenal Allah. Kedua, tujuan praktis atau lahiriah, yaitu agar pola-pola alam dapat dipahami sehingga manusia dapat mempertahankan hidupnya dari berbagai kesulitan dan mengolah alam untuk diambil manfaatnya. Tujuan pertama merupakan tujuan yang tertinggi, sebab ia terkait erat dengan tujuan penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah.[34] Sekiranya manusia tidak mengenal Allah, maka tidak mungkin manusia dapat beribadah kepada-Nya. Semakin dalam pengenalan seseorang kepada Allah, maka semakin besar pula kualitas ibadahnya kepada Allah.
Kedua tujuan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan harus berjalan bersama-sama, sebab tujuan kedua berfungsi untuk menyempurnakan tujuan pertama, dan begitu pula sebaliknya. Ketika manusia meneliti alam agar dapat merasakan manfaat dari alam, maka hal itu akan menjadi jalan baginya semakin bersyukur kepada Allah sebab semua manfaat itu tidak dapat diperolehnya kecuali dengan pertolongan Allah. Sedangkan ketika manusia meneliti alam ini sebagai upaya semakin mengenal Allah, maka manusia akan memanfaatkan alam ini dengan cara-cara yang diridhai Allah sehingga alam ini terjaga dari berbagai kerusakan yang dapat merugikan manusia sendiri.
Penerapan pada Kurikulum Sains di Perguruan Tinggi
Dalam konteks pendidikan, perguruan tinggi memiliki peranan yang sangat strategis dalam pengembangan sains Islam. Peranan ini sekurangnya dalam dua hal. Pertama sebagai lembaga terdepan dalam penelitian dan pengembangan sains Islam baik secara konseptual maupun praktikal, dan kedua sebagai institusi pencetak guru-guru yang akan bertugas mendidik murid-murid di sekolah tingkat dasar dan menengah.Maka, keberhasilan Islamisasi pendidikan sains di perguruan tinggi diharapkan akan memberikan sumbangan berarti untuk memutus rantai pemikiran sekuler di dalam pikiran umat Islam, khususnya melaluipendidikan sains.
Konsep sains yang dibentuk atas dasar worldview Islam sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya dengan sendirinya meniscayakan sejumlah perbedaan mendasar dengan sains modern yang (sekuler) dalam aspek hakikat alam serta tujuan, epistemologi, metodologi, dan etika dalam sains. Oleh karena itu ada beberapa agenda penerapkan paradigma sains Islam ke dalam kurikulum perguruan tinggi.
Agenda pertama adalah merevisi tujuan pendidikan versi pendidikan vokasi yang terlalu berorientasi ekonomi kepada paradigma pendidikan yang bertujuan untuk mencetak manusia baik.Di sini perlu digarisbawahi bahwa tujuan pendidikan sains sejatinya tidaklah berbeda dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu membentuk manusia yang beriman dan bertakwa[35] sebagaimana teladan Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.Oleh karena itu penetapan kompetensi lulusan tidak semestinya dibatasi pada aspek akademik dan keterampilan saja, tetapi juga ketercapaian kualitas ruhaniah seorang agar menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa. Upaya ini hendaknya tidak dipahami bahwa menggunakan ilmu untuk keperluan duniawimerupakan hal yang dilarang di dalam Islam, namun tujuan ini harus diletakkan sebagai tujuan sekunder dan merupakan suatu rangkaian yang tidak terputus dengan tujuan tertinggi manusia yaitu mengabdi kepada Allah untuk mendapatkan ridha-Nya. Inilah yang dimaksud oleh Imam al-Ghazali bahwa pekerjaan-pekerjaan keduniawian yang ditujukan juga untuk memperoleh manfaat ukhrawi pada dasarnya bukanlah pekerjaan keduniawian.[36]
Agenda kedua adalah menambah porsi ilmu-ilmu keislaman berbasis wahyu dalam konteks ilmu fardhu ‘ain seperti aqidah, fiqih, tafsir Qur’an-Hadits, tasawuf, bahasa Arab, dan sejarah peradabanIslamke dalam struktur kurikulum perguruan tinggi. Ilmu-ilmu keislaman ini berfungsi untuk memberi suatu pandangan tauhidik bagi para saintis Muslim dalam memahami fenomena alam sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu agama dengan sains. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, baik alam maupun wahyu keduanya adalah ayat-ayat Allah sehingga pastilah membawa pesan yang sama sehingga tidak ada lagi kebenaran agama di satu sisi dan kebenaran sains di sisi lain. Sungguh disayangkan bahwa,alih-alih menambah, saat ini terdapat kecenderungan program studi bidang sains dan teknologi di banyak perguruan tinggi umum untuk mengurangi mata kuliah agama Islam.[37]Adanya tekanan yang munculdari paradigma pendidikan vokasi yang mendominasi saat ini telah membuat sebagian besarproses pendidikandi perguruan tinggi diarahkan untuk mencetak lulusan dengan spesialisasi yang sempit. Akibatnya, mata kuliah yang tidak relevan dengan tujuan ini, termasuk Pendidikan Agama Islam salah satunya, terpaksa direduksi jumlah SKS-nya atau kalau perlu dihilangkan sama sekali. Sekiranya undang-undang negara tidak mewajibkan perguruan tinggi menyediakan kuliah pendidikan agama, besar kemungkinan kuliah Pendidikan Agama Islam benar-benar hilang dari kurikulum di program studi sains dan teknologi.
Agenda ketiga, adalah melakukan proses dewesternisasi, yaitu membersihkan unsur-unsur worldview Barat di dalam sains modern yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Membersihkan di sini bukan dalam pengertian memberangus semua pencapaian sains yang telah diraih selama ini melainkan mengkritisi dan meluruskan penafsirannya terhadap alam yang bermasalah seperti konsep-konsep metafisikanya yang mencerminkan penolakannya terhadap keberadaan Tuhan dan kemahakuasaan-Nya, kepercayaannya terhadap keqadiman dan keabadian materi dan energi (hukum kekekalan energi dan materi), teorinya mengenai asal-usul makhluk secara spontan dan acak (teori evolusi), penafiannya terhadap wahyu sebagai sumber ilmu, teorinya tentang manusia sebagai makhluk jasmaniah semata dan menolak eksistensi ruh, serta doktrin metode saintifiknya sebagai satu-satunya metode mencari kebenaran yang sah (saintisme). Proses dewesternisasi ini juga meliputi praktik-praktik sains yang selama ini berkembang perlu ditimbang baik buruknya berdasarkan syariat Islam. Sains Islam harus mampu memberi solusi alternatif bagi praktik-praktik sains dan teknologi yang tidak baik seperti penggunaan pestisida untuk tanaman, penggunaan bahan-bahan tidak halal dan berbahaya dalam pembuatan makananan dan obat-obatan, atau eksploitasi berlebihan terhadap alam tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan.
Agenda keempat, adalah menerapkan adab-adab pendidikan Islam dalam keseluruhan proses pendidikan di perguruan tinggi. Menuntut ilmu haruslah dipandang sebagai sebuah keutamaan yang tinggi, sebagai suatu ibadah dan jihad di jalan Allah, sehingga orang-orang yang melakukannya haruslah orang-orang yang terpilih. Diantara caranyaadalah menerapkan kriteria akhlak dalam penerimaan mahasiswa baru disamping kriteria-kriteria akademik.Hal yang sama juga semestinya berlaku bagi para dosen dan tenaga kependidikan. Selain itu munculnya keutamaan-keutamaan ruhaniah[38] harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan yang direncanakan secara seksama dan berkelanjutanserta digunakan sebagai alat penilaian keberhasilan belajar. Hal ini penting dilakukan sebab lulusan perguruan tinggi adalah golongan terdidik yang paling tinggi tingkatannya di dalam masyarakat sehingga golongan tersebutpada waktunya akan menjadi pemimpin-pemimpin masyarakat dalam berbagai tingkatan. Dengan demikian mereka ini seharusnya bukan saja merupakan kelompok masyarakat yang paling mendalam pengetahuannya, melainkan juga menjadi orang yang paling baik akhlaknya dan paling besarnya manfaatnya bagi masyarakat. Tidaklah berguna, bahkan cenderung berbahaya, orang yang berpengetahuan luas namun tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri sehingga berbuat zalim terhadap dirinya sendiri dan orang lain.
Agenda kelima adalah menggali kembali khazanah keilmuan sains ilmuwan dan ulama Muslim masa lalu dan mempublikasikannya secara intensif lewat berbagai media, termasuk di dalamnya buku teks yang digunakan di sekolah-sekolah. Oleh karena itu, disamping matakuliah sains yang bersifat teknis-matematis dan eksperimental, program studi sains perlu juga memasukkan materi-materi filsafat dan sejarah sains dari perspektif Islam. Di samping itu, juga tak ada salahnya program studi membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk mengadakan penelitian karya-karya sains ilmuwan Muslim seperti Ibnu Haitsam, Jabr Ibnu Hayyan, al-Razi al-Khawarizmi, al-Biruni, al-Jazari, al-Ghazali, Ibnu Sina, Nashirudin al-Tusi, dan lainnya. Mengingat karya ini umumnya ditulis dalam bahasa Arab, maka pengajaran bahasa Arab di perguruan tinggi menjadi tidak terelakkan, sebagaimana halnya Bahasa Inggris. Upaya ini sangat bermanfaat untuk meluruskan sejarah yang cenderung bias Barat dan membangun kepercayaan diri umat Islam bahwa mereka mewarisi kegemilangan peradaban Islam masa silam. Selain itu hal ini dapat pijakan awal pengembangan sains Islam yang berguna untuk menghadapi tantangan zaman kekinian. Meskipun tidak menjadi kemestian, boleh jadi dari hasil penelitian ini akan berkembang konsep baru sains yang berbeda dengan yang ada sekarang yang akan membuat perubahan berarti bagi peradaban di masa mendatang.
[1]Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, cet. ke-2, Bandung : Pimpin, 2011, hlm. 165
[2] Sains yang dimaksud di sini adalah sains alam (natural sciences)
[3] Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, cet. ke-2, Bandung : Pimpin, 2011, hlm. 55
[4] Inilah yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali melalui karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik 20 pemikiran filosof (Ibnu Sina dan al-Farabi) yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani, salah satunya tentang keazalian alam.
[5] Salah satunya adalah komentar Dr. Ioanes Rahmat terhadap tulisan penulis Mengislamkan Sains : Apanya yang Diislamkan yang dimuat www.Hidayatullah.com : “Yang ingin saya temukan, misalnya matematika Islam, atau astronomi Islam, ilmu ukur Islam, ilmu kedokteran Islam, dll, apakah akan bisa ada dlm dunia ini? Misalnya, menurut ilmu ukur Islam, sudut siku-siku bukan 90 derajat, tapi 97 derajat, sudut lingkaran bukan 360, tapi 357 derajat. Atau, Dr. Zarman bisa usulkan, menurut kosmologi Islam, jagat raya kita baru berusia 6000 tahun, bukan 13,72 milyar tahun. Atau, Dr. Zarman bisa usulkan, menurut ilmu kedokteran Islam, segumpal janin dalam rahim seorang ibu memerlukan masa 2 tahun dalam kandungan sebelum dilahirkan sebagai seorang bayi yang sehat. Atau, dalam neurobiologi Islam, Dr. Zarman dapat mengusulkan bahwa setiap insan Muslim berpikir tidak dengan mekanisme neurologis dalam otak, tetapi dengan mekanisme kardiologis dalam jantung. Nah, sains-sains Islam yang khas dan unik ini yang saya mau temukan dari pemikiran Dr. Zarman. Tapi dia tidak menyodorkannya; padahal saya berharap minimal contoh-contoh kecilnya saja dapat saya temukan dalam tulisannya.”(Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern, Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013, hlm. 84-85).
[6] Salah satu contohnya adalah buku Matahari Mengelilingi Bumi karya Ahmad Sabiq (Pustaka al-Furqon, 2006) yang berisi tentang argumentasi penulis tentang kebenaran matahari mengelilingi bumi (geosentrisme) berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Buku ini memancing banyak perdebatan di internet karena sains modern menyatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari (heliosentrisme). Padahal, kedua pandangan tersebut sama benarnya, tergantung pada kerangka acuan yang dipilih. Jika matahari dijadikan kerangka acuan tetap, maka bumilah yang mengelilingi matahari. Sebaliknya, jika bumi dijadikan kerangka acuan yang tetap, maka mataharilah yang mengelilingi bumi.
[7]Omar M. Al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, hlm 58
[8] Alparslan Acikgenc, “A Concept of Philosopy in the Qur’anic Context”, American Journal of Islamic Social Sciences, 11 : 2, 1994
[9] Lihat QS. az-Zumar [39] : 46, al-Mu’minuun [23] : 92, al-Hasyr [59] : 22, at Taubah [9] : 105
[10] QS. Al-An’aam [6] : 50
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1, Jakarta : Lentera Hati, 2002, hlm 111
[12] QS. Ibrahim [14] : 32-33, an-Nahl [16] : 12-14, al-Hajj [22] : 65
[13] QS. al-Mu’minuun [23] : 12-14
[14] QS. an-Nahl [16] : 69
[15] QS. Ibrahim [14] : 33
[16] QS ar-Ra’d [13] : 17
[17] Maurice Bucaille, Bible, Qur’an dan Sains Modern, Jakarta : Bulan Bintang, 1978
[18] M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung : Mizan, 2003, hlm. 165-166
[19] QS al-Haaqqah [69] : 44-47
[20] Said Hawwa, Ar-Rasul Ṣhallallâhu ‘Alaihi Wasallam, Jakarta : Gema Insani Press, 2007, hlm. 44-60
[21] Manna’ Khalil al-Qaththan, , Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta : Litera Antarnusa, 2010, hlm 385
[22] QS. al-Baqarah [2] : 2
[23] Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, hlm. 386
[24] Ibid, hlm. 387
[25] Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an,, hlm. 387
[26] QS. Shaad [38] : 27, al-Anbiyaa’ [21] : 16, az-Zumar [39] : 5
[27] QS. Ali ‘Imran [3] : 191
[28] QS. Al Baqarah [2] : 26
[29] QS. Ali ‘Imran [3] : 191
[30] Osman Bakar, Tauhid dan Sains : Perspektif Islam mengenai Agama dan Sains, Edisi Revisi, Bandung : Pustaka Hidayah, 2008, hlm 149
[31] QS. Ali ‘Imrān-3 : 7. Redaksi ayat ini berbunyi : “Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muḥkamāt, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyābihāt…” Pengertian ayat-ayat muḥkamāt adalah ayat-ayat yang terang maksudnya. Sedangkan pengertian ayat-ayat mutasyābihāt adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud, kecuali setelah diselidiki maksudnya secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib, misalnya ayat-ayat mengenai kiamat, surga, neraka, dan lain-lain. (Lihat, Al-Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan berdasarkan kerjasama pemerintah RI dan Arab Saudi, 1971)
[32] Syed Muhammad Naquibal-Attas, Islam dan Filsafat Sains, Bandung : Mizan, 1995, hlm. 66
[33] QS. al-Anbiyaa’ [21] : 33
[34] QS. Adz Dzaariyaat [51] : 56
[35] Tujuan ini secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31:2, Undang-Undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3.
[36] Imam al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin (diterjemahkan oleh KH. Abdullah bin Nuh), Bogor : Yayasan Islamic Center al-Ghazaly, 2010, hlm. 75
[37] Misalnya, ITB pada tahun 1995 masih menerapkan 4 SKS matakuliah Agama Islam (2 semester), sekarang hanya tinggal 2 SKS (1 semester).
[38] Perlu kami kemukakan di sini bahwa akhlak dan keutamaan ruhaniah yang dimaksud di sini bukan dalam perspektif pendidikan karakter yang hanya memperhatikan aspek-aspek lahiriah, sebab akhlak di dalam Islam juga meliputi ruhani. Sebagai contoh bersikap rajin dan profesional belumlah menjadi sebuah kebaikan dalam Islam kecuali jika didasari dengan niat yang benar juga.