Diskusi InPAS Bahas Akal Menurut Al-Attas

Siang itu, ada yang istimewa dari acara diskusi rutin InPAS. Tidak lain, karena pemateri pada hari itu, Ahad (16/01), adalah Akhmad Rafi’i Damyati, lulusan Universiti Malaya, Malaysia, yang baru saja pulang ke tanah kelahirannya, Pamekasan-Madura.  Tema yang dibahasnya tergolong rumit dan menantang, yaitu, Akal (Intelek) dalam Pemikiran Al-Attas. Saking rumitnya, beberapa peserta minta diulangi lagi penjelasan sebagian materi. Bahkan, beberapa peserta tidak sabar langsung bertanya sebelum pemaparan materi selesai.

Menurut Dimyati, panggilan akrab Akhmad R. Damyati, sebenarnya materi yang disampaikan tersebut hanyalah salah satu dari sumber-sumber ilmu. Jika merujuk pada tesis yang telah ditulisnya, sumber-sumber ilmu pengetahuan dalam Islam yang dibahas oleh Al-Attas adalah: Khabar Shadiq, panca indera, intuisi dan akal. Namun karena rumitnya pembahasan dan butuh waktu yang panjang, maka pada pertemuan ini hanya dibahas tentang akal saja. Tapi meskipun begitu, tetap saja para peserta dibuat kesulitan menangkap point pembahasan tersebut.

Dalam paparan awalnya, peneliti junior INSISTS ini mengurai arti kata akal dalam bahasa asalnya, bahasa Arab. Secara bahasa kata akal yang berakar dari kata “aql”  mempunyai beberapa arti, misalnya: menahan, menguatkan, mengencangkan, mengumpulkan, berketetapan, mengerti atau mengikat sesuatu. Sementara pengertian teknisnya, ia merupakan substansi yang terpisah dari materi, namun aktivitasnya bersamaan dengan materi tersebut. Selanjutnya, dengan merujuk pada Al-Attas, Dimyati menegaskan bahwa pada dasarnya, kata aql ini menunjukkan suatu jenis ikatan (binding) atau belenggu (withholding) yang menunjukkan suatu properti batin dan mempunyai kemampuan mengikat obyek ilmu dengan kata-kata. Dari sinilah maka Al-Attas, kemudian menegaskan bahwa aql sebenarnya sinonim dengan qalb, yang keduanya sama-sama merupakan organ spiritual kognisi manusia yang disebut hati (qalb). Dengan organ spiritual ini manusia mampu dan mengenali mana yang benar dan salah, hak dan batil.

Selanjutnya dalam pandangan psikologi Islam, menurut Dimyati, akal hanyalah salah satu aspek saja diantara beberapa aspek jiwa yang terdiri dari hati (qalb), diri (nafs), ruh, dan akal (aql) itu sendiri. Semuanya merupakan aspek-aspek jiwa yang satu namun berbeda fungsinya. Semua aspek tersebut merujuk kepada dua entitas, yaitu entitas fisik dan non-fisik sebagaimana pernah dibahas oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin-nya.

Dengan akal, manusia disebut “jiwa yang rasional” (rational soul), tegas pria asli Madura ini. Hal itu karena akal mempunyai dua kekuatan aspek yang dikenal dengan aspek “aktif” (‘amilah) dan aspek “kognitif” (‘alimah). Aspek yang pertama merupakann terusan dari kognitif, sebagai prinsip pergerakan dari badan manusia, atau sebagai rasio praktikal. Aspek ini memproduksi “emosi” apabila berhubungan dengan kekuatan penggerak (motive power) dan menghasilkan skiil dan seni apabila berhubungan dengan kekuatan memahami  (perceptive power). Bahkan aspek ini yang membangkitkan berbagai premis dan kesimpulan apabila berhubungan dengan imaji-rasional. Mungkin aspek terendah inilah yang dipahami Barat sebagai akal (mind) secara keseluruhan, jelasnya lebih lanjut.

Adapun aspek yang kedua berfungsi pada proses abstraksi kognitif, jelas pria yang menulis tesis dengan judul “The Sources of Knowledge in Islam: A Study on the Philosophical Ideas of Syed Muhammad Naquib Al-Attas” ini. Akal memanfaatkan apa yang diserap oleh panca indera (luar dan dalam) dan menyajikannya menjadi intelligible dalam imajinasi. Proses abstraksi dari yang diserap oleh panca indera maupun oleh akal mengalami beberapa gradasi untuk mencapai “makna”. Gradasi yang dimaksud adalah tingkatan-tingkatan data yang berhasil ditransfer melalui alam dunia ini (the world of nature) kepada fakultas-fakultas imajinatif dan internal manusia hingga sampai kepada akal dan sudah berupa sesuatu yang bisa dipahami oleh akal.

Di samping itu, menurut Dimyati, akal juga mengalami perkembangan. Ada tiga tahapan perkembangan akal manusia dilihat dari sudut pandang prioritas (priority) dan non-prioritas (posterioty). Ketiganya adalah absoute potency (al-isti’dad al-mutlaq), possible or possessive potency (al-mumkinah dan al-malakah), dan perfection potency (al-kamal). Kesempurnaan kekuatan akal ini adalah untuk kesempurnaan jiwa dan kekuatan aktif akal adalah untuk mengatur aspek yang lebih rendah pada jiwa. Apabila sudah terkordinir dengan baik, maka jiwa manusia akan semakin baik, semakin bersih dan selalu meningkat ke tahapan-tahapan jiwa yang tinggi. Sebaliknya, apabila ia semakin jauh dari kordinasinya, maka ia akan turun ke tingkatan yang serendah-rendahnya.

Akal sebagai sumber ilmu tentu sudah bisa diketahui dari uraian di atas, jelas Dimyati. Sebab, pada akal, baik dari sisi batin maupun lahir bisa memperoleh ilmu. Sisi batin dari akal, misalnya, erat hubungannya dengan intuisi dan wahyu, di samping ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hal tersebut. Sedangkan sisi lahir, erat hubungannya dengan aspek panca indera manusia yang juga menghasilkan ilmu yang empirik-rasional. Dan dilihat dari istilahnya, yakni sebagai kekuatan manusia untuk bernalar, maka ilmu yang dihasilkan oleh akal ini, dalam klasifikasi ilmu yang dikonseptualisasikan Al-Attas, menghasilkan ilmu-ilmu ‘aqli. Beberapa ilmu yang tergolong dalam klasifikasi ini adalah sains filosofis, rasional, dan intelektual yang meliputi sains kemanusiaan (human science), sains tabi’i (natural sciences), sains terapan (applied sciences) dan teknologi.

Setelah memaparkan beberapa pemikiran tentang akal, Dimyati kemudian menyimpulkan bahwa dari uraian di atas jelas bahwa akal dalam pandangan Al-Attas merupakan dimensi batin (inner dimension) manusia. Tanpa akal manusia tak ubahnya seperti hewan yang hanya tahu makan,minum, tidur dan lain-lainnya. Ilmu yang didapat oleh manusia karena ada akal, tanpa akal panca indera pun tidak berfungsi. Begitu pun juga, walaupun ada wahyu, jika akal tidak sehat maka akan sia-sia belaka. “Namun akal tidaklah segala-galanya, karena banyak hal yang tidak terjangkau oleh akal. Maka akal perlu takluk kepada yang lebih tinggi, yakni yang sifatnya spiritual. Di sinilah pentingnya intuisi dan wahyu dalam pemikiran Al-Attas. (mm)      

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *