Ilmu sebagai Asas Peradaban
Hal itu tercermin dari sikap Kaisar Jepang ketika para pilot Amerika Serikat membombardir Tokyo dan menjatuhkan bom atom ke kota Nagasaki dan Hiroshima. Kaisar memerintahkan untuk memperbaiki sekolah-sekolah yang rusak sebelum memperbaki istana kaisar yang hancur. Begitu pula ketika bom atom menewaskan ribuan korban jiwa, Sang Kaisar sangat mencemaskan para pendidik yang tersisa di Jepang.
Penghargaan mereka yang tinggi kepada ilmu tidak muncul secara tiba-tiba. Jauh sebelumnya, bangsa Jepang sudah meletakkan dasar-dasar tersebut. Pada zaman Meiji (1860-1880an) di tokyo terdapat sekitar 30.000 pelajar yang belajar di 90 sekolah. Pelajar miskin diberi beasiswa, bahkan sebagian dari mereka bekerja paruh waktu sebagai pembantu rumah tangga. Namun mereka tetap bangga dan semangat untuk belajar. Mereka memiliki slogan “Jangan menghina kami, kelak kami mungkin menjadi menteri”. Pada sebuah buku yang berjudul Galakkan Pelajaran yang dikarang oleh Yukichi Fukuzawa pada tahun 1882 disebutkan “Manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi dilahirkan sama dengan yang lain. Siapa yang gigih belajar dan menguasai ilmu dengan baik akan menjadi mulia dan kaya, tetapi yang jahil akan menjadi papa dan hina.” Semangat ‘haus ilmu’ inilah yang memberi inspirasi bangsa Jepang untuk mengejar ilmu pengetahuan dan tampil sebagai salah satu peradaban besar, dan menjadi kekuatan dunia dalam bidang sains, teknologi dan ekonomi untuk saat ini.
Dunia Islam
Hal yang kontras terjadi di dunia muslim. Kaum muslim yang pernah memegang obor peradaban saat ini tengah mengalami keterpurukan peradaban. Keterpurukan itu dapat kita lihat dari lemahnya budaya ilmu yang dimiliki saat ini. Anggota konferensi negara-negara Islam (OKI) secara keseluruhan berpenduduk 1,3 miliar, tapi hanya memiliki 550 universitas. Sedangkan Amerika Serikat yang berpenduduk 300 juta jiwa telah memiliki 4.000 universitas. Bandingkan dengan kebudayaan Islam yang berkembang di Andalusia. Waktu itu, perpustakaan Cordoba telah memiliki lebih dari 600 ribu naskah dan Perpustakaan di Cordoba lebih dari 70 buah (Abdul Karim, 2008). Di saat yang sama sebuah perpustakaan kepastoran yang paling lengkap di eropa hanya memiliki koleksi tidak lebih dari 6.000 judul koleksi. Pada era kegelapan (dark age) eropa tersebut, pada malam hari, jalan-jalan di Cordoba terang benderang karena lampu penerangan umum, sedangkan daratan eropa masih gelap gulita. Demikian juga kaum muslim Andalusia sudah mengenal teknologi bersiwak-gosok gigi- yang lebih modern, sedangkan bangsa eropa masih belum mengenalnya.
Ilmu sebagai pondasi Peradaban
Peradaban tidak dimunculkan oleh kekuatan ekonomi maupun militer, tetapi oleh kekuatan ilmu. Ekonomi, militer, seni, budaya hanyalah buah manis dari pohon subur yang bernama ’ilmu’. Ibarat membangun sebuah gedung, ilmu adalah sebuah pondasi. Pondasi yang kokoh akan menentukan kokoh tidaknya sebuah bangunan gedung. Tanpa dilandasi budaya ilmu yang kokoh, perdaban yang kuat tidak akan muncul. Untuk membangun peradaban, ilmulah yang harus pertama kali dikejar. Kesalahan dalam menentukan pilihan akan berakibat fatal. Bangsa Mongol pernah menjadi bangsa adidaya dibawah kepemimpinan Jenghis khan, tetapi itu hanya seumur lilin. Kesalahan Mongol adalah meletakkan kekuatan militer di atas kekuatan ilmu, dengan menjadikan perpustakaan Baghdad sebagai istal kuda dan membuang seluruh buku dan kitab ke sungai eufrat. Sejak saat itu, bangsa Mongol tengah menggali kuburnya sendiri diantara peradaban dunia. Kini, Mongol hanyalah salah satu negara miskin di dunia.
Salah satu bukti bahwa Islam sebagai sebuah aturan hidup yang sempurna adalah penghormatannya atas ilmu. Hal ini sangat pantas karena ilmu merupakan cikal bakal peradaban. Dalam konsep islam, ilmu akan membimbing manusia untuk mencapai dua tujuan penciptaannya, yakni untuk menghamba kepada Alloh dan berperan sebagai khalifatullah di muka bumi. Pengetahuan atas kebenaran wujud Alloh dan kekuasaanNya, akan mengantarkan manusia untuk menghamba kepada Alloh dengan ikhlas. Dan pengetahuan atas perannya di muka bumi sebagai khalifatullah akan akan menghantarkannya manusia untuk menghargai dan melestarikan alam dengan berdasarkan penghambaan kepada Alloh. Hal itu terlihat jelas dengan adanya idiom rahmatan lil alamin yang hanya ada dalam Islam. Tugas serta tanggung jawab manusia sebagai khalifatullah di muka bumi hanya akan berjalan dengan baik apabila manusia itu beradab.
Islam dan Ilmu
Islam banyak sekali berbicara tentang ilmu, baik dalam nash al Qur’an maupun hadits. Seperti sabda Rasulullah ”Apabila seseorang pergi untuk menuntut ilmu pengetahuan, Alloh akan memudahkan bagi dia jalan ke surga” (HR Muslim). Demikian pula dengan sabda Rasulullah, ”Tuntutlah oleh kalian akan ilmu pengetahuan, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Alloh azza wajalla dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah shodaqoh. Sesungguhnya ilmu itu akan menempatkan pemiliknya pada kedudukan tinggi lagi mulia. Ilmu adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan akhirat (HR Ar Rabi’).
Makna hadits tersebut sejalan dengan firman Allah, ”Alaoh niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang berilmu pengetahuan bertingkat derajat. Dan Alloh maha mengetahui terhadap apa yang kamu lakukan.” (QS AL Mujadalah : 11).
Bahkan pada periode awal perkembangan islam, para salafus sholih menempatkan ilmu sebagai sebuah pusaka. Sayyidina Ali pernah mengatakan, ”Ilmu pengetahuan merupakan milik orang beriman yang hilang. Jadi temukan itu meski jika ia berada dalam genggaman orang-orang kafir” wallahu a’lamu bisshowaab.